0.02 - Bukan Cinta Monyet

33.5K 2.2K 112
                                    

Dua orang itu sudah sampai tujuan. Ketika Jino hendak menemui Juna si kakak Kara, Kara menahan Jino. Kara seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi Jino tunggu-tunggu, gadis itu hanya diam.

Jino menyentil pelan kening Kara. "Ra, lo rame aja udah aneh. Ini lagi malah diem, tambah aneh, Ra."

Kara sedikit mengerucutkan bibirnya. "Mau nanya," cicit gadis tersebut.

"Satu pertanyaan dibayar seloyang brownies," sahut Jino.

"Nggak jadi deh!" Kara melangkahkan kaki ke kamarnya.

"Ya udah," sahut Jino cuek.

Kara memasuki kamar. Melempar handphone ke atas tempat tidur, melepas ikatan rambut, memakan wafer dengan rakus. Kara sedang kesal. Padahal tadi Kara sudah berniat membantu di bakeri milik mamahnya yang terletak di samping rumah, tapi mood Kara sudah menurun.

Ega, dia orangnya. Ya, Kara menunjuk orang itu sebagai alasan.

Melihat Ega duduk berdua bersama kekasihnya. Berlaku dan berkata lebih kalem. Menatap lebih lembut. Satu yang dirasa Kara saat ini, cemburu.

Tapi apa haknya? Kara bukan siapa-siapa untuk Ega.

Kara merebahkan tubuhnya sembari kembali melamun.

Rumah tadi, bukan hanya sekadar rumah sahabatnya. Anin itu tiga bersaudara. Jino anak pertama, Ega anak kedua, dan Anin si bungsu. Jino dan Ega adalah sahabat karib Juna, kakak Kara. Sedangkan Anin adalah sahabat Kara. Keluarga mereka juga sudah dekat, karena mereka semua kenal sejak lama, dari Kara dan Anin masih kelas lima SD.

Lalu tentang Ega, pemuda itu punya tempat tersendiri di hati Kara.

Pemuda tinggi nan tampan berusia 20 tahun dengan tabiatnya yang dingin, cuek, omong sesukanya, raut datar, dan tatapannya yang tajam.

Orang-orang sering merasa segan untuk mendekat apalagi sampai mengajak bicara. Sekalipun Kara, dia seringkali takut mengakrabkan diri. Ega si irit bicara itu punya kebiasaan mengabaikan lawan bicaranya. Seperti bicara pada tembok, ucap orang-orang. Kemungkinannya hanya dua, dicueki atau dibalas dengan kata-kata pedas.

Ega hanya akan mengeluarkan banyak kata ketika berbicara dengan orang terdekatnya. Jadi jika Kara merasa Ega terlalu irit bicara padanya, berarti Ega tak menganggap Kara sebagai orang terdekat. Sungguh miris.

Tapi pemuda dengan segala sifat menyebalkannya itu, secara tidak sadar telah berhasil membuat Kara menjatuhkan hati padanya, Hega Abimanyu.






*****






"Apa?! Gila, ya, lo?"

Kara memutar bola mata malas mendengar respons Ghea.

"Udah berapa lama? Udah sejak kapan? Hah? Lama apa belum?!" Sahabat Kara yang satu ini orangnya suka menggebu-gebu. Kara sebagai sohibnya ya jelas, sama saja.

"Lima tahun ... Mungkin? Eh, nggak tau deng, lupa."

"Eh, orgil! Lo nahan perasaan lo diam-diam, nggak cerita sama siapa-siapa termasuk gue, bertingkah sok biasa aja di depan Bang Ega, dan itu udah berlangsung lima tahun?! Gila, Kara, mantap! Jadi dulu yang lo sering ngomong lo punya cinta monyet itu Bang Ega, Kara?!"

Kara mengangguk sekenanya. Kalau sedang tidak malas, sudah Kara ajak gelut itu si Ghea.

"Tapi kayaknya di umur gue sekarang, ini bukan lagi cinta monyet."

"Ya, emang! Ra, kok .... Ya, ampun, Ra, cowok masih banyak, Ra. Yang suka sama lo juga banyak. Bang Ega udah kayak abang kita. Kenapa harus Bang Ega gitu lho. Kenapa?!" omel Ghea tak santai.

Rasa Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang