Chapter 11

8.7K 581 11
                                    

Adelia terus saja berjalan dengan pikiran melayang ke segala arah. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan segala apa yang terjadi padanya. Seolah hidupnya berada di taman bermain di mana dia sedang naik rollercoaster. Hidupnya terbolak-balik dengan mengerikan dan membuatnya sejenak ingin berteriak. Segala hal menekannya dengan tidak setengah hati. Dia menjadi seribu kali lebih frustasi dari biasanya. 

Pertama perceraian ibunya yang terjadi. Ibunya yang malang pada akhirnya mengajukan surat gugatan cerai ke pengadilan dan membuat ayahnya menerima ganjaran yang pas. Adelia bersyukur untuk akal sehat ibunya yang kembali. Harusnya ia lakukan dari dulu segalanya. Dia tidak harus memikirkan Adelia saat dia sendiri terluka. Ibunya yang malang terus mempertahankan bajingan seperti ayahnya hanya karena tidak ingin Adelia memiliki orang tua terpisah. 

Kedua adalah perpindahan mereka ke tempat ini. Ibunya berkata kalau hidup di London memiliki biaya yang cukup mahal dan wanita itu tidak sanggup menanggungnya. Itu alasan yang diberikan ibunya pada semua orang dan bahkan dirinya. Tapi jika di telaah lebih jauh lagi adalah kenapa baru sekarang dia tidak sanggup saat bertahun-tahun lamanya dia menjalani hidup itu. Yang bahkan di mana ibunya memberi makan tidak hanya Adelia tapi bajingan itu juga. Tapi setelah pisah dengan si bajingan, ibunya malah mengatakan tidak sanggup dengan biaya hidup di London. 

Tentu saja segalanya itu hanya omong kosong belaka. Ibunya hanya mencari alasan yang sangat tidak beralasan untuk membuat semua orang percaya. Orang yang tidak tahu bagaimana rumah tangga ibunya selama ini pastilah percaya. Sedang yang tahu hanya akan menganggap semua itu omong kosong belaka. Dan hanya Adelia yang tahu. 

Lalu ketiga adalah hadirnya pria dengan nama J tersebut. Pria yang berhasil menghancurkan bahtera hatinya. Pria yang menggoyahkan layar kembang perasaannya. Yang membuatnya bertanya-tanya, apa memang cinta begitu hebatnya menggilakan orang lain? Apa cinta memang semudah itu terjadi dan terakui? Apa cinta memang semurni itu untuk diorasi. Segala jawabannya menjadi buram saat hatinya tidak memiliki akal sehat yang cukup untuk menjawabnya.

Pria itu melubangi hatinya. Menciptakan wadah di sana untuk menanggung segala hal tentang dirinya yang membuat Adelia harus kembali bertanya pada dirinya sendiri tentang apa sebenarnya hakikat dalam mencintai orang lain? Apa yang kita butuhkan untuk membuat cinta itu menjadi sebenarnya cinta? Apa yang harus kita lakukan untuk tahu kalau cinta itu sungguh nyata atau hanya sebuah fatamorgana saja.

Mudah sekali bagi J mengatakan cinta padanya. Mudah juga baginya bersikap akan melindunginya dari jahatnya dunia. Semudah ia bernafas, lantas salahkah ia merasa ragu dengan segala sikap pria itu? Salahkah ia merasa kalau J hanya menjadikan dia mainan pribadinya dan pada akhirnya akan menyakitinya jua suatu hari nanti? Tidak salah bukan dia berprasangka?

Dia menggeleng. Apa sebenarnya yang terjadi padanya hari ini? Segalanya menjadi seribu tanda tanya lain dalam dirinya.

"Demi Tuhan, ke mana saja kau sebenarnya!"

Gadis itu mengerjap mendengar suara asing namun familier tersebut. Dia mengangkat kepalanya dengan bingung saat matanya menemukan satu sosok yang harusnya tidak ada di depannya. Dia adalah Edward. Pria dingin yang memiliki hobi memarahinya sepertinya. Sekarang juga dia hadir dengan kemarahannya. Apalagi salahnya kali ini?

"Aku mencarimu seharian penuh dan kupikir kau di mana binatang buas."

"Mencariku?" Gadis itu menunjuk pada dirinya sendiri dengan tidak percaya. "Kenapa kau mencariku?" tambahnya lagi dengan tanya.

"Kau masih bertanya?" suara Edward tidak merendah. Tetap setinggi yang pertama. "Tentu saja karena kau pergi dengan mengendap-endap dan tampak mencurigakan. Apa sebenarnya yang kau sembunyikan?"

Adelia berdehem. Tampaknya Edward melihatnya tadi pagi ketika dia berjalan melewati pria itu untuk masuk ke hutan. Bukan hal yang baik tapi dia juga harus segera memutar kepalanya untuk mencari jawaban yang masuk akal. Dia besok-besok akan mencari alasan dulu sebelum kembali. Dia tidak mau seperti ini. 

"Aku hanya berjalan-jalan di hutan," jawab Adelia seadanya. 

"Ini hutan, Del. Kau tidak tahu betapa berbahayanya bagi seorang gadis berjalan sendiri di sini? Aku saja yang laki-laki, tidak pernah diizinkan masuk hutan sendiri. Kakek akan selalu bersamaku sesibuk apapun dia. Lalu kau..."

"Aku hanya tertarik dengan keindahannya. Tidak ada maksud membuat kau khawatir atau sejenisnya. Juga kakek tidak tahu kalau aku pergi jadi tidak ada yang perlu kau perbesar-besarkan."

"Ini bukan tentang kakek, ini tentang..."

"Tentang apa?"

Edward mengalihkan pandangannya. Jelas dia hendak melontarkan kalimat tadi tapi dia terhenti di tengah jalan ketika melihat wajah gadis itu yang menatapnya dengan penasaran. "Tentang ibumuku kalau kau kenapa-kenapa. Dia akan sedih jadi cobalah memikirkan dia."

Adelia menghela nafasnya. "Ya, aku tahu."

Edward berdehem dengan salah tingkah. Dia melihat pada ransel Adelia yang kempes. Padahal dia melihat gadis itu memenuhi ranselnya dengan sesuatu tadi pagi. Ransel itu tampak sangat penuh. "Ke mana isi ranselmu? Aku melihat sekilas tadi pagi sangat penuh sampai membuatmu sedikit sulit melangkah."

Adelia menatap ranselnya dengan ekor mata. "Itu tidak penting. Sebaiknya kita pulang sekarang. Ibuku akan segera pulang jadi dia harus menemukan aku di rumah. Dia bisa histeris kalau aku tidak ada di sana."

Segera gadis itu melangkah pergi bahkan tidak dia pedulikan walau Edward masih ingin mengonfrontasi ranselnya. Dia cepat-cepat menghindar sebelum Adelia ketahuan berbohong. Dia harus menyembunyikan J dengan rapat-rapat. Dia tidak akan rela pria itu ditemukan oleh orang-orang itu dan berakhir dengan memisahkan mereka. 

Dia tidak bisa berpisah dengan J.

***

Robotic Obsession ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang