10. On The Railroads

298 71 16
                                    

Ketika sebuah harapan muncul untuk hidup, sebuah semangat dan rasa bahagia menyelubungi sanubari kita. Energi positif itu tidak bisa dibandingkan dengan hal lainnya. Sama seperti perasaan Sohyun ketika akhirnya ia berdamai dengan rasa penyangkalannya akan Taehyung. Ia benci sekali pria itu pada awalnya karena Taehyung selalu bersikap seolah-olah dia adalah korban dari kehidupan yang kejam. Sementara, Sohyun pikir apa yang Taehyung alami belum apa-apa dibandingkan dirinya.

Sohyun mencoba mengerti sekarang bagaimana keadaannya. Ia sadar ia tidak bisa lagi hidup seperti apa yang ia yakini dulu. Bahwa ketika tak punya teman sama sekali, itu akan lebih baik. Kehadiran Taehyung membuatnya percaya bahwa ia bisa melupakan semua hal yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Namun, dari apa yang Taehyung katakan padanya saat di rumah Dr. Kim, membuat Sohyun berpikir ulang tentang hidupnya.

Aku benci seorang pembunuh...

Kalimat itu terngiang di kepala Sohyun berkali-kali. Rasanya sakit ketika mendengar ucapan itu keluar dari mulut Taehyung dengan ekspresi yang luar biasa dingin, membuat Sohyun berpikir mungkin ini adalah langkah yang salah ketika ia berharap Taehyung bisa mempercayai dirinya. Seharusnya dari awal, Sohyun tidak pernah menaruh sebuah harapan kepada Taehyung.

Gadis itu memeluk kakinya di tempat tidurnya. Sepulang dari kegiatannya hari itu, Sohyun jadi tak banyak bicara. Ia hanya mendengar celoteh Taehyung dengan Woohee yang menjemput mereka.

Ia merasa menjadi orang yang paling kejam ketika membayangkan bagaimana perasaan Taehyung saat tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kilasan masa lalu terlintas di kepala, membuat Sohyun memejamkan matanya dengan ketakutan.

***

Malam itu, Sohyun merasa inilah waktunya. Waktu baginya untuk terlepas dari jerat sang ayah tiri yang setiap hari menyiksanya dan ibunya. Terbangun dari tidurnya saat tengah malam, membuatnya melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamarnya. Dilihatnya sang ayah tiri tertidur di sofa dengan botol alkohol berserakan di dekatnya. Sementara sang ibu tertidur di ujung ruangan, dengan luka lebam baru di tangan dan wajahnya.

Tangan Sohyun mengepal, namun ia tidak merasakan emosi apapun. Sohyun mati rasa pada detak jantungnya. Tidak ada adrenalin yang terjadi ketika ia perlahan melangkah ke dapur dengan santai, dan mengambil sebuah pisau dapur yang besar.

Gadis itu melangkah kembali ke ruang tamu, kemudian berdiri di depan sang ayah. Tatapan gadis itu dingin ... tidak ada emosi di sana. Dengan gerakan cepat, Sohyun pun menancapkan pisau tersebut ke dada pria itu, tepat pada jantungnya.

Bersamaan dengan itu, sebuah teriakan histeris terdengar dari sudut ruangan.

"Sohyun!!" seru ibunya. Dengan cepat wanita itu mendorong Sohyun menjauh, kemudian menarik kerah baju gadis itu.

"Kau anak gila! Kau anak durhaka!! Bagaimana bisa kau melakukan ini?!" seru ibunya kemudian memukul Sohyun.

"Ibu..." lirih Sohyun. Gadis itu tidak merasa bersalah sama sekali karena baginya ini yang terbaik. Jika sang ibu tak mau pergi bersamanya, maka ia harus menyingkirkan pria itu. Namun, reaksi sang ibu membuat dirinya semakin tak mengerti.

"Aku berusaha melindungimu. Sudah cukup melihatmu terluka seperti ini," jawab Sohyun.

Wanita itu menampar Sohyun dengan kencang, membuat Sohyun terjatuh ke lantai. Di tatapnya darah yang perlahan melebar, bersumber dari kursi tempat jasad sang ayah tiri.

"Melindungiku, katamu?! Hah?! Melindungiku?!" histeris ibunya, "Kau menghancurkanku! Kau tidak tahu perasaanku selama ini!!"

I Need You ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang