Vansa kembali ke kamar Gisel dengan perasaan kesal setengah mati. Ini adalah hari sialnya, sial bertemu kembali dengan perempuan ular itu. Bahkan rasanya ia ingin sekali mencabik-cabik muka polos nan menjijikan itu.
"Sel? Bangun, lo sarapan dulu. Abis itu minum obat." Gisel yang merasa tidurnya terganggu menggeliat dan membuka matanya, objek yang pertama kali Gisel lihat adalah Vansa.
Tak sesuai harapan, padahal Gisel berharap Erlang yang berada disini. Namun khayalannya terlalu tinggi, pria itu mana mau hanya sekedar mengurusi Gisel.
"Aku gak laper kak." keluh Gisel, melihat bubur yang ada di mangkuk itu membuat selera makan Gisel semakin hilang.
"Lo harus makan, mau satu suap atau dua suap. Yang penting ke isi." Gisel akhirnya memakan bubur itu setelah dipaksa beberapa kali oleh Vansa.
Kembali pada Erlang, dia kini hanya mengaduk buburnya tak selera. Fikirannya hanya terus tertuju pada Gisel. Bagaimana keadaan gadis itu? Dan kapan Aletta akan pulang dari sini.
Entah mengapa kini gadis itu selalu memenuhi fikira Erlang. Padahal Erlang yakin gadis yang dicintainya saat ini adalah Aletta, tak mungkin, tak mungkin ia mencintai Gisel sedangkan dirinya masih bersama dengan Aletta.
"Lo kapan pulang ta?" tanya Erlang pada akhirnya, kalimat itu yang sedari tadi ingin Erlang keluarkan dari mulutnya. Namun, terlalu takut jika gadis di depannya ini sakit hati, mengingat sudah beberapa kali Erlang selalu mengusir Aletta ketika gadis itu main ke rumahnya.
"Kenapa si Lang? Kamu selalu nyuruh aku cepet- cepet pulang kalo main ke sini? Aku cuma mau ngabisin waktu sama kamu doang, gak lebih." ucap Aletta kecewa, Erlang berubah, ia tak sama dengan Erlang yang pertama kali Aletta temui di hari pertamanya mereka kembali jadian.
Dirinya memang bersama Aletta, namun Aletta merasa raga Erlang jauh. Aletta tak merasakan bagaimana hangatnya perhatian Erlang lagi. Aletta seolah tak di pedulikan, dan Aletta benci hal itu. Ia benci ketika dirinya merasa di acuhkan, lihatlah bahkan sedari tadi mereka makan Erlang hanya mengaduk-aduk makanannya dan melamun tak jelas.
"Gak gitu Letta, gue masih banyak urusan penting. Gue harap lo ngerti." Aletta tertawa getir mendengar penuturan dari Erlang, apa barusan katanya? Urusan penting?
"Urusan penting apa? Hah? Gisella? Gara-gara dia kan? Lang pacar kamu tuh aku, bukan dia. Harusnya kamu lebih mrioritasin aku dong." air mata sudah jatuh dari mata Aletta.
Erlang mengacak rambutnya frustasi.
"Sorry." ucap Erlang setelah melihat Aletta menangis, Erlang mengusap air mata yang ada di pipi Aletta, kemudian membawa Aletta ke pelukannya, menenangkan gadis itu.
Bertepatan dengan itu, Erlang melihat Gisel tengah berdiri di ujung tangga melihat ke arah dirinya dan Aletta yang tengah berpelukan. Namun tak lama dari itu, Gisel segera beranjak dari sana dan kembali menaiki tangga dengan susah payah, sepanjang perjalanan menuju kamar, air mata Gisel tak dapat di tahan lagi.
Rasanya kenapa begitu sakit? Hatinya seolah diremas melihat Erlang memeluk Aletta mesra.
Walaupun Gisel tahu Erlang berhak melalukan itu, Aletta kekasihnya. Jadi apa salahnya? Salahnya hanya dirinya, ia terlalu cemburu dan sakit hati melihat itu semua.
Gisel langsung duduk di kasurnya dengan air mata yang terus mengalir, Vansa yang tengan duduk di meja belajar Gisel pun terlonjak kaget dan heran mengapa Gisel tiba-tiba menangis?
"Sel? Lo kenapa? Lo gak pa-pa kan?" Vansa duduk di sebelah Gisel memegang pundak gadis itu yang bergetar.
"Hikss.. kak..." Gisel menatap Vansa dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Haruskah ia jujur kepada Vansa? Lagi pula, ia butuh tempat curhat. Jika ia curhat kepada Bella dirasa tidak mungkin, Gisel masih kurang yakin. Dan pria di hadapannya ini yang mungkin bisa membantu meringankan perasaanya sedikit.
"Ada apa? Lo boleh cerita ke gue. Kali aja gue bisa bantu lo."
Dengan ragu Gisel mulai menceritakan semuanya, tak ada satupun yang terlewat. Semuanya ia curahkan kepada pria di depannya ini, yang baru beberapa hari Gisel kenal.
"Lo beneran suka sama Erlang?" tanya Vansa saat Gisel sudah selesai cerita. Gisel mengangguk pelan.
"Gue harap lo gak berurusan sama Aletta, dia perempuan berbahaya Sel. Gue gak mau sampe lo kenapa-napa cuma buat dapetin hati si brengsek itu." Gisel makin menangis menjadi, haruskah cerita cintanya sepahit ini? Ia ingin mendapatkan cinta seperti di novel-novel.
Vansa membawa Gisel ke dalam pelukannya, fikirnya ini bisa sedikit menenangkan Gisel. Bukan modus,namun Vansa juga tahu Gisel butuh penyemangat dan orang yang bisa diajak berkeluh kesah atas apa yang selama ini dialaminya.
Bukan hanya karena Gisel menyimpan perasaan pada Erlang, tetapi juga perjalanan hidup gadis itu yang terbilang cukup rumit dan menyedihkan.
Ketika Vansa tengah memeluk Gisel, Erlang datang dengan membawa buah-buah yang sudah di potong di piring. Namun langkahnya terhenti begitu saja saat menyaksikan kejadian itu.
Damn.
Ini seolah kejadian keterbalikan. Di kedua belah pihak sama-sama melihat hal yang sama, dan sama-sama tersakiti. Sungguh tidak di duga bukan. Dan Vansa tak menyia-nyiakan itu.
Ia langsung mengeratkan pelukannya pada Gisel, ia ingin melihat reaksi seperti apa yang di tunjukkan Erlang saat melihat Gisel berada dalam pelukan sepupunya sendiri.
"Sialan." umpat Erlang.
Ia menjatuhkan piringnya begitu saja hingga membuat pecahan beling berserakan di lantai, bahkan tanpa rasa bersalah dia pergi begitu saja. Gisel sempat teekejut saat melihat Erlang pergi, itu semua menandakan Erlang melihat Gisel di dekap Vansa.
Vansa tersenyum penuh makna.
Kini ia tahu.
Bahwa Erlang pun memiliki perasaan yang sama dengan Gisel, setidaknya Gisel tidak mencintai hanya di satu pihak. Erlang memiliki perasaan kepada Gisel, namun dia belum sepenuhnya sadar. Erlang masih belum menyadari, karena ia masih terikat pada Aletta, yang mana lingkup perasaannya seolah terbatasi dan hanya diharuskan untuk Aletta.
"Kak? Erlang?" Vansa tersenyum ke arah Gisel, namun Gisel masih tak mengerti apa arti dari senyuman Vansa.
"Seenggaknya cinta lo gak bertepuk sebelah tangan Sel." Gisel menautkan alisnya bingung.
"Erlang juga suka sama lo."
Gisel langsung menghapus jejak air mata yang ada di pipinya, Gisel fikir Vansa hanya mengada-ngada hanya untuk menghibus Gisel.
"Gue tahu arti tatapan Erlang tadi waktu liat kita pelukan. Dia cemburu."
"Kak jangan becanda deh."
"Gue gak becanda, gimana kalo sekarang gue bantu lo." tawar Vansa, Vansa fikir tawaran ini cukup menguntungkan bagi Gisel, dirinya, dan juga Erlang.
Untung bagi Gisel dan juga Erlang karena keduanya sudah tahu, mana rasa yang sebenarnya, dan arti cinta yang sebenarnya. Dan untung bagi Vansa karena dapat melihat perempuan ular itu hancur karena ditinggal Erlang.
"Jadi gimana?" Vansa mulai membisikkan rencananya yang akan ia jalankan bersama Gisel.
"Yang bener aja?" mata Gisel membola saat mendengar apa yang Vansa katakan tadi.
"Udah lo tenang aja."
'------------------'
Iiii aku gak suka part ini padahal aku sendiri yang nuliss:'
Bodo ahh, see you next part❤
23 April,2020
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE
Teen Fiction[Follow dulu sebelum membaca] 15+ "You are mine, and will forever remain like that." Menjadi satu-satunya, dan diklaim bahwa ia harus menjadi miliknya seorang. Tentu itu egois, ingin memilikinya, namun mencintai pula perempuan lain. Perempuan mana y...