"Lo anak gak guna Gisel!"
"Gara-gara lo mama sama papa meninggal, ini gara-gara lo."
"Harusnya lo aja yang mati,bukan mereka!"
Gisel terbangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu, kejadian itu, kata-kata yang membuat Gisel merasakan kembali ketakutan yang sebenarnya, gara-gara dirinya orang tuanya meninggal? Tidak, bahkan Gisel tidak melakukan apapun, Namun mengapa Kakak Laki-laki Gisel diwaktu itu menyalah-nyalahkan Gisel atas apa yang terjadi dengan kedua orangtunya.
"Kak Vano." gumam Gisel lirih.
Selepas kepergian orang tuanya, Kakak Gisel yaitu Gevano lebih memilih meninggalkan Gisel,sementara Gevano memilih melanjutkan hidupnya di Los Angeles, entah alasan apa sehingga Gevano tega menelantarkan Gisel, sungguh Gisel rindu dengan Gevano, ia rindu dengan segala perhatian kakaknya dulu, jauh sebelum kejadian itu terjadi, dimana Gisel seolah menjadi ratu di keluarga Gezara.
"Hiks... kak Vano, salah Gisel apa kak... hiks.." ucap Gisel pada dirinya sendiri disertai isakan, jam masih menunjukkan pukul 1 dini hari.
Gisel bangun dan membuka laci kemudian mengambil figura yang terdapat foto dirinya, Gevano, serta kedua orangtuanya saat sedang liburan di Korea, hanya itu foto yang Gisel simpan, Gisel rindu semuanya, bisakah Gisel meminta untuk mengulang semuanya?
Gisel membuang semua barang yang ada di atas meja riasnya, semua benda itu tergeletak mengenaskan diatas lantai, pecahan beling dari Vas bunga diambil oleh Gisel, air matanya mengalir deras sedari tadi, Gisel benci hidupnya, Gisel benci semuanya.
"Hiks... Mending Gisel nyusul mama sama papa aja kan? Dari pada Gisel nyusahin semua orang hiks..." ucap Gisel lirih, diarahkannya pecahan beling itu ke tangan kirinya, tinggal sedikit lagi beling tajam itu berhasil mengenai tangan Gisel, namun tiba-tiba beling itu ditepis secara kasar.
"Lo apa-apaan Gisella, jangan pernah lukain diri lo sendiri." Gisel mendongak melihat wajah Erlang yang merah padam, kilatan amarah nampak jelas di mata tajam cowok itu.
"Aku cape Lang, aku cape, kejadian itu terus ngusik aku, Apa salah aku Lang, apa hiks..." pekik Gisel tertahan, mata indah itu kini tersirat kesedihan yang amat mendalam, serta suara isakan yang sangat amat menyakitkan bagi Erlang.
"Kenapa kak Vano nyalahin aku atas kejadian itu."
Erlang memeluk gadis di depannya ini, mengusap punggung gadis itu naik turun untuk menenangkannya, entah mengapa hati Erlang seolah ikut sakit melihat Gisel seperti ini, Erlang lebih suka Gisel yang menyebalkan dari pada melihat kerapuhan gadis di pelukannya ini, Gisel menangis sejadi-jadinya di pelukan Erlang, mencengkram kuat kaos hitam polos milik Erlang, seolah melampiaskan kesengsaraan yang tengah dialaminya.
"Lo gak salah, itu takdir, jadi lo jangan anggap semua perkataan Gevano sama lo waktu itu."
"Biar Gevano bilang gitu ke lo, dia gak tahu apa-apa, dia cuma butuh waktu buat nerima semuanya, lo gak usah pusing karena Gevano nelantarin lo, sekarang ada gue disini, tempat lo disini Gisella." ucap Erlang menenangkan, Erlang seolah tak sadar mengatakan itu semua, namun percaya lah itu semua tulus dari hati seorang Erlang.
"Liat gue." Erlang melepas pelukan Gisel, menghadapkan gadis itu ke arahnya, ditatap mata sembab milik gadis itu.
"Sekarang lo jalanin apa yang udah seharusnya berjalan, jangan peduliin apapun yang ganggu fikiran lo, gue yakin seiring berjalannya waktu Gevano bakal bisa nerima semua ini."
"Tapi kapan Lang, kapan?" lirih Gisel.
"Akan ada saatnya, tapi bukan sekarang." Gisel menatap sebentar wajah tampan Erlang, kemudian membuang pandangannya ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE
Teen Fiction[Follow dulu sebelum membaca] 15+ "You are mine, and will forever remain like that." Menjadi satu-satunya, dan diklaim bahwa ia harus menjadi miliknya seorang. Tentu itu egois, ingin memilikinya, namun mencintai pula perempuan lain. Perempuan mana y...