Ichi

86 11 0
                                    

because nothing makes me happier and nothing makes me sadder than you
-unknow

•••

Hiro sudah menunggu Mala di teras rumah perempuan itu meskipun matahari belum terbit.  Di sana Hiro ditemani oleh suami kakak sepupunya yang baru pulang dari Masjid.

“Udah sholat, Ro?” tanya Daren.

“Udah.” Hiro sebenarnya sudah akrab dengan keluarga Mala. Bahkan dari keduanya belum lahir, keluarga Mala sudah mengenal keluarga Hiro dengan baik.

Pertama kali bertemu secara sadar –karena mereka pernah bertemu saat keduanya masih balita- yaitu ketika Hiro duduk di bangku kelas 9 SMP sedangkan Mala masih kelas 7 SMP dan mereka satu sekolah. Mereka bertemu lagi dua tahun kemudian karena Mala ingin memasuki SMA terbaik versinya yang mana Hiro juga sekolah disana.

Namun pada akhirnya, Mala gagal. Tapi Hiro pernah bilang sebelum mereka pacaran, “Mala, ini nggak apa-apa. Habisin jatah gagal kamu sekarang, biar nanti di episode selanjutnya kamu nggak akan gagal lagi. Kan masih ada kuliah, kerja, bahkan nikah juga loh, Mal. Kehidupan setelah SMA itu masih panjang.”

Hiro memang benar. Namun pada akhirnya Mala berjuang sendirian.

Bergaul dengan teman yang benar-benar baru karena teman dari SMP-nya hanya sedikit.

Menahan tangis saat teman-temannya mengunggah twibbon di Instagram, membuat story di Instagram dengan teman baru mereka di sekolah yang benar-benar Mala inginkan. Juga menahan kecewa karena Mala benar-benar kalah dari Riga.

Dan Hiro tidak tahu walau setiap malamnya Mala menangis karena kegagalannya. Nadin –ibunya Mala- juga hanya tahu kalau satu malam saat ia tidak sengaja melihat putri semata wayangnya menangis sendirian di kamar itu karena ada masalah dengan Hiro, bukan karena kegagalannya.

Mala kecewa bukan karena ia tidak diterima. Itu tida apa-apa, sebab semua sekolah sama saja. Tapi ia kecewa saat keluarga besarnya yang mayoritas lulusan sana bertanya pada Mala, “Sekolah dimana?” atau “Gimana rasanya sekolah di sana?” ‘di sana’ yang mereka maksud adalah sekolah yang Mala inginkan, sedangkan mereka tahu kalau Mala tidak lulus.

Ini adalah perkataan yang Riga lontarkan saat tahu bahwa Mala tidak lulus di SMA itu, “Bodoh sih kamu, masuk SMA favorit yang saingannya se-Kota atau ya kayaknya se-Provinsi gitu aja gagal, gimana nanti kuliah yang saingannya se-Indonesia?” katanya sangat jemawa.

“Mau kemana, Dek?” tanya Valen yang sepertinya tak sengaja melihat kamar Mala yang terbuka. Valen dan Daren sedang menetap di Bandung entah sampai kapan karena ada pekerjaan yang harus Daren selesaikan di kota kelahiran istrinya.

“Nggak tau, diajak Hiro.”

“Oh ya udah, hati- hati. Pagi banget perginya.”

Mala sama sekali tidak melirik Valen karena sedang sibuk memasukkan make-up walau hanya bb cream, maskara, dan liptint ke dalam pouch.
“Iya, siap. Mau dibawain apa pulangnya?”

“Nggak usah deh, kan kamu juga belum tau kemana perginya.”

“Ya udah nanti aku bawa apa aja, okeh?” Kali ini baru Mala menoleh pada Valen.

“Oke,” jawab Valen sambil menyatukan tulunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.

Kemarin malam, Hiro meminta gadisnya agar memakai pakaian yang hangat, Mala putuskan untuk menggunakan jelana jeans dan sweater putih gading dengan ukuran sedikit longgar. Ia keluar dari kamar dan memakai sneakers Puma hitam yang dibelikan Hiro bulan lalu saat ia baru saja kembali ke Indonesia setelah menjenguk neneknya selama dua hari yang bertepatan dengan hari ulang tahun Mala keenam belas. Tentu saja sepatu limited edition itu dibelikan langsung oleh Hiro dari negara kelahirannya.

HIROSHIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang