Paris, 1889 (Part 1/2)

64 7 0
                                    

Aku sekarang di sini. Di negeri yang di masa depan akan terkenal dengan pakaian dan gaun-gaun indah nan mahal. Aku ke sini bukan untuk membicarakan pakaian dan gaun, melainkan mengikuti perjalanan Jordan, seorang koki muda nan tampan, yang tak lain adalah reinkarnasi dari Nagil alias Kim Min Woo.

Hari ini adalah hari pertama Jordan membuka restoran miliknya sendiri. Kesibukannya terhenti ketika seekor kucing masuk ke restorannya. Jordan menyapa kucing itu dan membawanya ke pangkuannya. Tak berselang lama ada seseorang yang masuk ke kedai juga.

"Ah, maaf, itu kucingku," ujarnya. 

Seorang wanita ataukah pria? Jordan mencoba mencerna baik-baik. Jordan tertegun. Rambutnya begitu hitam, kulitnya pucat--hampir seperti mayat, tapi bibirnya yang merah membuat kulit pucatnya justru terlihat menawan. Dia cantik. Tapi Jordan dapat mendengar jelas kalau tadi suaranya sangat dalam. Sudah pasti sosok ini pria, tapi...

"Boleh aku ambil kucingku lagi?" tanyanya.

Jordan kikuk. Dia memberikan si kucing pada tuannya. "Dia sangat menggemaskan," ujar Jordan.

"Hah, tentu, kalau dia tidur pulas. Kalau dia bangun seperti ini, dia adalah iblis berbulu," pemuda itu terkekeh kecil.

Entah bagaimana Jordan seperti merasakan ada sesuatu yang meletup-letup di dalam dadanya. Dia tahu perasaan macam apa ini. Jatuh cinta. Jordan bukanlah pemuda suci yang tak pernah jatuh cinta atau bercinta dengan banyak gadis. Tapi ini pertama kalinya dia merasakan jatuh cinta pada seorang pria.

Pemuda dan kucingnya beranjak pergi. "Tunggu!" Jordan menghentikan. Pemuda itu menoleh. "Hmmm ...," Jordan tak pernah segugup ini. "Ini hari pertama aku membuka restoran. Maukah kamu menjadi pelanggan pertamaku?"

"Itu akan sangat bagus, tapi sekarang aku tidak bisa. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan," ujarnya. Jordan agak murung. "Jangan khawatir, aku pasti akan sering mampir ke sini. Rumahku tepat di sana," dia menunjuk sebuah rumah di seberang sana.

"Rumah itu?" tanya Jordan, pemuda itu mengangguk.

"Kalau begitu, sampai jumpa," dia melangkah keluar kedai.

Jordan melangkah cepat menyusul pemuda itu, "Aku Jordan! Siapa namamu?"

"Julien," pemuda itu tersenyum.

Jordan berbalik untuk masuk ke dalam, tapi ada suara yang memanggilnya. Dia berbalik lagi, dan melihat  Adrien juga Dimitri dari kejauhan. Seperti biasa, Dimitri melambaikan  tangan dengan memasang wajah ceria, dan Adrien hanya berjalan dengan wajahnya yang datar. Jordan melambai ke arah mereka.

Jordan memerlakukan Adrien dan Dimitri bak raja. Mereka menjadi pelanggan pertama di restoran Jordan. Dia menghidangkan menu istimewa untuk kedua sahabatnya tersebut. Seperti biasa, keduanya terlihat sangat menikmati masakan hasil karya Jordan. Dimitri memuji Jordan, itu berhasil membuatnya tersipu malu. Tapi dia menjadi memerah ketika Adrien yang sangat jarang memuji, memujinya terang-terangan. Jordan sontak memeluk musisi itu, terlihat jelas kalau Adrien agak risih. Dia menepis Jordan.

***

Dua tahun sebelumnya...

Adrien sudah duduk di restoran hampir lima belas menit. Orang yang dia tunggu tak kunjung tiba. Jordan, seorang pelayan restoran beberapa kali menanyainya ingin memesan apa, tapi pemuda berkulit pucat itu selalu saja menunda. Lonceng pun berbunyi, Adrien menoleh, berharap itu adalah orang yang dia tunggu. Tapi ternyata bukan. Wajah kecewa cukup terpancar di wajahnya yang seputih susu.

Lonceng berbunyi sekali lagi, tapi kali ini Adrien sudah  tak terlalu berharap. Mungkin orang yang dia tunggu tak akan datang.

"Maaf, aku terlambat," Adrien mengenali suara menggemaskan itu.

Adrien menoleh, "Aku pikir kau tidak akan datang, Dimitri."

Pemuda bernama Dimitri itu duduk, dia mendekatkan wajahnya pada Adrien. "Maaf, aku harus berlatih sangat keras. Sebentar lagi ada pertunjukan cukup besar."

Dari dapur restoran, Jordan bergumam melihat kedekatan Adrien dan Dimitri. "Dunia sungguh tidak adil. Seorang prodigy dalam musik dipertemukan dengan seorang danseur yang ketampanannya dielu-elukan. Eh, tapi aku tidak tahu kalau mereka akan sedekat itu ...," Jordan terkesiap saat Adrien seorang pelayan menepuk pundaknya dan memberikan pesanan makanan Adrien dan Dimitri.

Pada akhir pekan seterusnya, Jordan selalu mendapati Adrien dan Dimitri selalu makan malam bersama di restoran tempat dia bekerja. Pada suatu waktu, Dimitri sangat terkesan dengan rasa masakan yang dia pesan. Jadi, dia ingin mengucapkan  terima kasih secara langsung pada koki yang memasak menu tersebut.

Adrien dan Dimitri menunggu sampai restoran sepi. Jordan agak gugup menghampiri dua orang bintang di kota Paris ini. Dimitri memberikan beberapa pujian, Jordan sangat tersipu. Telinganya memerah seperti udang rebus. Adrien menambahkan, kalau Jordan bisa saja membuka restorannya sendiri. 

Si koki tersenyum, lalu berbisik, "Sebenarnya saya punya rencana membuka restoran saya sendiri, tapi belum tahu kapan."

"Nanti jangan lupa undang kami," Dimitri turut berbisik. "Oh ya, lusa datanglah ke Palais Garnier. Kami akan tampil," Dimitri memberikan sebuah undangan.

"Saya merasa tersanjung. Saya pasti datang," Jordan menerima undangan tersebut, dia masih tak menyangka kalau mendapatkan undangan istimewa, langsung dari artisnya. Jordan nantinya akan duduk di barisan paling depan, bersama orang-orang penting dan istimewa bagi para artis yang akan tampil.

Hari pertunjukan tiba. Jordan meminta izin pulang lebih cepat. Awalnya sang bos berat mengizinkannya, tapi koki muda itu terus membujuk dan membuat penawaran. Dia bersedia mendapatkan jam kerja lebih sebagai gantinya. Si bos tak punya pilihan selain mengizinkan, mengingat selama ini Jordan sudah bekerja cukup keras.

Jordan datang ke Palais Garnier, gedung opera yang dibangun tahun 1861. Dia merasa sangat terhormat bisa masuk ke gedung mewah ini. Rasanya seperti mimpi. Acara segera dimulai, dia duduk di kursi yang sudah disediakan. Satu per satu artis mulai tampil. Semuanya sangat memukau. Yang paling Jordan tunggu-tunggu akhirnya tampil. Adrien menampilkan permainan biolanya yang membuat beberapa orang menitikkan air mata. 

Hati Jordan juga merasa teriris alunan biola Adrien, seperti ada rasa kerindungan besar namun mustahil tersampaikan karena maut memisahkan. Penampilan selanjutnya dari Dimitri dan kelompok tarinya. Mereka menampilkan tarian ballet anggun dan membuat orang terkagum-kagum. Jordan tidak bisa tidak menganga. Di belakang panggung, Adrien tersenyum penuh rasa bangga atas apa yang dilakukan oleh Dimitri.

Seharusnya, setelah penampilan dari Dimitri, pertunjukan usai. Tapi tampaknya ada yang menyarankan memberikan pertunjukan kolaborasi sebagai penutup. Semua bersorak menantikan. Ternyata yang akan berkolaborasi adalah Adrien dan Dimitri.

Adrien memainkan piano, kali ini musik yang dia mainkan sangat manis, bagaikan menceritakan tentang cinta lama yang dipertemukan kembali oleh takdir. Di sisi lain, Dimitri menari dengan indah bagaikan angsa, gerak badannya mengikuti alunan musik yang mengiringi. Setiap gerakan badannya benar-benar menghipnotis, tidak hanya perempuan yang akan terpukau, tapi lelaki juga akan menjatuhkan dagu mereka.

Pertunjukan usai. Semua bersorak selagi tirai panggung ditutup. Penonton mulai mengosongkan gedung. Jordan pergi ke belakang panggung dan memberikan pujian Adrien juga Dimitri. 

Semenjak itu, Jordan semakin dekat dengan Adrien dan Dimitri. Mereka menjadi sahabat. Entah ada angin apa, tiba-tiba Adrien dan Dimitri meminjamkan uang pada Jordan agar dia bisa membuka restorannya sendiri. Tentu Jordan tidak bisa menerima begitu saja. Namun, Dimitri mengancam tidak akan bersahabat lagi dengan Jordan kalau dia tak menerima uang tersebut. Jordan mulai dilema. Dia tidak ingin berhutang, tapi tak ingin kehilangan sahabat juga. Akhirnya dia menerima  uang tersebut, tapi dia akan menganggap Dimitri sebagai investor dan uang tersebut sebagai tanda  kerjasama antara mereka.

Rewrite The Cycle [MINWON ✨ SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang