"Hendra, kenapa baru datang? Aku dan Jesica baru selesai makan siang. Kamu sangat terlambat," seru Renata saat Hendra dan seorang wanita cantik menghampiri mereka. Jesica tidak mengangkat wajah dari gawainya. Ia masih asyik berselancar di dunia maya meski tidak ada yang menarik di sana.
Hendra menarik sebuah kursi untuk wanita yang datang bersamanya dan mengambil tempat di samping Jesica. Ia sama sekali tidak menunjukkan tanda akan mengenalkan wanita cantik yang bersamanya dan Renata juga tidak keberatan dengan hal itu seolah biasa. "Aku tahu kamu akan lama menghabiskan makananmu jadi aku memilih datang terlambat, Re. Sudah dibayar atau belum?"
"Yang mentraktir saja baru datang mana mungkin sudah dibayar, Hen. Jesica akan membunuhmu." Mendengar namanya disebut Jesica mendongak dan tersentak kaget melihat seorang wanita di sampingnya.
"Re, ini ... hem ... maaf tapi siapa ya?" tanya Jesica ragu.
"Dia teman yang kubawa, Je. Anggun kalau kamu tidak keberatan untuk berkenalan," jawab Hendra cepat. Jesica hanya membalasnya dengan ukiran bibir yang membentuk huruf O. "Dia model yang akan menjadi pemeran iklan untuk perusahan kita, Je," sambungnya lagi seolah hal itu penting bagi Jesica.
"Aku tidak tanya, Hen. Kita juga sudah selesai makan jadi selamat siang. Kita pamit. Ayo, Re." Sejujurnya Jesica tidak suka berlama-lama berada dekat Hendra jika ada wanita yang dibawanya. Ia merasa bersalah karena Hendra tanpa sengaja akan mengasingkan tamu yang dibawanya dan asyik berbicara dengan Jesica dan Renata. Memilih pergi itu jauh lebih sopan.
"Bulan depan ulang tahun kamu, Je. Apa ia akan pulang?" pertanyaan Hendra membalikkan tubuh ramping Jesica yang sudah tegak membelakangi meja. Pertanyaan itu memberi sebuah ketidakpastian yang tidak menyenangkan baginya. Ia tidak mau Hendra menanyakan hal itu karena akan berujung ditertawakan dengan konyol.
"Aku belum tahu pasti, Hen."
Mata Hendra berbinar senang bahkan ia menutup mulut menyembunyikan tawa kecil di bibirnya. "Seharusnya kamu mengikuti firasatmu bukan malah membodohi diri sendiri demi lelaki yang tidak jelas keberadaannya itu, Je. Aku tidak mau kamu kecewa tapi cukup senang jika ia benar-benar tidak datang, setidaknya ..."
"Cukup, Hen, waktunya masih sebulan untuk mencoba dan berharap. Ia lelaki yang memengang janji bukan seperti kamu yang ..."
"Cukup, Je. Tidak baik bertengkar di sini. Ayo pulang." Renata memotong pertengkaran mereka dan menarik Jesica menjauh.
Jika sudah memulai pembicaraan serius dengan Hendra, bisa-bisa satu restoran akan menonton pertunjukan perang dunia ketiga. Jesica yang tegas dan cerdas selalu kehilangan kontrol kalau sudah bersama Hendra. Tapi Hendra bukanlah lelaki yang akan menyerah kalau sudah bicara soal lelaki yang bersama dengan Jesica. Sejak dulu ia tidak percaya pada laki-laki mana pun yang mengungkapkan cinta untuk gadis kecilnya itu. Tidak ada yang tulus, mereka hanya ingin menunjukkan kepuasan dan kehebatan karena berhasil menaklukan perempuan secantik Jesica, termasuk Bagas yang membuat Jesica uring-uringan.
Hendra bangkit dari kursinya dan mengejar Jesica.
"Anggun, kamu pulang saja. Aku akan membelikan kamu cinicin berlian, kalung, gaun atau apapun yang kamu suka asal bukan mobil dan rumah. Aku harus mengejar Jeje." Tanpa menunggu jawaban Anggun, Hendra sudah berlari menuju parkiran. Ia meninggalkan gawainya pada kasir sebagai jaminan."Aku akan kembali, Mbak," jelasnya singkat.
"Jeje, tunggu!" Jesica dan Renata yang jendak masuk ke mobil terpaksa berhenti. Jesica mendesah jengkel. Ia tahu Hendra masih ingin berdebat dengannya dan ia sedang lelah untuk menanggapi. "Aku belum selesai bicara," sambung Hendra sambil memegang lututnya. "Sial, aku harus rutin joging lagi sekarang kalau tidak bisa-bisa kegemukan dan susah mengejar kamu, Je."
Jesica mengangkat bahu tak peduli. Sebenarnya berbicara dengan Hendra adalah satu percakapan yang sangat disukainya jika bukan soal perasaan dan Bagas. Sejak dulu Hendra adalah orang pertama yang dicari sebelum Renata dan Lyla. Apalagi jika soal jalan-jalan, belanja dan makan. Hendra bisa diandalkan dalam segala hal. Bukan berarti ia memanfaatkan lelaki murah hati yang playboy itu tetapi Hendra sendiri yang meminta. Dan lelaki itu akan marah besar kalau Jesica lebih memilih pergi bersama orang lain. Segala tentang Jesica adalah dunia Hendra. Tetapi kali ini Jesica memilih menghindar. Pembicaraan bersama Renata saat makan siang tadi adalah hal paling sensitif dan Hendra tidak boleh tahu. Tapi nyatanya mata cokelat tajam lelaki itu mampu membaca situasi dan membuat ia semakin tidak nyaman.
"Je, kamu tahu aku selalu ada buat kamu. Tidak peduli apakah ia datang atau tidak, ia benar-benar menepati janji atau justru mengkhianati. Aku hanya ingin kamu ingat, kapan pun kamu butuh, aku akan selalu ada." Ditepuknya bahu Jesica dengan lembut. "Jangan senyum, Je, aku bisa terserang diabetes," godanya sambil mencubit pipi Jesica dengan gemas.
"Aku tidak akan mencari kamu, Hen, tapi sebaliknya kamu yang akan menggedor pintu kamarku kalau aku tidak keluar dari sana. Aku tahu tabiat kamu." Untuk sesaat Jesica tersentuh dengan ucapan yang begitu tulus tapi kemudian ia tersenyum nakal dan mencubit perut Hendra. "Kita pamit ya, Hen, dan jangan sampai kamu membelikan sesuatu untuk perempuan tadi. Aku tidak suka kamu dimanfaatkan mereka."
"Terlambat, Je, aku sudah berjanji," balasnya memamerkan gigi putihnya yang rapih. Renata menggeleng dan Jesica berdecak kesal. "Lagipula aku belum dapat benefit darinya, Je, aku tidak mau rugi," serunya menahan pintu mobil yang siap ditutup.
Jesica ingin meninju perut Hendra tapi keburu pintu mobil ditutup lelaki itu dengan keras. Ia geram setengah mati melihat tawa lebar dari Hendra. Ia marah dengan benefit yang dimaksud. Jasa pelayanan biologis, begitu kata Hendra.
Pertengkaran singkat dengan Hendra sejenak mengalihkan pikirannya tetapi itu tidak bertahan lama. Ia lagi dan lagi kembali mengingat tentang Bagas. Bagas Lukman.
"Oh, jadi nama kamu Bagas, ya? Aku sering lihat kamu di sini. Kamu ngapain?"seorang lelaki sekitar sepuluh tahun dengan baju yang kumal penuh campuran semen menunduk malu-malu. "Aku Jesica. Jesica Andine. Papaku arsitek di sini. Kamu kenal?" Bagas menggeleng. "Terus kamu kenal siapa di sini?" tanyanya lagi.
Menunduk malu-malu dan sambil memelintir ujung baju kumalnya ia mendongak membalas tatapan Jesica kecil. Binar matanya yang bulat dan bening membuat Jesica terpana sesaat. "Ayahku."
"Oh, jadi ayah kamu kerja di sini? Jadi apa?"
"Buruh bangunan." Jesica terdiam dan berbalik menjauh. "Tapi kalau besar nanti aku akan jadi arsitek. Itu cita-citaku." Dengan membanting rambut pendek sebahu gaya bob, Jesica berbalik dan menantang lelaki kecil yang terus menunduk itu.
"Jadi kamu punya cita-cita? Aku juga. Aku mau jadi dosen seperti Mama." Gadis kecil itu lalu tersenyum lebar dan menyodorkan tangan kanannya. "Namaku ..."
"Jesica. Jesica Andine. Aku ingat," seru Bagas kecil dengan riang. "Tanganku kotor, aku malu menyentuh tangan kamu yang putih dan bersih. Nanti kalau kotor, kamu tidak cantik lagi," sambung Bagas tanpa kehilangan senyum. Jesica ikut tersenyum tapi kemudian mengambil tangan Bagas yang penuh semen dan pasir. Bagas terpaku saat tangan mereka terjalin.
Dari kejauhan seseorang memanggil Jesica. Gadis itu melepas tangannya dan berkata, "Senang bertemu kamu, Bagas, nanti kita main lagi." Ia lalu menjauh dari lelaki yang terus tersenyum melihat punggungnya itu. Tak menyangka pertemuan pertama itu membawa ia pada masa paling indah beberapa tahun kemudian.
"Iya Hendra, sebentar," serunya membalas panggilan dari seseorang yang berdiri angkuh di pinggir jalan.
"Ia selalu mengingatkan aku akan pertemuan pertama itu," bisik Jesica lirih.
"Karena itu pertama kalinya ia berjabatan tangan dengan perempuan cantik, Jes," balas Renata yang sudah sering mendengar cerita usang itu.
"Dan sekarang aku yang selalu mengingatnya."
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bersyarat
RomantizmJesica Andine terjebak dalam komitmen panjang selama delapan tahun sejak berusia tujuh belas tahun. Ia membuat syarat untuk laki-laki yang mengungkapkan cinta saat masa remaja mereka dihantui ancaman kiamat tahun 2012. Ia teguh untuk tidak pacaran d...