[1].Mengejar Cahaya

11.2K 218 13
                                    

Perempuan hanyalah pelengkap dan hiasan, tanpa pernah mampu memberikan suara dan meminta hak, hanya ada kewajiban dalam kamus perempuan.

***

Rape Culture adalah suatu sikap di mana masyarakat melakukan permakluman terhadap suatu tindakan pelecehan pencabulan atau pemerkosaan. Permakluman yang dimaksud yaitu terhadap pelaku pemerkosaan dan malah menyalahkan dan blaim shaming terhadap korban.

Salah satu contohnya ketika ada korban pemerkosaan, masyarakat cenderung menyalahkan korban karena berpakaian terbuka, keluar malam tanpa dikawal, kegenitan atau tidak mampu menjaga diri dan lain sebagainya. Selain itu korban terutama perempuan akan dianggap kotor tidak suci lagi dan pembawa sial layak dan patut dijauhi. Jika memiliki anak maka anaknya segera berlabel anak haram tanpa memiliki nasab dan hak apapun dari bapak biologisnya.

Permakluman lain yaitu menganggap biasa ketika ada korban pemerkosaan dinikahkan untuk menutupi aib menghindarkan bala dan hal-hal negative karena hamil tanpa suami.

Sayangnya alih-alih mendukung korban dan mendampingi proses pemulihan trauma mereka, menghukum perbuatan pelaku dengan human menurut undang-undang yang berlaku atau hukim adat, masyarakat lebih suka menghakimi korban bankan rela menyebarkan aibnya.

Begitupun dengan nasib Lili. Culture etnografi masyarakat di desanya seperti sebuah kota kecil di pedalaman gunung berhawa dingin membuat mereka terisolasi dari luar. Hal itu menyebabkan SDM yang rendah karena tingkat pendidikan banyak sebatas SD sampai lulus untuk perempuan sudah luar biasa dan laki-laki bisa SMP dan SMA itupun selepas sekolah lebih memilih merantau kekota. Tinggalah penduduk desa yang sangat menjaga tradisi, keperawanan adalah harga mati, dan kedamaian penduduk yang sangat dijaga, salah satunya tidak mengehendaki adanya keributan.

Jika seluruh desa tahu Lily adalah korban pemerkosaan maka pandangan mereka itu adalah aib bagi desa dan dosa 40 suhunan atau atap rumah dan dosa zinanya bakal kebagian, begitu asumsi mereka. Begitulah persepsi dan asumsi mereka yang menjelma menjadi norma dan hukum adat. Korban pemerkosaan adalah pezina. Hamil tanpa suami dan anak yang dilahirkannya menjadi anak haram pembawa sial dan anak sundel. Konon pezina atau peselingkuh yang ketahuan akan diarak telanjang keliling kampung. Dan mereka akan menyalahkan korban.

Apalah lelaki akan diadili? Tentu jika terbukti, namun faktanya tidak apalagi sulit membuktikan jika lelakinya memperkosa. Bukti yang nyata adalah si korban hamil. Itu sudah menjadi alarm bukti berzina harus diselesaikan secara adat. Jika ada laporan pemerkosaan maka harus disidang pula dan terbuka di depan umum. Harus mampu memberikan bukti-bukti sehingga laki-laki bisa dihukum.

Hukum apakah berpihak pada perempuan? Dalam culture budaya patriarki di mana dominasi kekuasaan berperan bahkan dalam pelecehan pemerkosaan dan kekerasan serta hukum, sangat mustahil berpihak pada perempuan. Alih-alih menghukum pelaku dengan penjara atau cambuk bagi pemerkosa yang ada penyelesaian permasalahan dengan damai seperti ganti rugi atau dinikahkan lebih utama.

Melawan? perempuan melawan? di desa itu, ketika seorang perempuan bahkan, berani menghardik suami, ayah Dan kakak lelakinya, maka vonis durhaka dan masuk neraka akan segera mendoktrinnya. Lelakipun diizinkan dan dimaklumi memukul dalam rangka mendidik perempuan pembangkang. Belum lagi label perempuan tidak baik, kotor, tidak suci, pembawa sial akan mereka ketika perempuan berani membuka suara dan perlawanan terhadap penderitaan yang dialaminya.

Polisi? pergi ke desa yang terpencil dan terpisah jauh dari desa-desa lain dikaki pegunungan ini menyebabkan polisi hanya aktif sampai di kecamatan. Memang ada BABINSA tapi perannya tidak cukup di hargai, apa lagi lebih banyak berteman dengan para 'golek beureum' desa, tentunya keberpihakan dengan mudah bisa dibeli.

Desa itu terletak di atas pegunungan paling tinggi. Hawanya sejuk pemandangan indah. Sejak kecil Lily hoby bermain di sawah, sungai, hutan dan kebun adalah hobinya. Sedikit tomboy dan bandel masa kecilku. Mengaji kesurau pada senja hari dan sekolah dipagi hari bertelanjang kaki atau hanya menggunakan sendal. Sementara SMP tempat kubersekolah jauh dikota kecamatan. Bukan hal yang lumrah anak perempuan sekolah tinggi. Teman-teman perempuannya bankan tidak tamat SD sudah dinikahkan. Usia mereka biasanya dipalsukan di KTP. Atau banyak juga yang menikah siri. Beruntunglah dia yang anak petani miskin dan pedagang kue traditional jajanan pasar berkesempatan pergi mengecap bangku SMP.

Gadis Desa yang Ternoda [proses revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang