Adelia melihat Edward sedang mencoba mencari sinyal ponsel. Dia datang mendekat dan meraih lengan pemuda itu. Membuat Edward segera mengalihkan pandangan kepadanya. Berangsur-angsur mata yang tadi tampak tidak terlihat oleh Adelia, berubah memerah penuh amarah. Edward marah padanya dan dia pantas mendapatkannya.
"Ke mana saja kau!? Kau pikir kami ke sini hanya untuk dibuat khawatir olehmu? Kau tidak berpikir kalau kau menghilang kakekku akan khawatir dan merasa bersalah! Punya otak tidak!"
Adelia meringis dengan amukan itu. Melepaskan tangannya dari lengan Edward Adelia hanya menatap dengan datar. Dia tidak suka ada yang marah padanya tapi dia juga tidak menyalahkan amarah Edward karena dialah yang salah. Dirinya yang membuat pemuda itu khawatir dan tentu saja bukan padanya kekhawatiran itu ada. Tapi kakeknya.
"Maafkan aku, aku tersesat."
"Ed, jangan marah sama dia. Dia tidak dengan sengaja melakukannya."
Adelia berbalik dan menemukan Steven di sana. Dia tersenyum dengan rasa bersalahnya.
"Kakek, maafkan aku. Tadi aku mau pipis dan aku malu untuk minta izin apalagi kalian sibuk dengan kijang yang kata kakek jarang ada. Jadi aku tidak mau merusak momen itu dan kupikir aku tidak akan kenapa-kenapa jika berjalan sedikit lebih jauh. Tapi aku malah tersesat."
Kebohongan itu mengalir dengan lancar. Adelia sudah memikirkan kebohongan apa yang akan dia katakan pada Edward dan kakeknya. Dan kebohongan yang baru dia katakan adalah pilihannya.
Steven memegang kepala Adelia dan mengelusnya lembut. Penuh dengan pengertian bahkan lebih terkesan khawatir dari pada kesal. Steven adalah pria tua yang baik, banyak yang memujinya demikian. Bahkan Adelia juga melihat Steven demikian.
"Tidak apa, Del. Beruntung kau temukan jalan pulang. Jadi bagaimana kau bisa kembali?"
Adelia bergumam mencari jawaban. "Aku hanya menemukan pohon yang aku kenali, jadi aku melewati pohon itu dan akhirnya di sini aku. Aku melihat Edward dan aku tahu kalau aku telah selamat."
Steven mengangguk dengan desah lega. "Kau pasti sangat takut di sana, Del?"
Adelia mengangguk. Dia memang takut awalnya. Sebelum dia bertemu dengan J tentu saja.
"Sebaiknya kita pulang sekarang dan memberikan minuman hangat untukmu. Kau terasa sangat dingin."
"Ya, kakek."
"Di mana jaketmu?" Edward yang bertanya.
Adelia menahan decakannya. Dia pikir tidak akan ada yang sadar dengan jaketnya. Tapi sial, kenapa malah Edward yang sadar?
"Hilang."
"Hilang? Hilang di mana?"
"Makanya hilang karena aku tidak tahu di mana."
Gadis itu tidak bermaksud meninggikan suaranya tapi sepertinya itulah yang telah dia lakukan. Dia sampai melihat keterkejutan di mata Edward. Tapi jelas Adelia tidak bisa menarik kalimatnya.
Yang mengejutkan adalah Edward malah membuka jaketnya dan memberikan padanya. Tanpa kata meminta Adelia memakai jaketnya.
"Tidak usah, aku tidak apa-apa."
"Pakai saja. Aku gerah di sini." Pemuda itu telah berjalan meninggalkan dia. Membuat Adelia hanya menatap dengan heran atas perlakuan aneh Edward.
Adelia menatap Steven meminta pendapat. Pria tua itu hanya mengangguk dengan senyuman, tanda kalau dia meminta Adelia menurut. Adelia memakai jaket itu akhirnya. Lagipula dia memang kedinginan dan pikirannya melayang kepasa J. Pria itu pasti lebih kedinginan darinya. Dia berharap pagi akan segera datang agar dia bisa segera kembali ke sana.
Adelia telah sampai di rumah dan juga mandi air hangat. Masih terlalu awal untuk tidur tapi dia tidak bisa menahan dirinya menunggu pagi segera datang jadi dia bergegas masuk ke selimutnya dan akan tidur.
Dia memaksa matanya terpejam sampai ketika pintu kamarnya terketuk dan terbuka. Gadis itu membuka matanya untuk melihat ibunya di sana dengan senyuman lembut, khas senyum ibunya.
"Mom?"
"Hanya ingin memeriksamu. Kau baik-baik saja?"
Adelia bangun dan duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Menatap ibunya dengan helaan nafas.
"Kakek Steven bercerita padamu?"
"Dia menyatakan kalau kau sempat membuat dia dan cucunya khawatir. Jadi kau tidak apa-apa sayang?"
Adelia mengangguk dengan pasti. "Aku hanya salah jalan, Mom. Bukan masalah besar. Tapi Edward sangat marah, dia pasti benci padaku karena membuat kakek Steven lelah."
"Kakek Steven malah berkata berbeda."
"Berbeda? Maksud Mommy?"
"Hmm... Edward ditinggalkan oleh orangtuanya bergitu saja jadi dia menjadi pendiam dan tidak pernah peduli dengan sekitarnya. Lalu saat kau menghilang dialah yang paling khawatir, itu pertama kalinya kakek Steven melihat dia begitulah frustasi. Kakek Steven berpikir, mungkin Edward memiliki perasaan tersembunyi padamu."
Ibunya harus berbisik di akhir kalimatnya, seolah mereka tidak berdua di rumah itu. Tapi jelas apa yang dia bisikkan ibunya membuat Adelia tertawa dengan keras. Gadis itu tidak menyangka ibunya begitu pandai membuat lelucon.
"Itu sangat lucu, Mom. Sebaiknya tutup pintu itu dan biarkan aku istirahat."
"Terlalu awal untuk tidak, Del."
Adelia merebahkan tubuhnya dan menarik selimutnya sampai leher. Dia berbalik miring dengan wajah menghadap jendela.
"Selamat malam, Mom," ucapnya dan memejamkan mata.
Hanya helaan nafas yang bisa dilakukan Christina. Dia menutup pintu dan meninggalkan Adelia.
Setelah kepergian ibunya, Adelia kembali membuka mata. Dia berdoa, semoga J baik-baik saja di hutan itu. Semoga J tidak kedinginan dan semoga dia bisa bertemu dengan J besok sesuai janjinya. Semoga J bukan hanya fatamorgana saja. Terlalu banyak semoga untuk pria itu.
Adelia mendekap dirinya dengan erat. Berharap yang terbaik untuk J dalam hati terdalamnya.
Dia memejamkan mata dengan nama J terangkai di bibirnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Robotic Obsession ✓ TAMAT
خيال علميCerita lengkap ada di playstore. Cari dengan kata kunci ENNIYY atau langsung ketik judulnya *** Adelia Clark pindah ke kota baru yang terletak di pinggiran hutan. Menjauh dari hiruk pikuk kota London membuat Adelia merasa berada di neraka dunia. Tap...