Joseon, 1792 (Part 2/4)

71 10 0
                                    


Nagil menggila. Dia tak bisa tidur, makan pun tak berselera. Tapi, ketika ada yang bertanya ada apa dengannya, dia selalu berkata tidak ada apa-apa. Nyatanya tidak begitu. Dia sudah seperti setengah gila. Bagaimana tidak, benaknya terus saja menampakkan wajah putih bersih pemuda dingin yang dia temui beberapa hari lalu. Langit-langit kamar selalu menampakkan wajah yang sama. Di mana-mana penuh dengan wajah kehadiran pemuda yang masih dia ketahui namanya. Selama ini dia belum pernah dibuat seperti ini oleh siapa pun, tapi sekarang--untuk pertama kalinya--dia jadi begini karena seorang lelaki.

Nagil tak pernah tahu apakah dirinya menyukai wanita atau menyukai laki-laki, atau bahkan menyukai keduanya. Sebab dia sama sekali tidak pernah merasakan yang orang sebut dengan jatuh cinta. Dia membaca banyak sastra, dia melihat banyak orang memadu kasih, tapi dia tak pernah membayangkan kalau dirinya akan mengalami juga.

"Aku harus bertemu dia lagi dan menanyakan namanya," ujar Nagil pada dirinya sendiri.


***


Keesokan harinya, Nagil pergi keluar dengan mengenakan pakaian orang biasa. Di tengah jalan dia bertemu seorang perwira tampan. Nagil kenal perwira itu, dia teman masa kecil juga gurunya dalam beladiri.

"Selamat pagi Perwira Kwon," sapa Nagil.

Perwira itu menghampiri Nagil, "Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu."

"Hada Hyeong?" 

"Ya, seperti itu," perwira bernama lengkap Kwon Soon Woo itu menepuk-nepuk kepala Nagil layaknya seorang yang tengah bermain  dengan anjingnya. "Ayo, kapan-kapan kita berlatih pedang," ajak Hada.

"Tidak mau!" Nagil menolak. "Aku sedang sibuk belakangan ini. Tidak tahu juga kapan selesai. Kau bermainlah dengan Hangyeol Hyeong." Nagil langsung lari meninggalkan Hada, dia tertawa geli melihat kelakuan orang yang sudah dia anggap adiknya sendiri.


Nagil berkeliling pasar sembari membawa lukisan wajah pemuda waktu itu. Dia bertanya pada orang-orang apakah ada yang mengenal orang dalam gambar tersebut. Tidak ada yang mengenalnya. Sampai akhirnya, tanpa sengaja dia menabrak seorang wanita tiga puluh tahunan. Kulitnya putih, pakaiannya hitam dan putih, rambutnya digelung dengan hiasan pita merah dan tusuk rambut berornamen bulan sabit.

"Maaf, Nyonya," Nagil membungkuk meminta maaf, lalu berlalu pergi sampai wanita itu menghentikannya.

"Kau mencari seseorang?" tanyanya.

"Dari mana Nyonya tahu?" selidik Nagil.

"Tadi aku melihatmu berkeliling sambil membawa itu," wanita itu menunjuk lukisan di tangan Nagil. "Boleh aku lihat?"

"Apa Nyonya pernah melihatnya?" Nagil menunjukkan lukisannya.

Wanita itu tersenyum, "bukan hanya kenal," katanya kemudian. 

Nagil girang, "Di mana aku bisa menemuinya?"

"Ikutlah denganku," ajak wanita itu. Dia lalu memimpin jalan.

Nagil dengan perasaan berdebar mengikuti wanita itu. Entah mengapa Nagil merasa sudah pernah bertemu dengannya, tapi dia tak dapat mengingat tempat dan waktunya. Sampailah mereka berdua di sebuah tempat. Di atas pintu gerbang terpampang aksara Hanja yang berbunyi "Biara Air Mata".

"Kenapa namanya Biara Air Mata?" tanya Nagil.

"Karena ini adalah rumah bagi mereka yang berduka dan hidup penuh air mata," jawab wanita yang masih belum menyebutkan namanya.

Wanita itu masuk, diikuti oleh Nagil. Di dalam sana, banyak orang beraktifitas, seperti memasak hingga menjahit pakaian. Wanita itu menjelaskan, kalau sebenarnya biara ini awalnya didirikan untuk wanita-wanita dengan bakat spiritual yang kemudian dibimbing untuk menjadi cenayang. Dulu bernama Biara Cermin Bulan, tapi kemudian berganti nama Biara Air Mata, ketika biara ini mulai menampung orang-orang berduka dan terlantar.

"Anda sudah pulang, Nyonya Lee?" seseorang menghampiri wanita yang dipanggil Nyonya Lee. Orang itu adalah yang Nagil cari. Dia benar-benar ada di sini. "Biar saya bawa ini ke dalam," pemuda itu hendak membantu Nyonya Lee.

"Tidak usah, aku akan melakukannya sendiri. Kau di sini saja, orang ini mencarimu di seluruh pasar," Nyonya Lee sedikit terkekeh. Lalu, dia berlalu pergi.

"Kau?" tatap pemuda itu dengan mata tajam. "Ada perlu apa lagi?"

"Kau belum memberitahu namamu, jadi aku mencarimu ke mana-mana," Nagil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Akan kuberi tahu, tapi setelah itu pergilah dan jangan temui aku lagi," kata pemuda itu dengan nada ketus.

"Hayan!!!" panggil Nyonya Lee, "ajak dia kemari, kita makan siang bersama."

"Sial," rutuk pemuda yang ternyata bernama Hayan. Dia berlalu meninggalkan Nagil.

"Hayan?" gumam Nagil. "Nama yang indah, seindah parasnya," menyadari apa yang dia bicarakan seorang diri, Nagil langsung memukul bibirnya pelan. Dia pun berlari menyusul Hayan, "Hayan-ssi, tunggu aku," goda Nagil.


"Dia tampan, sayangnya menyebalkan. Aku membencinya," gumam Hayan dalam hati.

Rewrite The Cycle [MINWON ✨ SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang