Prolog

1.7K 108 5
                                    

Riuh gemuruh langkah kaki berderap di atas permukaan bebatuan merah, membuat suasana padang sunyi menjadi bising. Puluhan, bahkan mungkin ratusan makhluk dengan beragam bentuk memenuhi dua per tiga padang dengan pijakan batu merah, langit yang merah juga tanaman aneh berwarna merah. Padang Merah, begitulah makhluk setempat menyebut tempat yang kini dijadikan latar untuk berdemo ria.

Suara bising derap ratusan langkah kini mulai berganti dengan suara sorak serta seruan yang tentu saja jauh lebih bising lagi. Bahkan setiap kata yang keluar dari setiap individu hampir tidak bisa dicerna dengan baik. Kata demi kata terlontar ke udara, lalu bertumpuk menjadi satu gumpalan acak, kemudian di terbangkan oleh angin menuju gendang telinga seseorang yang kini tengah berdiri terpisah satu meter di depan rombongan demo. Bisa bayangkan itu? Ya, sangat mengganggu.

Bola mata hitam pekatnya menyorot benci kepada ratusan makhluk di hadapannya yang telah berani membuat telinganya berdengung nyeri. Kakinya mulai melangkah maju selangkah demi selangkah. Wajahnya mulai mengeras tanda marah, rambut hitam panjangnya yang tergerai hingga punggung berubah menjadi api yang merah membara. Jubah besi yang semula tampak gagah dengan tepian berlapis emas mendadak berubah warna seperti besi yang termakan api, siap membakar makhluk apa pun yang berani menyentuhnya.

Seketika semua terdiam. Padang merah yang semula bising kini menjadi sunyi sepi. Satu-satunya suara yang masih terdengar hanyalah derap langkah sang api berjalan yang kini membuat ratusan makhluk mundur teratur lalu menunduk hormat.

Ia berhenti melangkah. Api di sekujur tubuhnya kini kembali lenyap saat melihat ratusan makhluk di depannya tunduk padanya.

“Katakan padaku! Hal apa yang telah membuat kalian berani menggangguku?!” Sorot matanya menatap mereka tajam bahkan hingga sampai ada yang benar-benar merasa tertusuk.

Beberapa saat berlalu namun tidak ada yang berani menjawab. Hingga mata sang Iblis kembali menyebarkan tatapan yang terasa jauh lebih menusuk lagi. Seorang makhluk mencoba memberanikan diri mengangkat kepalanya menatap langsung mata si dia yang melontarkan pertanyaan.

Sesaat kemudian, makhluk hijau tinggi besar itu kembali menunduk sambil menjawab, “Maafkan hamba, Yang Mulia. Izinkan hamba berbicara mewakili seluruh makhluk peradaban Abilos untuk menyampaikan keresahan kami.”

“Kupersilahkan.” Yang dipanggil ‘Yang Mulia’ itu menjawab tegas.
Makhluk hijau itu menunduk takzim sebagai ucapan terima kasih. Ia lalu berdiri tegak hendak berbicara pada Tuan-nya.

“Hamba mohon ampun, Yang Mulia,” katanya memulai. “Sudah dua tahun sejak kita kalah perang melawan Fanworld. Sejak saat itu pula kami, bangsa iblis tidak bisa menjalankan tugas kami sebagai iblis untuk mengganggu kehidupan para manusia di Bumi. Semua akses portal menuju dunia manusia yang seharusnya terbuka lebar dan tidak pernah tertutup, tiba-tiba saja menjadi tertutup dan tidak bisa kami buka kembali. Menurut kami, ini sangat tidak benar, Yang Mulia. Apa gunanya bangsa iblis ada di dunia ini jika kami tidak bisa menjalankan tugas kami sebagaimana diciptakan. Maka dari itu kami datang bersama untuk menuntut kepada-Mu agar kau melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah serius ini.”

“Itu benar, Yang Mulia,” suara berat mayat hidup menyahut.

“Ya, benar!” sahut yang lain susul menyusul.

“Lakukan sesuatu!” timpal makhluk lain, yang lagi-lagi membuat makhluk-makhluk lainnya susul menyusul menyerukan kalimat yang sama.

Suasana Padang Merah kembali bising. Bola mata sang Raja kembali membidikkan tatapan menyiksanya kepada setiap makhluk di hadapannya. Seketika suasana mendadak sunyi kembali. Seolah setiap mulut dari mereka semua yang mengganggunya mendadak tertutup rapat, tak bisa terbuka.

“Sudah kubilang ini adalah fase dimana kekuatan kita melemah pasca perang. Karena itu untuk sementara waktu kita hanya bisa menetap disini tanpa bisa kemana-mana.” Ia menjawab tenang setelah suasana kembali hening.

“Itu dia masalahnya, Yang Mulia Lord Dunkelheit yang terhormat,” jawab seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang sang Raja. Wujudnya sangat mirip dengan seorang wanita yang saat ini sudah menjadi salah satu penghuni Fanworld. Bedanya, tubuhnya yang mengenakan gaun merah tanpa lengan itu dibalut api yang berkobar merah darah. “Karena kita tidak bisa menjalankan tugas kita dengan baik, yaitu mengganggu para manusia, mangkanya semakin hari kita semakin melemah. Benar kata mereka. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini sudah bukan lagi fase kelemahan kita pasca kalah perang. Ini jelas sudah lewat dari batas maksimal fase lemah kita. Kau harus melakukan sesuatu untuk membuka portal menuju dunia manusia. Bagaimana pun caranya.”

Seluruh makhluk yang berada di Padang Merah kembali bersorak ramai, setuju dengan argumen si wanita api di depan mereka.

“Cih, tau apa kau soal Abilos, Dark Isati? Kau bahkan pernah membantu Mereka waktu di Gua Goblin dengan menggunakan wujud sang putri api, Inna.”

Wanita api itu memasang raut marah. Api merah darahnya berkobar lebih besar. “Jangan panggil aku dengan nama itu! Aku tahu aku memang telah melakukan kesalahan karena telah membantu mereka waktu itu. Aku hanya berpikir sangat disayangkan jika saat perang nanti tidak ada mereka di medan perang. Ya, tidak perlu dibahas lagi. Kau tahu sekarang aku sudah terpisah dengan mereka. Aku sudah menjadi makhluk individu sekarang. Jadi izinkan aku untuk sedikit membantu mengatasi masalah yang ada disini, Ayah.”

“Cih, Ayah kau bilang?” jawab Lord Dunkelheit tampak tidak senang.

“Kenapa? Secara teknis aku memang anakmu. Darahmu yang mengalir dalam tubuhku bahkan lebih kental di bandingkan yang ada di dalam tubuh Isati.”

“Tutup mulutmu, Djevelin!” seru sang Raja Iblis pelan namun menusuk. Sekujur tubuhnya tampak berubah menjadi api untuk sesaat, kemudian normal kembali. “Sekarang bukan saatnya membicarakan darah keluarga. Jika kau memang ingin membantu rakyat Abilos, apa kau punya solusi untuk masalah ini?”

Ratusan pasang mata dari setiap makhluk yang berkumpul di Padang Merah menatap Dark Isati, atau yang kini mereka panggil Djevelin—dengan tatapan penuh selidik. Sementara Djevelin yang ditatap seperti itu kembali mengobarkan api di tubuhnya lebih membara lagi, memberi peringatan kepada mereka agar tetap hormat padanya.

“Aku punya sebuah rencana privasi yang tidak akan kukatakan disini,” jawabnya. “Tapi jika kalian tetap ngotot ingin meminta pendapatku, kuberi masukan sedikit. Jika tidak ada yang bisa membuka portal ke dunia manusia, maka setidaknya usahakan buka portal menuju Fanworld. Biarkan mereka yang bertanggung jawab atas masalah baru yang tengah mereka buat saat ini.”

Lord Dunkelheit tertawa membahana. Ia lalu berkata, “Tidak perlu repot-repot mengeluarkan banyak energi untuk membobol portal menuju Fanworld yang sudah dikunci oleh Inna. Lihat saja nanti. Kali ini alam akan berpihak pada kita.”

☆☆☆

Taraaa ... Sequel udah di publish nih. Cukup panjang untuk ukuran prolog. Tapi yaudah lah ya biar kalian puas juga kan.
Gimana, gimana? Menurut kalian bakalan seru apa boring nih?

Oh ya, sekedar info, 'ABILOS' itu nama yang kubuat untuk menyebutkan dimensi iblis ya. Biar gak kepanjangan, ribet. Lagian kan Fanworld aja ada namanya masa dimensi iblis gak ada? Hehe...

Yaudah deh gak mau banyak bac*t. Buruan baca aja deh. Di tunggu kelanjutannya see you 🙋🏻‍♀️👋👋

The Fire Princess 2 : The Portal GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang