14. Luapan

46 6 14
                                    

"Vandra itu temen gua."

Tepat setelah gue ngomong, Renjun ngucapin kalimat itu seolah jawab rasa penasaran kita.

Reflek aja gue malingin wajah dan nutup bagian pipi gue yang lagi luka.

"Nad, kenapa chat gua gk lu baca? Tlpn gua juga kenapa gk pernah lu angkat?"

Febi sama Luna cuma melongo aja liatin Renjun yang nanya sama gue dengan agak sedikit emosi.

"Lewat aja. Gue bukan Nadia." ucap gue jutek.

"Ck, sebenci itu lu sama gua?"

"Di bilang gue bukan Nadia."

"Kalo ngomong sama orang itu yang sopan. Liat orang nya."

"Kenapa sih kalian? Pusing gue jadinya." ucap Luna.

"Jun, bisa cepet gk? Kita udh telat." kata Vandra narik lengan hoodie Renjun.

"Kabarin gua kalo lu udah mau ngomong." kata Renjun lalu pergi ke arah pintu keluar restoran.

"Cih. Lagi sama yg baru juga bisa-bisanya ngomong gitu."

Kata gue pelan tapi masih bisa Renjun dengar karna dia belum jauh.

Tiba-tiba dia berbalik dan matanya langsung menuju ke pipi gue yang lagi di perban.

Wajah dia berubah serius terus nyamperin gue dengan raut muka khawatir.

"Lo kenapa?! Pipi lo kenapa?!"
"Kok ada memar segala?"

Tanya Renjun bertubi-tubi sampe gue jengah dengernya.

"Udah deh sono gausah ngurusin gue. tuh kasian si Vandra nunggu." gue nunjuk Vandra pake dagu.

"Jawab gue dulu itu pipi lo kenapa?"

"Jatoh." ucap gue singkat

"Jangan kira gue bego."

"Dah la gue mau balik aja."
"Guys sorry ya kalian balik naik taxi aja."

Luna dan Febi mengangguk.

Gue bangkit dari duduk lalu ngelawan tangan Renjun yang mau nyekal tangan gue.

"Stop. Gue lagi males. Ngerti?"

"Nad please, gue khawatir sama lo."

Ucapan Renjun dengan nada lembut itu emang selalu buat gue ngerasa luluh. Tapi kali ini gue lawan rasa itu dan setelahnya gue pergi.

"Jun, ayok." ajak Vandra dengan nyamperin Renjun yang kayanya masih diem di tempatnya tadi.

Gue sempet berhenti dan sedikit nengok ke belakang.

Dan gue liat Renjun bener-bener pergi sama Vandra ke arah yang sama dengan gue dan pas lewat dia gk ngelirik gue sama sekali.

Mungkin tadi dia cuma pura-pura peduli sama gue.

Karna udh ga ada gangguan gue balik lagi ke Luna dan Febi. Tadi emang niatnya cuma mau bikin mereka pergi aja si.

"Lo kenapa si Nad sama Renjun?"

"Udah gelut gue waktu kerumah dia."

"Njir kok gue gk di undang? Kan pengen liat adegannya."  ucap Luna dengan nada merengek.

"Lo gila Lun." kata Febi yang di balas ejekan sama Luna.

"Udah ah makan gue laper." ucap gue menghentikan acara debat mereka.

Selesai makan kita hangout bareng ke tempat nongkrong anak-anak muda di sini.

Suasananya lumayan rame tapi gk serame biasanya. Mungkin karna tadi sempet hujan jadi pada belum keluar.

Kita bertiga duduk di salah satu bangku panjang yang nyatu sama mejanya.

Kita masih nikmatin suasana sore tanpa ngobrol apapun.

Sesekali ketawa karna liat tingkah konyol orang-orang yang lagi bikin video di aplikasi yang lagi ngetren itu.

Bukan ketawa ngeremehin, tapi lucu aja karna kadang mereka gagal bikin karna temennya jail. Jadi butuh berkali kali ngulang take video baru selesai.

Dalam lamunan gue sesekali inget Renjun, apalagi liat banyak juga pasangan di sini.
Gatau juga sih mereka pacaran atau sekedar temenan. Kaya gue sama Renjun.

"Hidup gue sampah banget tau gk sih." ucap gue buat Febi sama Luna ngelirik ke arah gue barengan, nunggu ucapan gue selanjutnya.

"Otak pas-pasan, keluarga berantakan, sahabat gue dari kecil? Gue udah gatau nasib gue sama Renjun kedepannya gimana."

"Coba lo cerita ke kita, emang kalian tuh ada apa?" tanya Luna.

"Nah tumben waras." ucap Febi pelan yang cuma di dengar sama gue karna posisi gue yg ada di tengah.

Setelah dapet pertanyaan dari Luna barusan gue tarik nafas dan mulai nyeritain kejadian di rumah Renjun dari awal sampai akhir dan gk ada yang gue lewat.

"Kayaknya ini gue ya yang egois?"

"Gue juga penasaran sama keadaan Renjun sama Kak Dejun setelah kejadian kemarin."

"Kayanya gue udah jadi penghancur hubungan sodara mereka deh."

Gue menunduk lalu mulai menitikkan air mata.

"Ck. Cengeng bgt gue sekarang. Jadi jijik sama diri sendiri."

Luna sama Febi masih setia nyimak ocehan gue dan mereka nenangin gue dengan cara ngerangkul punggung.

"Gue udah pusing sama keadaan rumah, gue gamau tambah stress gara2 cowok doang."

Tangisan gue keluar setelah gue ngucap kalimat tadi.

Febi meluk gua trus gue nangis di bahu dia.
Luna juga meluk gue dari belakang.

Rasanya emang lega, setelah nyeritain semuanya ke mereka.

Mungkin emang mereka yang saat ini gue butuhin

"Lo boleh nangis, lo boleh marah, lo boleh ungkapin semuanya ke kita."

"Wajar kok lo sedih, lo gk lebay. Lo itu kuat."

"Kita semua pasti rasain ada di titik lelah. Dan sekarang lo ada di titik itu."

"Tapi mungkin ini bukan titik lelah terbawah lo nad. Lo cuma lagi di uji buat jadi lebih kuat lagi dari Nadia yang sekarang."

"Gua yakin itu."

"Lo punya gue, sama Luna. Lo gk boleh sedih sendirian lagi."

"Lo gak boleh sok kuat kalau depan kita."

"Kalau mau nangis, nangis aja. Atau lo lagi kesel, marah, kita siap kok jadi tempat curhat lo."

"Kita udah gak mau kenal lagi Nadia yang sok kuat. Kita cuma mau temenan sama Nadia yang beneran kuat."

"Yang gk harus selalu nyembunyiin kesedihannya."

Itulah ucapan Luna sama Febi selagi gue nangis dalam pelukan mereka.
Kalimat-kalimat mereka yang bikin hati gue hangat dan buat gue gk ngerasa sendirian.








For the highs and lows
and moments between
mountains and valleys
river and streams,
For "I've always known"
and "I told you,"
For "nothing is happening"
and "all has gone wrong"
it is here on the journey
She will learn to be strong
She will get where she is goin
landing where se belongs.
-MHN

SAYAP PELINDUNG : HUANG RENJUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang