Bag 12. Presidential Suite

6K 196 42
                                    

CINDY POV

Waktu sudah menunjukkan jam 16.30.

"Gimana menginap di kamarnya?" tanya mas Hendro saat kami berada di dalam lift, menuju lantai satu.

"Besar kamarnya ya, Mas. Mewah!" kataku.

"Iya, Mas memang sengaja reservasi kamar yang paling bagus buat kamu. Suka nggak?" Mas Hendro merangkulku sambil menatapku dengan senyumnya.

"Suka banget, Mas. Tapi terlalu luas dan sepi. Soalnya kan Cindy sendirian di situ. Coba kalo mas Hendro mau nemenin, pasti nggak kesepian lagi," kataku.

"Mau mas temenin?" tanya Mas Hendro.

"Aku mengangguk." Mas Hendro meremas tanganku. Tangannya yang besar dan kasar terasa hangat menggenggam tanganku.

Saat hendak menuju kamar 111 tempat aku menginap tadi malam, mas Hendro terus menggandeng tanganku.

"Sebetulnya mas pengen banget nemenin kamu, sayang," bisik mas Hendro pelan. "Cuma..."

"Cuma apa? Pasti ada keperluan di kantor, kan?" kataku sambil senyum. Aku udah hapal dengan pekerjaan mas Hendro yang banyak menghabiskan waktunya.

"Kok tau?" tanyanya.

"Udah hapal," jawabku. "Jam berapa nanti ke kantornya?"

"Jam sembilan malam Mas udah harus berangkat dari sini. Paling telat jam sepuluh," jawab Mas Hendro.

"Oh, masih lama sih itu. Masih sempat dong kita, mas..." kataku melirik mas Hendro.

"Sempat apa...?" Mas Hendro berkata sambil pandangannya lurus ke depan. Seseorang tampak berdiri di depan kamar 111. Laki-laki ganteng itu tampak tersenyum ke arah kami.

"Bimo!" Panggilku.

"Mbak Cindy!"

Mas Hendro mengalihkan pandangan ke arahku. "Kamu kenal dia, sayang?"

"Iya, Mas. Dia Bimo. Adik laki-laki Cindy," jawabku.

Bimo berjalan ke arah kami. "Acaranya udah selesai, mbak?" tanyanya sambil melirik ke arah mas Hendro.

"Belum. Mbak mau ke kamar. Lagi ada perlu sama mas Hendro." Kulihat mas Hendro tampak tersenyum canggung ke arah Bimo.

"Ini calon mbak, ya? Kenalin dong, mbak!" kata Bimo.

"Kan udah sering mbak ceritain," kataku.

"Iya, tapi kan belum kenalan langsung." Bimo menjawab sembari mengulurkan tangannya ke mas Hendro. "Bimo!" katanya.

"Hendro!" Mas Hendro membalas menjabat tangan Bimo.

"Jadi, kapan rencananya, nih?" tanya Bimo.

"Nanti. Tunggu aja kabar dari mbak!" jawabku.

"Keren banget mbak, calonnya!" kata Bimo lagi sambil tersenyum gitu ke mas Hendro.

"Udah, ah. Mbak buru-buru, nih. Lain kali aja ya ngobrolnya!" kataku sambil kembali menggandeng tangan mas Hendro.

"Oke, mbak. Selamat bersenang-senang, ya!" kata Bimo.

Saat aku dan mas Hendro membuka kamar 111, Bimo kulihat udah berjalan menuju lobby.

"Adik kandung?" tanya mas Hendro ketika kami sudah di dalam kamar.

"Adik tiri. Mamanya Cindy sempat menjanda sebelum nikah lagi dengan papa baru. Nah, papa baru Cindy itu udah punya anak, si Bimo itu. Jadilah dia adik Cindy," jelasku.

Mas Hendro menarikku ke arah area santai di bagian samping kamar. Di situ ada kolam renang pribadinya. "Kok nggak pernah cerita?"

"Iya, Cindy juga bingung kok nggak pernah nyeritain keberadaan Bimo, ya...!"

Sunset View HotelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang