Chapter Delapan •💬• Isyifa rahadia

442 33 0
                                    

"mereka semua akan membongkar rumah warga dan begitupun dengan rumahku hiks.. aku tidak akan pernah menerima kalau rumah kami dibongkar, dan kenapa harus rumah kami yang dibongkar hiks. Aku tidak suka ini"Ucap Dara sambil menangis, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tesya, Zahra, Zizi dan Cia ikut menangis saat melihat sahabat mereka menangis seperti itu.

Tesya yang tak mengerti dengan pembicaraan mereka, mengerutkan keningnya "Siapa yang ingin membongkar rumah warga?"keempat temannya menatap Tesya.

"Para pengusaha dari Jakarta. Mereka ingin membongkar rumah rumah para warga Isyifa, dan yang lebih jahatnya lagi, mereka akan membangun sebuah gereja besar di tanah tanah warga. Mereka jahat banget hiks...."Tesya yang mendengar kata 'gereja'pun sesikit terkejut.

"Gereja?"

"Iya, mereka akan membangun gereja besar disana Isyifa, entah apa mau mereka sebenarnya"Tesya yang tadinya terlihat bingung, sekarang ikut menangis. Kenapa bisa jadi seperti ini.

"Didepan rumah warga sudah alat untuk membongkar rumah rumah, para warga berbondong-bondong datang ketempat itu dan mulai menghalau mereka semua hiks... Aku tidak pernah menyangka ini akan terjadi hiks...."

Air mata Tesya turun dari matanya, ia sedih saat melihat teman temannya menangis didepannya. Siapa yang melakukan ini semua? Tesya terdiam sambil memikirkan sesuatu, hingga satu namapun hinggap di kepalanya. Davio, sang opa.

"Apa benar opa yang melakukannya?"Lirih Tesya, Tesya semakin menangis saat satu nama itu melintas dipikirannya. Ia mengusap air matanya kasar, ia tidak boleh berprasangka buruk seperti ini. Mungkin ini semua tidak benar, Ya, tidak benar.

Ia harus mencari tau semuanya, semoga opa tidak melakukan semua ini, Tesya mohon hiks...

"USIR MEREKA DARI KAMPUNG KITA!"Teriakan menggema terdengar dari kuping mereka. Tesya menatap teman temannya yang juga menatapnya, hingga mereka semua pun keluar dari rumah Tesya dan melihat banyaknya warga yang berjalan didepan. Mereka semua berteriak tidak terima kalau rumah rumah mereka dibongkar.

Tesya dan yang lainnya langsung berjalan mengikuti, terlihat teman teman Tesya ikut berteriak dengan lantang.

Tesya hanya bisa terdiam sambil mengikuti, pikirannya mengarah kearah lain, hingga tubuhnya terasa didorong dari samping. Tesya menatap seorang ibu yabg terlihat berteriak sambil menangis disampingnya.

Dia berhenti berjalan dan terdiam di tempatnya, semua warga mulai berjalan menjauh, meninggalkannya yang terlihat terdiam disana. Ia merogoh kantong gamisnya dan meraih sebuah benda didalamnya. Saat ia mendapatkannya dengan cepat ia mengeluarkannya dari kantong gamis, ia menatap benda itu sambil meremasnya.

Air matanya turun dari matanya dan dengan kasar membuang benda itu menjauh darinya "Maafkan Tesya mi, maafkan Tesya"Lirihnya pelan. Lalu ia berjalan mendekati para warga disana.

Seseorang dibelakang Tesya terlihat terdiam setelah Tesya berjalan menjauh. Orang itu langsung menatap benda yang baru saja dibuang Tesya "Kalung salib?" Orang itu menatap Tesya dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan. Lalu, ia mulai berjalan menjauh dari tempat itu, meninggalkan kalung berbentuk salib dibelakangnya.

•••••

Isabel menatap foto putrinya dengan sedih, air matanya selaku turun dari matanya. Ia merindukan Tesya, apa yang dia lakukan sekarang, apakah dia baik baik saja? Ya Tuhan, tolong jaga putriku. Garha, yang tak jauh darinya menatap ibunya dengan helaan nafas, melihat sang ibu menangis membuat dia juga ingin ikut menangis.

Tak bisa pungkiri bahwa dia juga merindukan adiknya, Tesya. Apa yang dilakukan adiknya sekarang, apa dia baik baik saja? Apa dia punya tempat tinggal? Atau bagaimana.

Dia memang kecewa saat Tesya masuk Islam. Tapi, rasa sayang yang begitu besar untuk adiknya itu tak mampu mengalahkan rasa kecewanya. Ia berjalan mendekati sang ibu, lalu ia menekuk ibunya dengan kencang.

"Sudah, mami jangan menangis. Tesya pasti baik baik saja diluar sana"Ucapan Garha tak mampu membuat tangisan Isabel berhenti. Ia merindukan Tesya, sangat.

"Mami rindu Tesya, Garha. Apa sekarang dia baik baik saja, dia punya rumah atau tidak, dia makan yang sehat sehat atau tidak. Diluar sangat berbahaya untuk Tesya, mami takut dia kenapa Napa Garha hiks.."Garha memeluk Isabel dengan kencang.

"Garha bakal cari Tesya besok. Mudah mudahan Garha bertemu Tesya dijalan"

"Kamu masih sayang Tesya?"

"Tesya adik aku mi, kandung. Seorang kakak mana yang tidak sayang dengan adiknya. Tesya memang sudah membuat Garha kecewa. Tapi, rasa sayang Garha ke Tesya lebih besar dari rasa kecewa Garha"

"Makasih sayang karena masih menyayangi Tesya"

"Mami gk perlu terimakasih mi. Ini kewajiban Garha sebagai kakak"Isabel tersenyum dengan senang. Lalu membalas pelukan Garha dengan kencang

••••••

Dua hari kemudian. Terlihat Tesya menatap bintang diatas langit, ia terdiam. Lalu mengingat masa kuliahnya dulu, ia mengingat laki laki itu, laki laki yang begitu Dia cintai, laki laki pertama yang bisa membuat ia begitu mencintainya. Laki laki Muslim yang sangat taat dengan Tuhannya, Allah.

Dulu, Tesya tidak begitu benci dengan Islam. Namun, saat bertemu dengan laki laki itu. Saat laki laki itu mulai meninggalkan dirinya dengan rasa sakit yang begitu ia rasakan. Saat itulah ia mulai begitu membenci Islam. Karena agama itu, ia tidak bisa bersatu dengan sang pujaan hati. Selain karena laki laki itu, keluarganya juga sangat membenci Islam, membuat ia semakin membenci agama itu.

Satu tahun kemudian, salah satu perempuan Muslim datang padanya, dan memberikan sebuah buku tentang agama Islam. Perempuan itu menyuruhnya untuk membaca buku itu. Tentu saja Tesya marah dan membuang buku tersebut. Namun, perempuan yang mempunyai buku itu hanya tersenyum, lalu memberikannya lagi kearahnya.

"Aku bukan menyuruhmu untuk meninggalkan agamamu sekarang, aku hanya ingin memberikan buku ini, kalau kamu tidak suka, biarkan saja buku itu disimpan didalam kamarmu. Tapi, saat hatimu menyuruh untuk membacanya, bacalah. Mungkin suatu saat nanti kamu akan mendapat hidayah darinya"

Saat itu Tesya tidak ingin menerimanya, namun didalam hatinya terus berteriak untuk menerima, hingga tangan miliknya meraih buku itu dan menyimpannya didalam tas. Perempuan itu pergi meninggalkannya.

Sesaat Tesya terdiam, lalu mulai memikirkan tentang buku tadi. Hatinya berteriak untuk membacanya, namun egonya tidak menginginkannya.  Dua bulan kemudian, Tesya menatap buku yang berada diatas mejanya. Lalu, dengan wajah bingung dia mulai membaca.

Keningnya mengkerut saat membaca isi didalamnya. Dengan pemasaran yang begitu besar, Tesya mulai membeli buku buku tentang Islam dan buku buku itu sudah lebih dari 20. Hingga, satu tahun kemudian dia mulai mempercayai bahwa Islam lah agama yang paling benar.

Tesya tersenyum saat mengingat masa masa itu "Jika kita berjodoh, pasti Allah akan mempertemukan kita suatu saat nanti kak. Kakak tau, rasa suka itu masih ada di hati Tesya, apakah kakak sudah tidak ada rasa lagi sama Tesya?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.

ISYIFA RAHADIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang