[6]

100 8 3
                                    

“Jangan ke sana, Cel. Kamu temenin aku aja disini.” Acel yang sedang ingin pergi ke lapangan untuk sekadar mencari angin segar, segera dicegah oleh sahabatnya, Ayrin.

“Memangnya kenapa? Aku sesak di kelas terus, Rin. Gerah. ” Jawab Acel sambil mengikat rambutnya yang berwarna kecokelatan.

“Ke kantin aja yuk, atau ke perpustakaan ya?” Ayrin berusaha membujuk Acel.

“Enggak mau. Aku mau ke lapangan, sebentar aja kok.” Acel segera beranjak dari kelas menuju lapangan.

Ayrin terlihat gusar. “Aduh, gimana ini?”

“Ada apa di tengah lapangan? Kenapa pada kumpul di sini?” Acel bertanya kepada salah satu siswi yang ikut berkerumun di sana.

“Ada yang lagi nyatain perasaan, Kak.” Jawab seorang gadis berambut pendek sebahu dengan semangat.

Acel pun segera membelah kerumunan dan menerobos masuk ke dalamnya. Penasaran. Ingin melihat siapa sebenarnya yang sedang menjadi tontonan seru para siswa saat itu. Acel telah melihat siapa mereka. Lelaki yang pernah ada didalam kehidupannya dan masih belum ia lupakan sedang bersama seorang gadis yang tidak pernah dikenalinya. Ia tertegun sejenak. Masih tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat pada saat itu.

Seketika butiran bening dipelupuk mata Acel terjun bebas mengenai pipinya yang berubah menjadi pucat.

“Kak Bara jahat!” Acel berteriak sehingga membuat semua mata tertuju padanya. Gadis itu telah mempermalukan dirinya sendiri.

Acel berlari menjauhi kerumunan tanpa memerdulikan banyaknya sepasang mata yang sedang memandangnya dengan heran. Dadanya terasa sesak melihat kejadian tersebut. Entah kenapa hatinya terasa terbakar. Secepat itukah Bara melupakannya? Secepat itukah Bara berpaling darinya?

“Kamu yang meminta aku untuk melupakan kamu. Tapi kamu juga yang menyalahkan kalau aku tidak setia.” Ucap Bara dalam hati. Mata sendunya masih menatap kepergian Acel.

“Ayrin!” Teriak Acel ketika berpas-pasan dengan sahabatnya di lorong sekolah.
Acel menangis dipelukan Ayrin. Meluapkan segala kesedihan yang ia rasakan. Melepas segala perasaan yang selalu datang tidak karuan.

“Kak Bara kenapa bisa gitu, Rin?”

“Harusnya kamu senang ‘kan, akhirnya dia bisa lupain kamu. Bukannya itu yang kamu mau, Cel?”

“ Disatu sisi, aku pengin Kak Bara lupain aku. Tapi disisi  lain, aku sedih banget, Rin. Sakit rasanya. Aku bingung sama diri aku sendiri. Aku bodoh. Aku nggak bisa mengerti perasaan aku sendiri.” Acel semakin terisak. Air matanya mengalir deras mengenai baju seragam milik Ayrin.

“ Kamu tau ‘kan, orangtua aku nggak bolehin aku menjalin hubungan sama Kak Bara untuk saat ini? Bahkan perasaan suka sedikitpun mereka larang karena takut mengganggu pelajaran dan takutnya malah terjerumus ke hal yang buruk? Aku cuma nggak mau ngecewain mereka aja, Rin. Aku cuma berusaha nurut sama mereka,” lanjutnya sambil terisak.

Ayrin terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jujur, ia juga bingung. Perasaan Acel terhadap Bara tumbuh begitu saja pada waktu yang tidak tepat. Tidak ada yang bisa menduga dan melarangnya.

Tetapi, setidaknya Ayrin bisa memberikan perhatian penuh kepada sahabatnya itu. Cukup untuk selalu ada ketika sahabatnya sedang membutuhkan sandaran.

Menurut kalian, siapa disini yang bersalah? Bara yang tidak setia dan mudah menyerah terhadap Acel? Ataukah Acel yang selalu membohongi perasaannya karena tidak mau mengecewakan kedua orangtuanya?

Hal ini bukanlah sebuah perkara yang harus diperdebatkan. Pada dasarnya, memang ada saat dimana sang Kebenaran sulit untuk menentukan dimanakah ia akan berkuasa.”

Selesai.

Salah SiapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang