Extra Part [2]

25 7 3
                                    

Kantin memang tempat yang paling cocok guna mengobati rasa penat sehabis belajar juga dapat mengatasi cacing-cacing yang tengah berunjuk rasa di daerah tempur paling amannya—perut manusia. Selalu seperti itu bila sudah tibanya jam istirahat. Acel dan Ayrin memesan makanan kesukaan mereka, nasi goreng spesial buatan Pak Nasrudin. Aroma khasnya menggelitik hidung mereka.

“Kamu kok makannya sedikit? Biasanya beli satu porsi. Tapi sekarang cuma setengah porsi,” tanya Ayrin kepada Acel yang tengah menambahkan sambal ke makanannya.

“Aku mau kurus,”

“Badan kamu udah kayak lidi gitu masih aja diet, Cel.”

Acel tertawa, “Bercanda-bercanda, lagi pengin makan sedikit aja. Aku udah sarapan banyak di rumah.”

Ayrin manggut-manggut mengerti, “Oh...”

“Gimana, Cel?”

Aktifitas Acel yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulutnya mendadak terhenti. “Gimana apanya, Rin?”

“Udah bisa menahan kangennya?” Ayrin memelankan desibel suara.

“Belum, malah sampai kebawa mimpi. Tapi kepotong gara-gara alarmnya udah bunyi.”

Ayrin terkekeh, “Sabar, pasti bisa kok. Wajar, Cel. Udah lama kalian nggak ketemu, pastilah rasa itu juga muncul dengan sendirinya.”

“Ayrin jangan keras-keras ngomongnya. Pelankan lagi,”

“Sudah pelan Cel, lagipula nggak ada Kak Bara di sini.”

Acel menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lalu ia bergumam, “Ada.”

Mata Ayrin membelalak, “Di mana?”

“Di belakang kamu,” bisik Acel bahkan hampir tak terdengar oleh Ayrin.

“Hai, boleh gabung?” Suara bariton tersebut yang Acel rindukan tapi seolah tak ingin didengarnya kembali. Apakah Acel tidak salah dengar? Apakah Acel tidak sedang melanjutkan mimpinya yang sempat terpotong?

Merasa tidak ada yang mau menjawab pertanyaannya, lelaki yang sedang mengenakan sweater hitam itu berkata, “Mejanya penuh semua. Boleh gabung? Aku sendirian kok. Nggak bawa teman apalagi pacar,” Bara tertawa kikuk, sedangkan Acel memelototi meja, masih menunduk. Apa sih maksud Bara? Sedang melawak atau bagaimana?

Acel dan Ayrin saling menatap sebentar, “Boleh,”

Tuhan telah mempertemukan mereka kembali. Tak tanggung-tanggung. Bukan hanya sekadar tak sengaja berpapasan di jalan atau tak sengaja saling menangkap tatapan, melainkan dipertemukan di dalam satu meja kantin yang sama. Saling berhadapan. Tetapi canggung sedang menguasai mereka. Bahkan Ayrin pun tak mau membuka suara.

“Apa kabar?” Bara mulai membuka suara. Makanan yang dibawanya belum disentuh sama sekali. Kentara sekali di wajahnya itu wajah orang yang sedang gugup.

Terdapat keheningan beberapa detik sampai akhirnya Ayrin menjawab, “Kabar kami berdua baik, Kak,”

Bara mengangguk, mengambil suapan pertama, “Ujian tengah semesternya gimana? Lancar?”

“Lancar, Kak,” lagi-lagi Ayrin yang menjawab. Sedangkan gadis di sebelahnya hanya menunduk, sambil sesekali menyuapkan makanannya perlahan.

“Sebentar lagi aku lulus. Ehm, masih lumayan lama sih, tapi bukankah waktu terasa berjalan cepat setiap harinya?” Bara mengusap tengkuknya pelan.

“Jadi, Kak?” Jangan tanya siapa lagi yang menjawabnya.

“Bisakah sahabat kamu mengobrol dengan aku sebentar saja? Aku takut kami nggak bisa mengobrol lagi kalau aku sudah lulus nanti.”

Acel dan Ayrin saling bertatapan sebentar. Seolah Ayrin mengetahui apa yang ingin ditanyakan sahabatnya, gadis itu mewakilinya, “Memangnya Kakak mau ke mana?”

“Ke luar kota. Aku mau melanjutkan kuliah di sana.”

Wajah Acel terasa memanas. Tubuhnya seakan dialiri oleh sesuatu yang aneh, jantungnya berdebar hebat. Iya, ia merasa sedih, sangat sedih sekaligus kecewa mendengar Bara mengatakan ia akan pergi jauh. Itu tandanya kesempatan untuk sekadar mengobrol dengan Bara semakin menipis. Acel ingin sekali bercengkrama seperti biasa dengan Bara. Tapi di dalam dirinya seakan ada yang menahan untuk melakukan hal tersebut.

“Bara aku cari-cari ternyata kamu di sini,” seseorang membuat mereka menoleh ke arahnya.

Antara ingin dan—entah apa yang dirasakan olehnya sampai gadis itu memutuskan untuk pergi tergesa-gesa dari kantin. Pinggulnya sempat menyenggol sudut meja. Ringisannya ia tahan sebentar bersamaan dengan bulir air mata yang ingin menerobos keluar.

Dengan gerakan cepat Bara mengejarnya seperti yang pernah ia lakukan dulu tanpa sempat dicegah oleh Ayrin ataupun Levina yang baru saja datang. Lagipula Ayrin tidak berhak untuk mencegahnya. Itu sudah menjadi urusan mereka. Biar mereka yang menyelesaikan masalahnya hanya berdua. Campur tangan dari Tuhanlah yang membantu mereka. Mungkin itulah yang terbaik, berbicara sebentar, meluruskan masalah, dan memperbaiki semuanya seperti sedia kala. Benar begitu?

TBC

.

.

.

#AdaYangPernahNgerasainPerasaanKayakAcelNggakSih??

Aku juga bingung sendiri gimana rasanya jadi Acel. Gak suka! Nangis mulu gara-gara kangen! Kenapa sih Cel? Kalau nangis, nangis aja jangan dipendam. Kalau rindu bilang aja jangan dipendam. Kalau sakit kejedot teriak aja jangan dipendam.

Mungkin perasaan dia itu ada diambang:

-Antara gengsi sama rindu.
-Antara takut kehilangan dan takut  jadi orang ketiga. Canda,canda. Antara takut diomelin orangtua yang benernya.
.

.

.

Btw 30 hari di bulan april udah aku hapus yaaa gapapa tunggu aja sapa tau up lagi :v

Btw lagi semangat puasanya bagi kalian yang sedang menjalankan! Kalian bisa! Kalian pasti bisa puasa sampai penuh! Buat kalian yang lagi sedih juga semangat! Tuhan pasti buka jalan. Abaikan mulut jahat orang lain dan pisuhan orang lain. okay? Semangkaa!!! 🖤🤗💪

#suka lope item :(
#comment_vote_share ya gais. Dibaca doang aku udah seneng bukan kepalang tapinya >.< 

tapi lebih baik vote :( soalnya kalian gak akan rugi. Bener gak? ^^

Oh iya satu hal yg harus diketahui, email aku bermasalah, jadi gak bisa kirim wall atau pesan ke kalian:( Aku pake akun yg satu lagi buat ngirim pesan okayy

-slmpnpn🖤-

Salah SiapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang