Bahagia tak terkira rasanya, bisa menghabiskan waktu dengannya. Setelah sekian tahun terpisah, akhirnya hari ini aku bisa memandang, menggandeng, mengelus bahkan memeluknya. Kurasakan bibirku tersenyum sambil memandanginya yang lahap menikmati ayam goreng krispi dengan sesekali meminum colanya.
"Mah, aku pengin dikhitan sebelum hari ulang tahunku," kata Nabhan tiba-tiba.
"Nabhan sudah berani?" tanyaku. Ia mengangguk sambil masih menekuri nasi dan ayam gorengnya.
"Tapi, Papah bilang belum punya uang," katanya lagi sambil manyun.
"Ya sudah, Nabhan khitan di rumah Mamah saja." Nabhan menghentikan aktivitasnya, lalu memandangku nelangsa.
"Papah nanti marah-marah lagi sama Mamah. Nabhan enggak mau lihat Mamah dimarahi Papah lagi."
Aku memeluknya haru. Tanpa terasa bulir bening mengalir dari sudut mataku. Hatiku kembali terasa perih. Bayangan Nabhan kecil yang tumbuh tanpa kasih sayangku menghentak ruang dadaku. Sampai tanpa kusadari seseorang telah berdiri menjulang di hadapanku. Aku mendongak, kulepaskan pelukanku pada Nabhan.
"Nabhan, Papah tunggu di mobil, ya." Lelaki jangkung dengan badan kekar dibalut cardigan abu-abu itu menghentikan langkahnya saat Nabhan memegang tangannya.
"Pah, malam ini Nabhan boleh tidur sama Mamah?" Sorot mata Nabhan mengiba. Aku tidak tega melihatnya.
"Sebelum jam enam pagi, kupastikan dia sudah kukembalikan," kataku. Lelaki itu memandangku tajam, rahangnya mengeras.
"Baiklah. Jangan kau racuni pikirannya!"
Mataku membulat mendengar ucapannya. Ingin rasanya sumpah serapah kusemburkan ke mukanya.
***
Aku benar-benar bahagia. Malam ini bisa memeluk Nabhan sepuasku. Ia pun sepertinya bahagia. Dengan berbaring dalam pelukanku dan menyaksikan tayangan tivi ia tak henti-hentinya berceloteh, menceritakan teman-temannya, menceritakan Kang-Kang dan Mbak-Mbak pondok yang kadang ia usili, menceritakan aktivitas di sekolahnya. Tiba-tiba keceriaan itu hilang. Ia berubah menjadi murung. Ia berbalik dan memandangku.
"Mamah di sana punya banyak teman 'kan?" Aku mengangguk.
"Mereka sayang Mamah 'kan?" tanyanya lagi. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, menyembunyikan kesedihanku.
"Papah enggak mau cari Mamah baru, jadi Nabhan enggak mungkin menemani Mamah." Nabhan memelukku erat.
"Mamah cari Papah baru, biar ada yang menemani dan melindungi Mamah."
Aku terpekik tanpa suara. Kubalikkan tubuhnya, lalu kupeluk dari belakang agar ia tidak melihat air mata yang sudah tidak bisa kubendung lagi.
"Mamah baik-baik saja, sayang," bisikku.
***
Setelah sholat Subuh, Aku dan Nabhan segera sarapan di resto hotel tempatku menginap. Agar bisa segera mengembalikan Nabhan pada Papahnya. Aku tidak mau mantan suamiku marah dan tidak memberi izin padaku untuk menemui Nabhan. Meskipun rasa kangenku belum terselesaikan, aku harus menahan diri.
Pagi ini aku ingin sedikit memanjakan Nabhan. Ia kusuruh duduk saja menungguku, sementara aku sibuk mengambilkan makanan untuknya. Aku menunggu sedikit lama di egg pantry untuk mendapatkan telur ceplok setengah matang kesukaan Nabhan.
Saat kembali ke meja makan kami, Nabhan terlihat sedikit ketakutan. Ia menyodorkan ponselku yang sengaja kutinggal di meja.
"Papah," katanya singkat.
Aku tersenyum, lalu menepuk-nepuk bahunya agar ia tenang.
"Makanlah! Mamah akan telpon Papah balik."
Aku meninggalkan meja makan menuju pinggir kolam renang yang ada di luar resto. Kulihat ada sepuluh kali panggilan masuk di notifikasi panggilan.
"Assalamu'alaikum," ucapku.
"Wa'alaikumussalam. Kau sengaja ingin melarikan anakku? Hah!" Aku sedikit menjauhkan speaker ponselku dari telingaku yang masih mendengung karena suara keras yang tiba-tiba menghantam gendang telingaku.
"Maaf, Gus. Nabhan baru sarapan."
"Setidaknya angkat telponku, jika kamu masih berniat baik," katanya lagi, masih dengan nada tingginya.
"Aku tadi baru ...."
"Segera bawa ke sini! Kamu sudah berjanji akan mengembalikannya sebelum jam enam. Jika kamu melanggarnya, maka ini akan jadi pertemuan terakhirmu dengannya."
"Gus, ...."
"Assalamu'alaikum." Ia sudah menutup telponnya sebelum aku memberikan penjelasan. Selalu saja begitu. Dasar childish, hardikku dalam hati.
***
Taksi yang kami tumpangi telah memasuki gerbang pesantren. Nabhan mengeratkan pegangan tangannya, saat ia melihat Papahnya sudah menunggu di pintu Dalem dengan kilat mata penuh kemarahan.
"Mah." Aku mengusap-usap pundaknya berusaha untuk menenangkan.
Setelah membayar ongkos taksi, kami berjalan menuju pintu Dalem. Nabhan masih memegang tanganku dengan wajah ketakutan.
"Assalamu'alaikum," sapaku.
"Wa'alaikumussalam. Nabhan, kamu sudah ditunggu Kakek di dalam."
"Mah," Nabhan memandangku memelas.
"Nabhan temui kakek dulu. Mamah mau bicara sama Papah sebentar. Sebelum Mamah pulang, nanti pasti pamit Nabhan." Ia kemudian melepaskan pegangannya dan menuju ruang keluarga.
"Jangan terlalu keras pada Nabhan, Gus."
"Tahu apa kamu soal mendidik anak?" bentaknya. Aku menarik nafas dalam, untuk mengusir kemarahanku.
"Setidaknya, jangan buat dia ketakutan. Hidupnya pasti sudah sulit dengan perpisahan kita."
"Ini 'kan yang kamu inginkan. Agar kamu bisa hidup bahagia." Ia memandangku tajam.
"Sudahlah, Gus. Ini sudah pernah kita bahas. Sekarang kita fokus saja pada hidup Nabhan." Aku kembali menarik nafas untuk mengatur gejolak dalam dadaku.
"Ia minta dikhitan sebelum hari ulang tahunnya."
"Dia sudah katakan itu berkali-kali. Setelah tabunganku cukup, dia pasti aku khitankan," katanya ketus.
"Biar dia khitan di tempatku saja." Gus Sami memandangku dengan tajam. Sesekali rahangnya mengeras.
"Aku tahu, sekarang kamu kaya. Tapi jangan mimpi, dengan kekayaanmu itu kamu bisa merebut Nabhan dariku."
"Nabhan juga anakku, Gus!"
"Oh ya? Lalu ke mana saja kamu selama ini?" bentaknya. Darahku rasanya mulai mendidih oleh kata-katanya. Dadaku terasa sangat nyeri, tetapi akalku berusaha untuk tidak terpengaruh. Lagi-lagi aku menarik nafas panjang untuk menetralisir reaksi syaraf-syarafku.
"Baiklah, Gus. Tolong panggilkan Nabhan. Aku mau pamit."
"Pulanglah. Kamu tidak perlu pamit."
"Gus! Apapun yang terjadi pada kita, tolong jangan buat Nabhan semakin menderita."
"Aku sudah berjanji padanya untuk berpamitan sebelum pulang."
Nabhan keluar dalam sekali panggil. Matanya merah seperti habis menangis. Aku yakin, dia telah mencuri dengar pembicaraan kami.
"Mamah pulang dulu. Nabhan tidak boleh sedih, Mamah baik-baik saja di sana. Nabhan jaga Papah, ya. Tidak boleh nakal, tidak boleh membantah." Nabhan hanya mengangguk tanpa bicara. Aku memeluk dan segera melepaskannya sebelum air mataku tumpah ruah karena tak mampu membendung rasa.
Siang ini, aku kembali ke kotaku dengan tetap membawa lara. Aku seolah memutar ulang kenangan tujuh tahun lalu. Aku berusaha menahan tangis yang membuat dadaku terasa sakit, meskipun air mataku tak mampu kubendung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
GUS MANTAN
RomanceBagaimana jika kehidupan rumah tangga dibayangi oleh campur tangan mertua yang sejak awal sudah tidak berkenan menerima perempuan itu menjadi menantunya? Hancur, pastinya. Apalagi jika sang Anak selalu patuh pada ibunya sedangkan sang menantu memili...