0.06 - Horor

18.2K 1.7K 32
                                    

Seyeng, komen apa kek biar rame dikit wkwkwkwk. Mau kalian komen ngata-ngatain Ega juga gapapa dah asli 🙏








*****







Ega melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu kencang, tidak pula terlalu lambat.

Kara di belakangnya mendengus pelan. Padahal dia sudah memakai jaket, tapi masih saja dingin. Sepertinya Kara tak begitu cocok dengan udara malam.

Sejak dari rumah sampai di tengah perjalanan, Kara dan Ega lebih banyak diam. Kara bingung dia harus mulai dari mana untuk mengajak Ega berbincang. Kara tak terbiasa bercakap-cakap dengan Ega.

Ega sih tadi sempat bertanya, apa sekolah belum dikunci jam sebegini? Dan Kara hanya menjawab dengan singkat.

Namun meski begitu diam dan sepi, Kara tak menampik kalau dia merasa senang. Bisa berboncengan berdua dengan Ega, menikmati angin malam dalam diam.

Sepertinya mau bagaimanapun kondisinya, kalau bersama Ega, Kara akan selalu senang. Bohong jika Kara bilang 'lebih baik pergi sendiri daripada bersama Ega'. Itu tadi gengsi saja.

Ega tiba-tiba menepi kemudian menghentikan laju motornya. Membuat Kara yang tak siap jadi menabrak pelan punggung Ega.

"Bentar, gue angkat telpon dulu," ucap Ega sembari menoleh pada Kara.

Kara mengangguk beberapa kali.

Awalnya Kara tak ingin mendengar pembicaraan Ega dengan seseorang di seberang sana, ia tahu itu tak sopan. Namun setiap perkataan Ega membuat Kara tanpa sadar menguping.

"Apa lagi? Gue masih di jalan."

"……………"

"Nganterin adik gue."

"……………"

"Adik gue cewek, ya, jelaslah gue nganterin cewek."

"……………"

"Ya."

"……………"

"Hm."

"……………"

"Udah, ya, La. Gue lagi males berantem."

Ega mematikan panggilan telepon.

Segera Kara memalingkan wajah agar tak ketahuan Ega kalau dia habis menguping.

Bisa Kara simpulkan, yang menelepon Ega tadi adalah Tiala, pacar cowok itu. Lalu bisa Kara dengar, Tiala ngomel-ngomel dan Ega membalasnya dengan tak acuh.

Bukannya merasa senang mendengar perdebatan tersebut, Kara justru merasa tak enak. Tidak seharusnya dia tahu masalah mereka.

Tak lama setelahnya Ega kembali melajukan motor.

Tanpa niat yang sadar Kara bergumam, "Eh, tapi dia bilang apa tadi? Nganterin adiknya? Lah?"

"Kenapa?" tanya Ega dengan suara sedikit keras.

"Enggak! Nggak pa-pa. Hehe…."

Adik, ya? Kara hanya sebatas adik untuk Ega.





*****





Dari awal dua orang itu tiba di sekolah hingga saat ini, Kara tak hentinya berjalan merapat pada Ega. Ini bukan modus, tapi Kara memang sedang takut.

Rasa Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang