[4]

102 12 1
                                    

“ Cel...” Panggil Ayrin setelah meneguk habis sebotol minuman dingin.

“ Iya?” Acel menyahut dengan nada lemas.

“ Kak Bara masih deketin kamu?”

“ Ya, gitu deh,”

“ Gitu gimana? Kalian masih suka chat-an?”

Acel mengangguk samar.

“ Kamu udah suka sama Kak Bara?” Tanya Ayrin menyelidik.

“ Belum.”

“ Kenapa? Nanti keburu diambil orang loh,” goda Ayrin sambil menyenggol lengan Acel.

“ Aku nggak mau mikirin soal itu dulu, Rin. Aku mau fokus belajar. Kamu tau sendiri ‘kan, Mama Papa aku kayak gimana? Sikapnya keras sama aku. Aku cukup kagum aja sama Kak Bara. Enggak lebih.”

Kesedihan pada raut wajah Acel terukir sangat jelas ketika ia mengatakan hal tersebut.

Ayrin menganggukan kepalanya mengerti. Ia tahu persis kalau sahabatnya itu sudah mulai menaruh hati kepada Bara. Tapi sahabatnya itu terlalu malu sekaligus ragu untuk mengatakannya. Tapi berbeda halnya mengenai Acel yang ingin fokus belajar. Ia benar-benar jujur mengatakannya.

“ Cel, muka kamu kok pucat? Kamu kenapa? Sakit ya?” Tanya Ayrin dengan tiba-tiba.

“ Cuma pusing sedikit, kok,” nada bicara Acel terdengar semakin lemah.

“Ohh,” Ayrin bergumam sambil melanjutkan makan siangnya.

BruukTiba-tiba tubuh Acel terjatuh dengan keras ke lantai. Acel tak sadarkan diri. Ayrin yang tengah asik makan, terkejut melihat sahabatnya itu sudah tak sadarkan diri di bawah lantai kantin. Tubuh Acel pun digotong oleh seorang guru yang kebetulan sedang lewat. Gadis malang itu segera dilarikan ke UKS untuk ditangani.

“ Gimana, Kak?” Tanya Ayrin cemas kepada petugas PMR yang bertugas di sekolah.

“ Nggak apa-apa. Dia cuma kelelahan. Kalau dia sadar, kasih minum air putih hangat ya. Kakak keluar dulu sebentar.” Jawabnya seraya bergegas pergi meninggalkan Ayrin dan Acel yang masih terbaring lemah di ranjang UKS.

Bara melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menuju UKS. Jantungnya berdegup kencang tak karuan. Bara sangat panik ketika mengetahui bahwa Acel telah pingsan. Dengan peluh yang mengucur dari keningnya, Bara mencoba untuk membangunkan Acel dengan mendekatkan minyak kayu putih ke hidung mancung milik Acel.

Beberapa menit kemudian, Acel mulai membuka matanya secara perlahan. Disaat itulah, tergambar kebahagiaan dan perasaan lega diraut wajah Bara.

“ Acel, kamu enggak apa-apa?” Tanya Bara setengah berbisik. Takut kalau suaranya mengejutkan Acel yang baru tersadar.

Acel sedikit terkejut. Bukan karena suara yang dikeluarkan Bara terlalu keras, bukan. Melainkan oleh kehadiran sosok Bara disampingnya. Acel tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Bara. Melainkan memalingkan wajahnya dari pria itu.

“ Kamu kenapa?” Bara heran dengan sikap Acel yang tiba-tiba berubah drastis.

Acel masih tetap tidak mau menjawab. Tubuhnya bergetar. Ia mulai menggigit bibirnya kuat-kuat. Berusaha menahan agar dirinya tidak menangis dihadapan Bara.

“ Mungkin Acel masih sakit, Kak. Kakak keluar dulu ya?” Ayrin berkata hati-hati tanpa menyinggung perasaan Bara.

Bara berusaha untuk mengerti keadaan. Dengan berat hati, ia pun meninggalkan Acel yang sudah tak kuasa menahan tangisnya. Hebatnya, Ayrin tahu persis mengapa Acel bersikap seperti itu terhadap Bara. Ia sangat mengerti keadaan dan perasaan sahabat sejak SMP-nya itu.

Acel terisak, “ Aku bingung harus gimana, Rin,”

***
Setiap harinya, Bara tetap mengirimkan pesan kepada Acel. Namun satu pesan pun tidak pernah dibalas lagi oleh Acel. Bara tetap melemparkan senyum manisnya kepada Acel ketika tak sengaja bertatapan muka. Namun, lagi-lagi tak terlihat Acel menyunggingkan senyum sedikitpun untuk Bara. Melainkan memalingkan wajahnya ke arah lain, seakan-akan gadis itu sangat membenci Bara.

Sakit. Itulah yang sedang dirasakan oleh Bara. Ia tak tahu cara agar Acel dapat kembali seperti dulu. Ia sama sekali tidak tahu mengapa gadis yang ia sukai tiba-tiba merubah sikap terhadapnya. Sikap dingin yang ditunjukkan Acel kepada Bara itu sangat membuatnya bingung. Ia takut, nantinya ia akan menyerah terhadap Acel. Ia takut, kalau kedekatannya dengan Acel hanya sampai disini saja.

Aku tidak mau menyesal karena tidak bisa mendapatkan kamu. Tapi aku juga tidak sanggup menahan sakit yang berlebihan ini, Batin Bara.

Beberapa hari ini, Acel tak selincah biasanya. Ia terlihat uring-uringan. Tubuhnya lemas karena tidak mau makan dan konsentrasi belajarnya pun menurun. Nama ‘Bara’ lah yang selalu melintas dipikirannya. Sudah jelas, Acel telah menaruh hati kepada Bara. Berkali-kali ia berusaha untuk menghiraukan perasaannya itu. Namun ia selalu gagal.

“ Rin, aku harus gimana? Kasihan Kak Bara,” ujar Acel. Kepalanya tertunduk sedih.

“ Ikutin kata hati kamu, Cel.” Hanya itu yang mampu diucapkan oleh Ayrin. Karena ia pun tidak tahu harus mengusulkan apa kepada sahabatnya. Jujur, ia belum berpengalaman dalam menghadapi masalah seperti ini.

Salah SiapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang