"Gue sayang lo, Nadia." Mata gue membulat denger perkataan Renjun barusan.
Entah perasaan apa yang gue rasain saat ini, gue gabisa balas pelukan Renjun. Semakin gue inget perkataan Renjun tadi, semakin besar rasa bersalah gue sama Kak Dejun.
Rasanya saat ini bukan waktu yang tepat.
"Lepasin Jun." gue dorong badan dia.
Dia masih belum lepasin pelukannya.
"Jun! Gue bilang lepas!" gue teriak dan dorong lagi badannya.
Baru setelah itu Renjun lepasin pelukan.
"Gue pulang."
"Nad." Renjun megang bahu gue dan natap gue.
"Lo denger kata-kata gue tadi kan?"
Kali ini gue balas tatapan dia dengan air mata yang udah gue tahan dari tadi.
Gue ngangguk.
"Iya, gue denger. Dan gue, benci sama lo."
Tiba-tiba aja kalimat itu yang keluar dari mulut gue. Gatau alesannya apa tapi yang pasti gue ngikutin kata hati gue saat ini.
Gue keluar kamar ninggalin Renjun yang natap kosong keberadaan gue tadi.
Sebisa mungkin gue menormalkan raut muka karna di bawah gue harus ketemu sama Bundanya Renjun.
"Udah mau pulang Nad?" tanya Bunda Renjun.
"Iya Tante, gabisa malem-malem soalnya. Mami Papi hari ini pulang."
"Oh yaudah kalau gitu salam ya buat Mami Papi, bilangin kapan main kesini."
"Hehe iya tante ntar aku sampein sama mereka."
"Oh iya ini lg hujan loh, kamu gk di anter Renjun?"
"Ngga Tan, aku udh pesen taksi online kok."
"Oh gituu.. Yaudah hati-hati ya Sayang."
Sebelum pergi gue salam dan pelukkan dulu sama Bunda Renjun.
Pas mau pesen taksi online tiba-tiba aja ada telepon masuk. Dan ternyata kak Lucas nelpon gue. Gue sempet heran kenapa kak Lucas nelpon gue jam segini. Dari pada penasaran akhirnya gue angkat.
"Nadia?"
"Iya kak? Ada apa kok tumben?"
"Lagi apa?"
"Ini di jalan mau pulang dari rumah temen."
"Oh lg di jalan ya."
"Engga sih kak, baru mau pesen taksi online."
"Yaudah aku jemput aja gimana? Lo di mana?"
"Eh.. Ng nggak usah kak gpp."
"Tenang aja gue gk keberatan kok."
"Emm beneran kak? Aku takut ngerepotin."
"Engga kok santai aja."
"Yaudah shareloc ya, ntar gue ke situ."
"Iya kak, makasih ya kak."
Gak lama kak Lucas dateng dan gue langsung lari masuk ke mobilnya karna hujan udah makin deras.
"Hay kak." gue senyum terus masang sabuk pengaman.
"Ini sih rumah pacar lo, bukan temen." ucap kak Lucas saat gue lg masang sabuk pengaman.
Gue noleh ke dia.
"Ahh i.. iya sih, tapi kan ada Renjun juga hehe."
"Oh iya kak, btw kak Dejun udh bukan pacar aku lagi. Fyi aja." jelas gue
"Loh kok udh putus aja? Kapan?"
"Udh ah kak ayok jalan. Keburu malem ntar."
"Ok." ucap kak Lucas dengan senyumannya.
"Mau jalan-jalan dulu gk Nad? Weekend nih"
Tanya Kak Lucas di tengah keheningan.
"Kayanya ngga deh kak. Mami sm Papi aku mau pulang soalnya."
"Oh gitu, yaudah."
Gue ngangguk-ngangguk.
"Ini kayanya ada yg kecelakaan deh." kata dia yang lagi merhatiin jalanan yang macet.
Dan bener aja, gk lama dari itu emang ada ambulance yang datang dari arah belakang.
"Kayanya macetnya bakalan lama nih."
"Iya ya kak." ucap gue dengan raut muka khawatir dan ketangkep sama kak Lucas.
"Kenapa? Lo takut kena marah? Ya bilang aja kali ada kecelakaan di jalan. Jadi kena macet."
"Hem.. Iya kak." ucap gue terus senyum yang sedikit dipaksakan.
Sekitar 2 jam kita kejebak macet, dan gue baru sampai rumah jam 09.30 malem.
"Kak, makasih ya.. Sorry gara2 aku kakak jadi pulang kemaleman." ucap gue dengan nada bersalah.
"Santai aja Nad, gue malah seneng bisa lama-lama sama lo."
"Untung tadi lo pulang bareng gue kan? Kalau sama orang asing terus macet2an kan makin aneh rasanya."
Kita sama-sama balas senyuman.
"Yaudah gih. Gue pergi kalau lo udh masuk." ucapnya lagi.
"Makasih banyak kak. Aku duluan ya. Kakak hati-hati di jalan."
Kak Lucas ngangguk lalu gue masuk.
Pas gue nutup gerbang kak Lucas baru pergi.
Baru aja gue balik badan, gue nemuin Papi yang udah natap tajam ke arah gue.
Gue nyamperin dia terus salaman.
"Malem Pi, apa kabar?" ucap gue dengan hati-hati.
"Gk punya jam?"
"Tadi macet Pi, ada kecelakaan."
"Alah alesan aja kamu. Apa selama saya dan Mami kamu gk ada di rumah kamu sering keluyuran malem-malem hah?!"
"Malu dong sama tetangga! Ntar pandangan mereka terhadap saya jadi jelek tau!"
Gue cuma nunduk dan tanpa ngelawan ataupun ngebantah.
Gue udh terbiasa sama bentakan Papi, perlakuan Papi, dan apapun itu gue udah sangat-sangat terbiasa.
"Kamu tau kan?! Di komplek ini banyak bawahan saya! Kolega saya juga ada yang tinggal di sini! Kamu mau image saya jelek di perusahaan terus saya di pecat? Ntar kamu sama Mami kamu mau makan apa hah?!"
"Pi..."
Plakk...
Termasuk nerima tamparan, dan kekerasan lainnya, gue udah biasa.
"Gausah banyak omong kamu!"
"Cepet masuk! Malu saya punya anak tiri kaya kamu!"
Mami udah sering bela gue, tapi tetep aja Papi gk peduli.
Malah Mami juga sering kena marah dan pernah juga Papi mau pake kekerasan, tapi untung ada gue yang nangkis dan alhasil pukulannya mendarat di punggung gue.
Hari ini bener-bener jadi hari yang berat.
Di bawah guyuran air dingin gue nangis. Dan rasain rasa perih di pipi gue bekas tamparan Papi tadi.
Pengen banget rasanya ngeluarin keluh kesah gue seperti biasa ke orang yang selalu gue ajak curhat.
Tapi sayangnya, sekarang jarak gue sama dia udah terlalu jauh. Sampai mungkin gue gk bisa lagi ngegapai dia karna jarak yang jauh itu.
Apa gue salah ngambil keputusan dari awal?
Apa gue salah jadian sama kak Dejun?
Apa gue salah berusaha move on dari lo?
Apa gue salah, jatuh cinta sama lo, Jun?
Atau mungkin, pertemuan kita yang salah?
Tolong jawab...
KAMU SEDANG MEMBACA
SAYAP PELINDUNG : HUANG RENJUN
Fiksi Penggemar"Cinta sesederhana hujan yang jatuh ke bumi, meski terhempas ia akan tetap jatuh." - Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi, Boy Candra Setiap kutipan dalam chapter ini ada di dalam Novel karya Boy Candra yang berjudul "Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi" y...
