Meeting him was fate,
Becoming his friend was a choice,
But falling in love with him, uh—she had no control over.Menjalani detik-detik, jam, hari, bulan, dan bahkan tahun bersama dengan sosok Jeffrey merupakan kesenangan yang teramat berkesan bagi Joe.
Ia beruntung karena Tuhan dengan segala kebaikan-Nya, telah mempertemukan dirinya dengan Jeffrey.
Seperti garam di laut, asam di gunung, bertemu dalam belanga juga. Apa yang ditakdirkan tak akan pernah terduga.
Kini Jeffrey memilikinya. Begitu pula sebaliknya, Joe memiliki Jeffrey.
Bagi Joe, sosok Jeffrey sudah cukup. Namun, kata-kata tidak akan pernah cukup untuk mendeskripsikan setiap hal baik dari Jeffrey.
If someone asked, why do she loved him?
—honestly, she can not say that there's an answer for that. But she will say that he is the only reason why she's happy each and every day.𝔻𝕖𝕒𝕣𝕖𝕤𝕥, 𝕁.
“Barangkali, aku terlalu dekat. Barangkali pula, kasih sayang yang kulimpahkan pada ragamu amatlah pekat. Namun, jika memang benar ucap Chairil bahwa hidup ialah perihal menunda kekalahan, maka aku ingin berakhir kalah di pelupuk rengkuhmu.”
“Apaan ini? Mentang-mentang anak sastra. Padahal mah tinggal bilang I love you juga udah cukup untuk mendeskripsikan semuanya.”
“Hsssshs Koko menyebalkan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest, J
Short StoryFebruary : Having someone who can handle all your moods is such a blessing. ©jeffradient, 2020