Extra Part [1]

38 7 3
                                    

Sudah berbulan-bulan lamanya Acel dan Bara tidak saling bertemu. Jujur, gadis itu merindukannya. Sekelebat memori langsung menyusup kala Acel sedang melamun sendirian di balkon kamarnya.

***
“Cel?” Panggil seseorang yang suaranya sama sekali tidak ingin ia dengar.

“Kenapa kamu nangis?”  Tanyanya.

“Kakak ngapain di sini?”

“Nyamperin kamu,”

“Aku nggak apa-apa, Kak.”  Lirih Acel. Jari jemarinya ia kepal dengan kuat. Berharap air matanya itu berhenti mengalir.

“Buktinya kamu nangis?”

Bara mendekati Acel. Tetapi Acel menjauh darinya. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Ia malu, Acel malu menangis di depan Bara.

“Maaf,” hanya kata itu yang dapat dilontarkan Bara.

“Kakak nggak salah. Udah berapa kali Acel bilang Kakak nggak salah. Acel yang salah.” Acel berbicara tegas. Menekankan semua kalimat yang keluar dari bibirnya yang bergetar.

“Terus aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?”

“Kakak pergi. Kakak ke lapangan sekarang. Ada orang yang lagi nunggu Kakak.”

Bara mengangguk. Beringsut ia meninggalkan Acel sendirian. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi selain yang Acel suruh.  Sepeninggal Bara, tangisnya membuncah bertambah deras sampai ia memutuskan menemui Ayrin sahabatnya.
Sejak saat itu ia putuskan tidak akan mengharapkan dan mengingat Bara lagi karena dia sudah menjadi milik orang lain.

***
“Acel... kamu di mana, Cel?” Teriak Ayrin seperti anak kecil mengajak bermain temannya.

“Di balkon!” Sahut Acel.

Ayrin menghampiri Acel. Gadis itu memang sedang menginap di rumah Acel karena ada tugas kelompok yang harus dikerjakan malam itu juga.

“Jangan kebanyakan melamun, Cel. Nggak baik.”

“Aku nggak melamun, Rin,”

“Kalau kamu di balkon gini, pasti kamu lagi ngelamun. Jujur aja deh,”

Acel mengangguk. Sahabatnya tidak bisa dibohongi terlebih lagi kalau urusan seperti ini.

“Memangnya lagi ngelamunin siapa? Kak Bara?”

Acel tersentak. Kenapa ia bisa tahu?

“Enggak, Rin.”

“Tuh kan, kamu bohong lagi.” Ayrin tertawa renyah.

Acel heran, mungkinkah sahabatnya itu seorang cenayang atau semacamnya? Tentu saja bukan. Ayrin hanyalah Ayrin yang selalu mengerti dan tahu apa yang sahabatnya tengah rasakan.

Ayrin duduk di sebelah Acel, “Aku pengin kamu tahu sesuatu.”

“Apa?”

“Puncak kangen yang paling dahsyat itu ketika dua orang tidak saling menelepon, SMS, BBM dan lain-lain tetapi keduanya diam-diam saling mendoakan.”

Acel tertawa geli, “Aku tahu, itu kata-katanya Pak Sujiwo Tejo kan?”

“Kok kamu tahu sih?”

“Karena aku bukan tempe,” sekali lagi Acel tertawa.

“Nah gitu dong, ketawa. Kamu udah lama nggak ceria kayak gini. Kak Bara dan Kak Bara terus yang ada di pikiran kamu.”

Acel menempelkan jari telunjuknya di bibir, “Jangan keras-keras ngomongnya.”

“Oke-oke.” Ayrin memelankan suaranya.

“Tapi bener loh, kata-kata tadi,”

“Kata-kata yang mana?”

“Yang aku copy paste tadi. Kalau kamu kangen, bawa aja dalam doa. Pasti terobati. Kalau kamu nggak bisa melihat wajah Kak Bara, cukup bayangin aja.”

“Aku nggak kangen,”

“Tapi...?”

“Nggak pake tapi, Rin.” Pipi Acel merona. Sudah jelas ia rindu dan ingin bertemu.

“Bohong aja terus, Cel.”

Tidak usah malu jika cemburu. Tidak usah malu jika merindu. Kalau Tuhan sudah menggariskan kalian untuk bertemu, kalian akan segera bertemu.

***

Salah SiapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang