Paris, 1889 (Part 2/2)

102 9 1
                                    


Pikiran Julien selalu saja dihantui oleh pemilik restoran di seberang rumahnya, Jordan. Dia tidak pernah bisa tenang ketika berpapasan dengan koki rupawan itu. Semua bermula saat dia berkunjung ke restoran tersebut sebagai pelanggan, untuk menepati janjinya beberapa waktu lalu. 

Flashback...

Julien petang ini berniat mengunjungi restoran baru di seberang rumahnya. Dia baru bisa menyempatkan diri untuk memenuhi undangan pemilik restoran tersebut, karena dia harus bekerja di butik sahabatnya sekaligus menggarap naskah novel yang hampir berdebu. Dia sengaja memilih saat restoran tengah sepi, sebab dia kurang menyukai keramaian.

Sebagai orang yang bekerja di bidang tatabusana, tidak membuat Julien mengenakan pakaian mewah dan berlebihan. Dia memang suka merancang busana, namun dia lebih suka mengenakan pakaian serba senada. Seperti hari ini. Dia mengenakan pakaian serba hitam. Terlihat sederhana, tapi itu terbuat dari bahan terbaik. Dia membiarkan rambutnya tergerai, namun tetap terlihat rapi serta elegan. Dengan pakaian hitam yang dikenakannya, kulit Julien yang putih menjadi kontras.

Melihat Julien memasuki restorannya, Joran yang tengah membersihkan meja hampir saja menjatuhkan mulutnya. Dia terpukau. Hidungnya langsung mengendus wewangian perpaduan antara wangi kayu manis dan lemon.

"Akhirnya kamu datang juga," Jordan memersilakan Julien untuk duduk. Julien tak banyak bicara, dia hanya tersenyum. Membuat Jordan salah tingkah. "Duduklah, aku akan menyiapkan makanan terbaik."

Sebelum mulai memasak, Jordan menghidangkan wine untuk tamu istimewanya. Ucapan terima kasih meluncur dari bibir manis Julien, jantung Jordan makin tak terkendali. Dia mulai berpikir, apa dia bisa masak dengan benar saat Julien ada di sini. Jordan berusaha sefokus mungkin. Masakan Jordan sudah matang. Lasagna. Menu yang memang sudah dia rencanakan akan dia hidangkan untuk Julien. Jika hari ini Julien menyukainya, maka dia akan menambahkan lasagna ke daftar menunya. Itu yang ia rencanakan saat ini.

"Lasagna terbaik untuk tamu yang istimewa," Jordan mulai menghidangkan masakan ciptaannya. "Semoga rasanya cocok dengan seleramu."

Julien merespon dengan senyuman dan tatapan meneduhkan. Suapan pertama berhasil masuk ke dalam mulut Julien. Calon penulis itu tertegun sejenak. Rasa lasagna itu mengingatkan dia pada mendiang neneknya. Julien seorang yatim piatu, nenek adalah satu-satunya keluarga saat itu. Dulu sang nenek selalu memasakkan lasagna kapan pun Julien bersedih, dan masakan sang nenek selalu bisa membuatnya ceria kembali.

Julien kembali melahap hidangannya. Tanpa dia sadari, bibirnya belepotan oleh saus. Jordan terkekeh, Julien berhenti makan, "Ada apa?" dia terlihat bingung.

"Maaf," Jordan mencondongkan tubuhnya ke arah Julien. "Hanya saja ada sesuatu di bibirmu," Jordan mengusap ujung bibir Julien dengan ibu jarinya, menghapus noda saus di sana.

Jordan tidak tahu kalau detik itu juga jantung Julien berdebar tak karuan. Darahnya terasa mendidih, tubuhnya memanas. Matanya menjadi buram, karena berselaput air mata. Tak butuh waktu lama, air matanya jatuh membasahi pipi. Julien menangis.

"Ada apa?" Jordan panik. "Kenapa kamu menangis, Julien?"

Julien tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena dia tidak bisa mengutarakan alasannya, tapi karena dia memang tak tahu bagaimana perasaan aneh ini bisa muncul hingga membuatnya menitikkan air mata.

Insting penulisnya membuat Julien mengarang sebuah alasan, "Ah, maaf. Kamu harus melihatku menangis seperti ini. Hanya saja makananmu sangat enak, mengingatkanku pada masakan mendiang nenekku." Alasan ini tidak sepenuhnya rekaan, karena itu memang dia rasakan. Namun bukan ini yang membuatnya berdebar hingga menitikkan air mata. "Sepertinya aku merindukan nenek," ujarnya. Julien lanjut menyantap lasagna.

Rewrite The Cycle [MINWON ✨ SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang