Bag 13. Twin Sunlounger

1.4K 73 3
                                    

RIKI POV.

Aku merebahkan tubuhku di salah satu sunlounger lebar yang menghadap ke arah barat. Sebetulnya ukuran sunlounger-nya standar aja. Cuma karena ada dua sunlounger yang digabung, jadi ukurannya dua kali lebih lebar. Cukup lebar untuk dua orang bila ingin tidur-tiduran nyantai sambil menikmati keindahan cakrawala. Sebuah payung besar berwarna merah di atasnya cukup efektif mengurangi efek silau sinar matahari.

Suasana terasa sepi. Selain mungkin saat ini bukan peak season liburan, bukan weekend, plus tarif masuk yang lumayan mahal membuat hanya beberapa orang saja yang terlihat nyantai di rooftop ini.

Yona dan Nunik tadi mengatakan mau balik ke kamar mereka sebentar, tapi hingga kini masih belum kembali ke sini. Cindy juga masih belum nampak setelah tadi pergi bersama pak Hendro. Adi dan Putra juga belum balik dari toko oleh-oleh. Hanya aku sendiri yang tersisa di rooftop ini.

Acara reuni macam apa ini? Pikirku.

Saat sedang merenung dengan pikiran kemana-mana. Sebuah suara laki-laki sedikit mengejutkanku.

"Permisi. Boleh saya gabung?" Pak Hendro tiba-tiba aja udah duduk di sebelahku, di atas sunlounger.

"Eh, pak Hendro!" Kubetulkan posisi tidurku menjadi bersandar setengah duduk.

"Santai aja, pak Riki! Gak usah terlalu canggung." Pak Hendro berkata begitu sambil tersenyum, seolah nggak ada kejadian apa-apa di antara kami sebelumnya. Tak lama, dia ikut melempar pandangannya ke arah sunset.

"Mana yang lain, pak?" tanyaku.

"Sepertinya masih belum naik. Tadi Cindy, Yona, dan Nunik, masih di kamarnya. Kalo Putra sama Adi saya kurang tahu," jawabnya.

"Cuma kita berdua di sini?" tanyaku basa-basi.

"Iya..." Pak Hendro perlahan menyandarkan punggungnya satu sunlounger denganku. Posisi kami cukup berdekatan, malah lengan kananku sesekali bersentuhan dengan lengan kiri pak Hendro.

"Pak Hendro nggak takut nanti kita berdua dikira pacaran atau apa...?" tanyaku bergurau.

"Ya enggak, lah. Lagipula siapa juga yang peduli," jawabnya enteng.

"Iya juga, sih," jawabku. "Pak Hendro!" Panggilku kemudian.

"Ya!"

"Soal yang di kamar tadi, saya sungguh khilaf...."

"Ah, tidak usah bahas itu. Lupakan saja!" kata pak Hendro memotong. "Tapi pak Riki benaran gitu, ya?" tanyanya lagi.

"Gitu maksudnya?" tanyaku memperjelas. Sebetulnya aku udah tahu maksud gitu-nya pak Hendro, tapi ada baiknya kutanyakan lagi siapa tahu pak Hendro punya maksud lain dari pertanyaannya itu.

"Suka sama laki-laki," bisiknya sambil mencondongkan badannya ke arahku.

"Saya takut jawaban saya nanti bikin pak Hendro menghindari saya. Lagian, kayaknya pak Hendro udah tau kan jawabannya?" jawabku.

"Hahaha, cuma mau memastikan saja. Pak Riki tenang saja, saya bukan tipe orang yang paranoid dengan hal-hal semacam itu. Buktinya, saya santai saja mengambil posisi duduk dekatan sama pak Riki, kan!"

"Iya juga, sih," jawabku.

"Selama ini istri pak Riki tahu?" tanyanya lagi.

"Nggak. Dia nggak tahu. Kecuali kalo pak Hendro menceritakan kejadian di kamar tadi ke orang lain, Yona bisa tahu."

"Mengumbar rahasia dan privasi orang lain itu bukan hobi saya. Lagi pula saya maklum dengan kondisi pak Riki."

"Maklum?" tanyaku.

"Maksudnya udah biasa. Di kantor, ada juga rekan saya yang gitu. Cuma ya, saya tidak cerita ke orang lain, termasuk Cindy."

"Wow, ada juga ya polisi yang gitu?" Kataku pura-pura kaget.

"Kayaknya hampir di semua profesi pasti ada, pak!" Kata pak Hendro.

"Mohon maaf, pak. Saya kok kurang enak ya kalo bapak manggil saya 'pak Riki'. Panggil Riki aja, pak. Kan saya lebih muda dari bapak," kataku.

"Kalo gitu panggil saya Hendro aja. Biar impas!"

"Nggak cocok lah. Kalo udah pake seragam gitu, tetap pasnya dipanggil pak polisi," kataku.

"Ya udah, terserah kamu saja, Rik!"

"Ok, sip. Jadi?"

"Jadi apanya?" tanya pak Hendro.

"Lanjutan cerita rekan pak Hendro yang gitu seperti saya itu..."

"Oh iya, namanya Nino..."

"Nino? Apa itu Nino yang saya temui di lift tadi. Rekan polisi yang ke sini bareng pak Hendro, kan?" tanyaku balik.

"Iya, benar. Tadi di lobby saya ada ceritain dikit soal Nino," katanya.

"Jadi, dia itu homo?" Tanyaku.

Pak Hendro mengangguk.

"Pernah nyobain sama dia?" tanyaku lagi.

Pak Hendro menggeleng. "Kalo itu nggak pernah!"

"Wah, kalo Pak Hendro sama Nino sampe melakukan itu, seru banget tuh kayaknya. Dua pria jantan berotot sesama polisi gitu, hehehe..."

"Yaa, nggak mungkin sampai begitu juga," jawab Pak Hendro.

"Iya, saya tau. Bercanda aja itu, Pak," kataku sambil menatap ke arah barat.

"Indah ya..." gumam pak Hendro.

"Indah banget, Pak. Tuh saya dari tadi merekam sunset nya pakai mode timelapse." Aku menunjuk ke arah hapeku yang sejak tadi merekam pergerakan sunset.

"Wow, bisa keren tuh hasilnya. Nanti boleh kirim ke hape saya ya videonya!"

"Ah, gampang pak. Begitu videonya selesai, nanti saya langsung kirim," kataku.

Tak lama, kami berdua kembali terdiam. Menikmati suasana sore yang semakin memerah.

"Udah sering kah, pak Riki?" tanya pak Hendro tiba-tiba. Ternyata dia masih kepikiran sama aku.

"Cukup Riki aja, pak!" kataku mengingatkan.

"Oh iya, saya lupa. Jadi udah sering?" tanyanya lagi.

"Nggak juga sih, pak. Jarang malah. Lagian cuma having fun aja."

"Jadi, nggak ada yang diseriusi, dong!" katanya.

Aku senyum mendengar pernyataan mas Hendro. "Nggak ada. Tapi kalo cowoknya kayak pak Hendro sih bisa lain lagi nih ceritanya," jawabku.

"Cowok seperti saya?"

"Iya. Ganteng dan kekar, gitu! Asal jangan hobi meremas kayak tadi aja. Ngiluuu komandan!"

"Hahaha, makanya jangan main terkam-terkam aja sembarangan!" katanya sambil tertawa.

"Hahaha..." aku ikut tertawa.

Sesaat setelahnya kami berdua kembali diam. Kembali menikmati suasana sore yang tampak semakin indah. Di kejauhan, kapal-kapal nelayan masih terlihat hilir mudik.

"Ngomong-ngomong kapan rencana nikahnya, pak?" tanyaku.

"Oh, masalah itu... Saya juga belum tahu," jawab pak Hendro.

"Lho kok belum tahu?" tanyaku lagi.

"Saya punya alasannya. Serius mau tahu?" Kata pak Hendro.

"Terserah bapak aja kalo soal itu." Kataku

"Tapi kalo saya ceritakan, kamu janji tidak cerita ke yang lain, termasuk Cindy!"

"Di jamin aman 100 persen!"

Pak Hendro menarik napas berat. "Saya... sebetulnya tidak mencintai Cindy..." katanya pelan.

dst


BERSAMBUNG

Sunset View HotelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang