12

188 41 10
                                    

Hari Jumat pagi adalah hari yang sibuk. Avantee tidak bisa menemukan Emily di setiap sudut rumahnya, berlari ke kamar J dan mengganggu malaikat maut yang tengah sibuk menyisir rambut di depan cerminnya itu.

"Kau tahu di mana gadis itu? Kami akan pergi membeli cincin pernikahan hari ini, tapi dia tidak ada di mana pun," kata Avantee panik.

"Mungkin dia sudah sadar kalau memutuskan menikahimu adalah sebuah kesalahan, jadi dia melarikan diri." Dan J yang selalu sinis, menanggapi asal tanpa menoleh padanya sehingga Avantee geram dan menghentak  ke sisinya.

"Jangan bicara sembarangan. Ini bukan saatnya untuk bercanda. Dia adalah pihak yang paling menginginkan pernikahan kami terjadi. Kalau kau tahu di mana dia, cepat beritahukan aku!"

J menghela napas dan menghentikan kegiatannya, akhirnya sudi menatap Avantee walau harus memperlihatkan ekspresi paling muak yang bisa dia tunjukkan. "Demi Tuhan, kenapa hidupmu selalu dipenuhi drama dan masalah? Kau tahu, aku sedang sangat sibuk mempersiapkan kepulanganku malam ini, mana sempat aku memperhatikan calon istri manusiamu itu? Sekarang enyahlah dari kamarku dan biarkan aku melanjutan kesibukanku."

"Bantu aku mencarinya, sialan!" Avantee memekik, hampir bersamaan dengan saat ponsel dari dalam sakunya berdering mengagetkan dan menahan marahnya kepada J sejenak.

Nama Robert tertera di layar sebagai pemanggil. Avantee menyapanya dengan bentakan lantaran masih terbawa emosi menghadapi kesialan rekan serumahnya. Namun, sesuatu yang kemudian disampaikan Robert padanya, malah membuat kekesalan Avantee meningkat berlipat-lipat.

"Emily bersama kami. Datanglah ke apartemenku sekarang juga kalau kau ingin dia selamat. Kurasa, kita perlu membicarakan banyak hal soal rencana sialanmu melarikan diri dariku itu."

Avantee mengantongi kembali ponselnya setelah pembicaraan diakhiri sepihak oleh Robert dan mendengkus. Sekali lagi menatap J yang sibuk menyemprotkan parfum ke sekujur badan. "Temani aku ke tempat Robert. Aku harus menjemput Emily di sana."

"Aku akan berangkat ke Paris setelah selesai menghabiskan parfum di botol ini. Aku tidak bisa menjadi sopirmu lagi, jadi jangan meminta bantuan apa pun dariku, uh?" J menolak mentah-mentah.

Kali ini tanggapan J berhasil mengantar level kemarahan Avantee menuju puncak, sehingga cermin di depan J menjadi sasaran tinjunya. Tidak tanggung-tanggung, Avantee menyasar kaca itu sampai retak dan membuat tangannya terluka hanya demi mendapatkan perhatian J.

"Ah, tanganmu bisa berdarah sekarang." J memberi komentar sinis, sambil menatap lelehan darah di tangan Avantee yang terluka oleh serpihan kaca. "Kau harusnya lebih berhati-hati sebab sekarang kau benar-benar manusia. Pendarahan hebat bisa saja membunuhmu. Dan aku selalu siap mencabut nyawamu."

"Aku tidak peduli dengan semua itu. Sekarang kau harus ikut denganku! Kau bisa tiba di Paris hanya dengan mengedipkan mata, tapi calon istriku sedang dalam bahaya dan mungkin aku akan membutuhkan pertolonganmu untuk menyelamatkannya. Robert mengancam akan menyakitinya!"

"Aku tidak peduli. Itu bukan urusanku dan aku tidak mau terlibat sama sekali dengan kehidupan manusia. Aku pergi. Selamat tinggal...." J melambaikan tangan kanan licik dan menghilang dari hadapan Avantee begitu saja.

Sementara Avantee hanya bisa mengumpat-umpat dalam kesendiriannya. Merasa benar-benar menyesal karena sudah meminjamkan iPad-nya kepada J beberapa waktu lalu untuk mencari keberadaan Menara Eiffel. Avantee merasa terbodohi entah untuk keberapa kalinya semenjak seratus tahun belakangan ini. Dan dia masih saja menjadi si bodoh hingga saat-saat terakhir keberadaan malaikat maut itu di rumahnya.

A Perfect Mess ( End || Cerita Belum Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang