11

165 39 12
                                    

J mengendap-ngendap di belakang rombongan para pelajar SMA yang berbaris antre hendak melewati pintu masuk perpustakaan kota, berharap dapat mengelabui petugas keamanan dengan berpikir kalau dia bagian dari rombongan para pelajar itu. Namun tiba-tiba saja, seseorang menepuk bahunya dari belakang dan dalam hitungan detik, teriakan histeris orang-orang di sana menggemuruh.

"Ada yang pingsan! Petugas itu pingsan!"

Sudah menebak apa tepatnya yang terjadi, J memejamkan mata sebelum menoleh ke belakang memastikan keadaan. Seorang security yang baru saja menepuk bahunya telah terkapar menyedihkan di lantai dan tidak sadarkan diri.

Dengan cepat, teriakan lain yang tak kalah menghebohkan menyusul terdengar, "Dia pingsan setelah menyentuh orang mencurigakan itu! Dia pasti memukulnya!"

J melotot menatap salah satu pelajar yang sudah menuduhnya bukan-bukan, dan menggeleng menyangkalnya agar tidak memicu kepanikan lain hanya karena seseorang sudah salah paham. "Aku tidak melakukan apa pun. Kau berdiri tepat di situ, seharusnya kau melihat kalau aku tidak melakukan apa pun padanya."

"Jangan banyak alasan. Sekarang perlihatkan saja kartu identitasmu." Security lain yang baru keluar dari dalam kantornya dengan wajah waspada sambil menodongkan senjata, mengedikkan kepala pada J sementara rekan lainnya membantu memindahkan teman mereka yang pingsan ke dalam kantor agar tidak memancing kerumunan lebih banyak lagi.

"Memangnya kenapa aku harus menunjukkannya padamu? Kalian tidak meminta itu dari pengunjung lain." J berkilah, berharap manusia merepotkan di depannya ini akan menyerah dan membiarkannya masuk ke gedung perpustakaan.

"Apa kau tidak pernah mengikuti berita? Belakangan sering terjadi penembakan brutal di tempat umum dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gaya busana mirip sepertimu. Demi memastikan keselamatan orang-orang di sini, kami harus menjalankan peraturannya. Kami akan memeriksa semua orang yang mengenakan pakaian serba hitam sepertimu. Kemarikan identitasmu."

J sontak mundur. Bukan lantaran takut, melainkan dia tidak ingin security itu sampai menyentuhnya dan ikutan pingsan seperti rekannya. Selain itu, J juga tidak memiliki kartu identitas. Kendati selama ini dia sudah hidup serupa manusia, J tetaplah berbeda dari Avantee yang bisa membaur begitu saja dengan para makhluk yang selalu disebutnya sebagai pendosa itu. Alih-alih mengeluarkan dompet, saat security mengulurkan tangan kanannya, J justru menyilangkan kedua tangan ke dada memeluk dirinya sendiri.

"Dengar, kau sebaiknya jaga jarak dariku. Itu demi kebaikanmu sendiri." J berusaha mengingatkan agar tidak membuat seseorang kembali pingsan.

"Apa kau coba mengancamku?" Security mengacungkan pistolnya lebih tinggi.

J buru-buru menggeleng dengan wajah polos. "Jangan salah paham. Aku tinggal di sekitar sini, jadi tidak membawa dompet dan kartu identitasku. Aku juga tidak membawa ponsel. Tapi kau bisa menghubungi kakakku jika tidak percaya padaku. Aku bukan orang jahat."

"Di mana tepatnya kau tinggal dan berapa nomor ponsel kakakmu?"

J menelan ludah. Dengan sangat berat hati, dia pun terpaksa memberitahukan alamat rumah Avantee beserta nomor ponselnya kepada security. Setelah hampir tiga puluh menit waktu dihabiskannya di kantor keamanan, J akhirnya hanya bisa terdiam miris ketika akhirnya Avantee datang dalam balutan pakaian lebih mencolok darinya; mengenakan jaket kulit hitam dan kupluk warna senada dari rajutan benang, serta kacamata hitam dan juga masker wajah—yang juga hitam. Sementara security cuma bisa melongo saat Avantee akhirnya membuka masker dan kacamatanya.

"Ka--kau  ... Avantee yang itu?" Mendadak security yang tadinya galak pada J, bicara tergagap-gagap. "Da--dan si tampan ini, adikmu?"

Walau sambil menatap J sarat kebencian, Avantee tetap mengiyakannya. "Dia sedikit autis. Jadi aku minta maaf kalau dia menyusahkan kalian."

"Autis?" J memprotes tak terima, tetapi kerlingan tajam Avantee segera berhasil mendiamkannya kembali.

"Sekarang jika tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, saya akan permisi undur diri." Avantee pamit pada security. Namun ketika dia sudah bangkit dan hendak berjalan keluar sambil diikuti J di belakangnya, security tiba-tiba kembali memanggilnya sambil mengulurkan buku dan pulpen.

"Anakku penggemar beratmu. Bisakah kau berikan tanda tanganmu dan berfoto bersamaku? Anggap saja, itu sebagai bentuk terima kasih karena aku tidak mengirim adikmu ke kantor polisi."

*

Di sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil, pertengkaran yang seolah-olah tidak akan pernah usai kembali terjadi. J masih tak terima dengan sebutan autisnya dan Avantee yang kesal lantaran lagi-lagi tak ada ucapan terima kasih dari mulut seterunya kendati sudah ia bantu.

"Lain kali jka kau kembali membuatku harus datang untuk alasan seperti ini, aku tidak akan pernah datang membantumu," putus Avantee sambil menggegat rahang menahan kesal yang meluap-luap.

"Jika kau tidak datang, maka kau tidak layak sama sekali untuk disebut malaikat pelindung. Sudah tugasmu membantu sesama makhluk ciptaan Tuhan. Bukankan kau selalu mengatakan hal yang sama itu berulang-ulang?"

"Tapi aku tidak sudi membantu makhluk tidak tahu diri sepertimu."

"Kalau kau sangat membenciku, seharusnya kau membantuku menemukan letak Menara Eiffel sejak kali pertama aku bertanya agar aku bisa segera enyah dari hidupmu. Kau tidak perlu menggerutu seperti lebah karena aku sudah sangat kesal hari ini." J tanpa sadar sudah mengubah wujud dirinya menjadi sangat mengerikan karena sangat marah.

Wajah dan tangannya menghitam legam serupa warna pakaian yang dikenakan. Dia bahkan berhasil membuat Avantee merinding karena tampilan barunya yang tiba-tiba itu. "Manusia bodoh berani menodongkan senjata pada malaikat maut. Astaga. Setelah aku berhasil kembali, aku akan mengajukan diri sebagai malaikat yang kelak akan mencabut nyawanya. Kupastikan dia akan sangat menderita."

"Pikirkan saja bagaimana caranya kau bisa kembali, jangan berandai kejauhan karena siapa tahu saja, pada akhirnya nanti kau juga akan gagal sama sepertiku."

"Kau menyumpahiku?" J menoleh, memperjelas wajah menyeramannya pada pengemudi Avantee.

Avantee menanggapi dengan mengedikkan bahu sambil tersenyum puas karena berhasil membuat seterunya itu kesal. "Seandainya saja Emily melihatmu saat seperti ini, aku jamin dia pasti tidak akan pernah mau bertemu lagi denganmu. Lihatlah di cermin betapa menyeramkannya dirimu."

Avantee menghadapkan kaca spion tengah tepat ke arah wajah J sambil kembali tersenyum lebar. Namun J tak meliriknya barang sekilas, menyeringai dan menjetikkan jari kirinya. Memecahkan kaca itu seperti sihir dan membuat Avantee menggegat rahang.

"Kau tahu berapa uang yang harus kubayarkan untuk mendapatkan mobil ini? Kenapa sekarang kau malah memecahkan sepionnya?!"

"Aku tidak peduli berapa banyak pun uang yang kau keluarkan. Tapi jika kau bicara sekali lagi, maka aku akan menghancurkan mobilmu. Fokuslah mengemudi dan jangan membuatku semakin marah."

*

 

A Perfect Mess ( End || Cerita Belum Direvisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang