04

256 54 31
                                    

Tujuh hari berlalu, saat akhirnya Emily sadar dari tidur panjang dengan selang infus menancap di punggung tangan kanannya. Ia sendirian di kamarnya, tetapi dari luar, ia bisa mendengar suara samar-samar orang berdebat.

Emily terperanjat duduk setelah mengumpulkan ceceran kesadarannya. Namun sebuah kebingungan kembali menyambutnya, mana kala ingatan peristiwa aneh yang kembali ia alami untuk kedua kali semenjak meninggalkan rumah Esther itu datang menghampiri.

Bagaimana ia bisa terbangun dengan selang infus itu, serta bagaimana ia bisa berada di kamar ini sementara sebelumnya ia yakin sekali dirinya ada di ruang makan bersama Avantee dan....

"Laki-laki itu!" Emily menepuk dahi dan menarik jarum yang menancap di dagingnya secara paksa sebelum beranjak turun.

Ia berjalan ke pintu setengah sempoyongan sambil memegangi bekas luka akibat tusukan jarum yang masih terasa ngilu. Namun saat membuka pintu dan melihat hanya ada para laki-laki di luar sana, Emily menahan diri untuk keluar.

Avantee dan seorang pria pendek berwajah Eropa yang mengomel, juga ... si tampan serba hitam yang sudah memikat hatinya. Emily tak sadar sudah menggigit bibir saat perhatiannya kembali tersita ke arah bibir mungil pria berpakaian serba hitam itu.

Demi Tuhan, Avantee juga rupawan dan pesonanya tak kalah merontokkan keimanan, tetapi teman serumahnya itu memiliki bentuk bibir yang mampu membuat Emily kehilangan kendali diri. Hingga setiap kali melihatnya, Emily hanya ingin merasakan seperti apa seandainya ia berciuman dengannya.

"Bibir itu terlihat sangat lembut dan dari wajah nakal pemiliknya, dia pasti sangat ahli dalam urusan cium-mencium." Emily bergumam lalu menjilati bibirnya sendiri dengan tatapan mupeng ke arah J. Hingga suara bentakan yang dipecahkan pria berwajah Eropa—yang sebelumnya tidak pernah Emily lihat, menyandarkannya dari pikiran nista.

"Kau sudah mendonasikan hampir keseluruhan pendapatanmu untuk amal. Apa aku pernah keberatan? Tidak, kan? Aku selalu mendengarkan apa pun keinginanmu, jadi sekali ini saja, tolong dengarkan aku. Kau tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini."

"Aku tidak akan melakukannya. Berapa banyak pun kau memohon, aku tidak akan pernah melakukannya." Avantee menanggapi terkesan cuek, mengayunkan kakinya yang duduk bersilang sambil tetap fokus menatap layar tablet.

"Jadi kau lebih senang jika dirumorkan sebagai penyuka sesama jenis? Kau tahu betapa hebohnya media pemberitaan akhir-akhir ini karena tak satu pun orang pernah melihatmu bersama wanita? Setidaknya, berkencanlah walau hanya pura-pura. Dan kau bisa memulainya dengan menerima tawaran film ini. Gadis lawan mainmu itu cantik, aku tidak akan keberatan kau membuat skandal dengannya. Dia juga sudah membintangi beberapa film sebelumnya dan sukses. Kau mengenal Ariana, kan?"

"Terserah apa yang mereka katakan. Aku tetap tidak sudi berciuman dengan seorang gadis dalam scene apa pun."

"Astaga, itu hanya sebuah ciuman! Penggemarmu menantikan saat-saat seperti ini. Dan film ini, akan disutradarai oleh David Yuan. Dia tidak pernah asal memilih orang untuk diajak kerja sama. Film buatannya selalu—"

"Keluar dari rumahku." Avantee berhenti mengayun kaki dan meletakkan tablet sambil menatap dingin sang manajer. Namun, suaranya masih cukup tenang dan datar. Sehingga sulit memastikan apakah dia benar-benar marah atau hanya malas berdebat. "Jangan sia-siakan waktumu untuk memohon padaku. Aku tidak akan pernah mencium siapa pun hanya demi popularitas dan materi. Kenapa kau terus saja memaksaku?"

Manajer itu bernama Roger. Setelah sepuluh tahun menemani Avantee, ia mulai gemas karena pemuda itu selalu menolak adegan ciuman atau sesuatu yang mengharuskannya melakukan kontak fisik 'tertentu' dengan seorang model wanita demi jalan cerita sebuah konten.

A Perfect Mess ( End || Cerita Belum Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang