Part. 14

15 5 0
                                    

–Flashback–

Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Reihan"

🌷

Mungkin dengan bunuh diri, semuanya akan berakhir.

Anak kecil itu hendak melompat dari jembatan. Jalanan begitu sepi, mendung sudah terbentuk dan akan menurunkan tangisannya. Tak peduli dengan sekitar, anak kecil perempuan itu sepertinya hanya ingin mati.

"Hei!"

Tertegun. Dia berhenti untuk naik di pergelangan jembatan.

"Kamu mau ngapain? Bahaya!"

Bocah laki-laki itu berlari dan menghampiri gadis kecil. Menariknya dan memarahinya.

"Mau bunuh diri ya?"

Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya menatap datar laki-laki itu yang sepertinya seumuran dengannya atau lebih sedikit.

"Setahuku tindakan bunuh diri itu perbuatan orang dewasa. Kamu masih bocah, kenapa mau bunuh diri?"

Hanya menekuk alis kesal dan mengerucutkan bibir. Gadis itu terlihat tak terima.

"Atau pikiranmu itu udah seperti orang dewasa ya?"

Hampir saja gadis itu hendak menjawab, gerimis sudah turun ke tempat mereka berpijak.

Tanpa bicara lagi, bocah laki-laki itu menarik gadis kecil tersebut dan membawanya ke suatu tempat.

"Di sini aman"

Taman mini pusat kota. Bocah laki-laki itu mengajaknya berlindung di bawah perosotan yang memiliki lengkungan seperti gua.

"Kenapa?" Gadis kecil itu mulai membuka suara.

"Hm?"

"Kamu orang yang nggak ku kenal tiba-tiba dateng dan bicara sok akrab sama aku padahal kita nggak pernah ketemu"

Bocah laki-laki itu mengerjap, "Begitu ya? Entahlah. Aku merasa kau itu berbeda dari orang lain"

Gadis itu hanya merunduk.

"Kalau begitu, ayo kita kenalan," senyum merekah tersungging, anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Reihan"

🌷

"Elo!?"

"Arlin! Yang sopan!" Gerutu Meisya menatap tajam putrinya itu.

Menghela nafas kesal, Arlin berjalan dan duduk di sofa berhadapan dengan Reihan. "Mau ngapain lo kesini?"

"Arlin!" Meisya mengangkat kedua tangan di bahu.

"Iya.. iya. Ada perlu apa kesini?" Nadanya seperti terpaksa dilembutkan, membuat Reihan justru terkekeh melihatnya.

Hampir saja Reihan hendak mengeluarkan suara, otaknya berpikir kembali. Tidak mungkin secara terang-terangan ia menjelaskan masa lalunya itu kepada Arlin. Mana mungkin Arlin bakal percaya semudah itu. Benar juga, begitu pikir Reihan.

"Nggak papa. Cuman pengen lihat keadaan lo aja," jawab Reihan dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Arlin mengangkat satu alisnya, "Hah?"

"Yaudah deh, kayaknya lo nggak papa. Besok berangkat bareng. Gue jemput"

Arlin hendak menolak namun Reihan sudah terlebih dulu pergi untuk berpamitan pada Meisya.

"Lho? Kok cuman sebentar? Diusir Arlin ya?"

"Ma.." rengek Arlin tak terima.

Melihatnya membuat Reihan tertawa geli, ternyata Arlin bisa menunjukkan tampang anak kecil juga. Benar-benar berbeda ketika di sekolah.

Dengan perasaan kesal, Arlin mengantar Reihan kedepan rumah dengan kedua tangan ia lipat di dada, siapa lagi kalau bukan Meisya yang menyuruh.

"Rei,"

Arlin menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Nggak. Nggak jadi"

Reihan menekuk alisnya setelah mengenakan helm mendengar ucapan Arlin.

"Ng— hati-hati"

Akhirnya ucapan yang mengganjal di mulut Arlin keluar juga, sayangnya ia mengatakan itu dengan wajah yang menghadap ke samping. Melihat ekspresi Arlin itu membuat Reihan benar-benar gembira dan dapat ditangkap Reihan jika Arlin tengah malu.

"Oh jadi dari tadi tuh pengen ngomong itu? Yaelah, Lin. Ternyata lo masih punya sikap peduli sesama ya?"

Tak terima Arlin menatap tajam Reihan. "Eh, eh. Iya, iya. Sorry" takut Reihan.

Apa tadi dia bilang? Eh, tunggu, masih punya sikap peduli?, Otak Arlin mulai berpikir.

Baru saja Reihan menyalakan motor dan hendak keluar gerbang, Arlin berjalan mendekat membuat Reihan berhenti.

"Apa lo bilang tadi? 'masih punya sikap peduli'? 'masih'?" Ucapan Arlin menunjukkan kebesaran akan tanda tanya.

Reihan tersenyum kecil, "Iya. 'masih'. Lo bener-bener nggak inget gue? Dulu.. kita nggak sengaja ketemu"

"Ketemu.." beo Arlin.

Mengangguk pelan, "Gue nggak akan cerita kecuali lo yang mulai. Udah ya, gue pulang dulu" tanpa balasan dari Arlin, Reihan sudah ambil gas dan melaju menerobos jalanan.

Sedangkan Arlin masih bertanya-tanya dengan hidupnya di masa lalu.

Sepersekian menit kemudian, "Ahahah.. ngaco! Salah orang kali tuh anak"

🌷

Dengan cekatan jari tangan itu mengetik sesuatu di layar ponsel.

Reihan

Cepetan oi!


Diego
Bentar, gue mau berak

"Buset dah!"

Reihan

Bawa hp-nya aja sekalian!


Tak ada balasan dan tak ada juga pemberitahuan pesan dibaca, "Sial. Nih anak bener-bener udah kebelet boker keknya"

Reihan membaringkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan nuansa putih.

"Kesal! Terus gue musti gimana?"

_____

Jangan lupa buat share ke temen-temen ya🌻

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang