Awal Cerita

322 33 8
                                    

Hal yang paling tidak ingin Yosi akui di dunia ini adalah fakta bahwa dirinya baru saja dicampakkan oleh pria yang selama ini ia jaga hatinya. Delapan tahun bersama nyatanya tidak  mampu menjamin dua insan akan berakhir bahagia di jenjang pernikahan. Namun yang Yosi sesalkan adalah, jika memang harus berakhir, tidak bisakah berakhir dengan cara yang lebih baik. Seperti bagaimana dulu mereka memulainya.

Seminggu yang lalu...

Sebuah cincin berwarna perak diletakkan dengan pelan sekali oleh seorang pria di hadapan gadis mungil berambut gelombang sesiku. Pria itu belum bersuara lantaran gadis di depannya juga masih mematung, memandang dengan ekspresi yang tidak bisa dimengerti.

Si pria akhirnya berdeham memecah keheningan. Tidak tahan jika sepanjang hari akan ia habiskan disini sambil bertukar keheningan dengan gadis di depannya.

"Aku udah berusaha ngomong dari semester yang lalu, tapi..."

SREETTT.... BYUR....

Belum selesai kalimat itu keluar dari mulut si pria, genangan merah pekat sudah bersarang di wajahnya. Aplikasi dari jus buah naga pesanan sang nona.

"Kamu udah gila ya?" Nada pria itu naik beberapa oktaf, hingga menyita perhatian pengunjung lain di kafe tempat mereka berada. Dan gadis itu masih enggan menatap wajahnya. "Kalau kamu marah aku putusin, jangan permaluin aku kayak gini dong." protes pria itu.

Akhirnya, untuk pertama kalinya sejak sejam yang lalu mereka duduk disana, gadis itu mengarahkan pandangannya pada si pria. Pandangan dengan tatapan tajam yang seolah bisa mencabik-cabik seluruh tubuh makhluk di depannya.

"Michin Sekkia..." Gadis itu memaki. Sebuah makian bernada sentimen yang sangat kental dan terasa menghakimi.

Pria itu bergidik meski ia tidak tahu artinya. 

"Yos..."

Gadis itu ikut melepaskan cincin perak dari jari manisnya, dan melemparkannya tepat mengenai dahi pria itu.

"Neo jinjja nappeun sekkia." Lagi-lagi gadis itu memaki dalam bahasa Korea, membuat pria di depannya kembali mengerang frustrasi. "Dasar breng**k." Usai meluapkan amarahnya, gadis itu melangkah keluar dari kafe diiringi tatapan heran dari pengunjung yang lain.

.

"Dasar sialan, Doni sialan, bullshit eyang putrinya gak kasih restu. Mama papanya aja udah sayang banget sama aku, gak mungkin tiba-tiba eyangnya yang 96 tahun ngelarang dia sama aku. Ngarang cerita bisa yang masuk akal dikit gak sih." Gadis itu, Yosi, terus menggerutu sepanjang jalan menjauh dari kafe pertemuannya dengan sang mantan tunangan.

"Dia pikir aku gak tahu dia ada main belakang. Aku tahu apa yang kamu lakuin sama sekretaris kamu yang kecentilan itu. Isssshhhh... Doni brengsek." Amarah Yosi makin menjadi. Ia khawatir orang-orang akan mengira dirinya gila karena memaki udara sambil berjalan. Akhirnya ia berlari dan menyetop taksi. Memaki di rumah saja sepertinya lebih baik.

.

.

.

"Thank you ya Dani, aku gak tahu kalau gak ada kamu gimana nasib aku."

"Nama aku Danu Ran, bukan Dani." 

Gadis dengan nametag 'Rani Puspandari' di jubah labnya itu mengangguk-angguk.

"Iya tahu, tapi itukan panggilan kesayangan aku." pria yang memrotes namanya tadi, Danu, hanya tersenyum tidak enak. Ia tahu betul itu bukan karena panggilan kesayangan, tapi karena Rani tidak pernah mengingat namanya.

"Pokoknya makasih ya. Aku banyak berhutang sama kamu. Kamu memang temen aku yang paling baik." Danu nelangsa. Alasan ia tetap membantu Rani meskipun bahkan memanggil namanya dengan benar saja dia tidak bisa adalah karena Danu menyukai gadis itu. Tapi mirisnya, Rani hanya menganggapnya teman. Teman yang bisa dimanfaatkan mungkin lebih tepatnya. 

Sepenggal Kisah KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang