“Jadi bisa dijelasin wajah dan tangan kamu kenapa?” Mala menunduk, ia tidak suka karena Hiro terus menerus mengintrogasinya. “Mana ada yang jatuh dari motor kayak gitu, Mala,” ujarnya dingin.
Sudah tiga hari Mala tidak sekolah dengan alasan sakit. Akhirnya Hiro datang menjenguk Mala dengan sepuluh kotak susu rasa pisang dan tiga bungkus kuaci untuk Mala. Susu kotak rasa pisang dan kuaci adalah makanan wajib jika mereka bersama.
Beruntung karena Nadin belum pulang ke Indonesia. Jadi Mamanya tidak tahu kondisi Mala saat ini.
“Mala....”
“Aku ... aku selfharm. Aku nyilet. Aku mukul wajah aku. Aku hampir mau motong nadi. Aku mau bunuh diri, Hiro.”
Hiro tercengang, menatap Mala gamang lalu merengkuh perempuan itu dalam dekapannya. “Kenapa?”
“Karena ... aku mau pulang.”
“Pulang?”
“Ke rumah Tuhan, boleh?”
Hiro memeluk Mala erat, ia tahu Mala sedang banyak pikiran makanya berbicara ngawur.
Mala membalas pelukan Hiro lebih erat, menangis dalam pelukannya.
Maaf, Hiro.
“Dengan cara yang paling mengenaskan, paling memprihatinkan, paling menyakitkan, paling disayangkan?”
Hiro mendorong bahu Mala agar menatapnya. “Liat aku ya,” diraihnya dagu Mala dengan lembut, “pulang pada Tuhan bukan jalan yang tepat, kamu jadi hamba yang paling dimurkai-Nya kalau begitu. Kenapa harus pulang kalau aku selalu ada?”
Hiro menggenggam pergelangan tangan Mala, menatapnya bergantian dengan wajah Sang gadis. “Udah berapa lama?”
“Lima kali, lupa dari kapan.”
Mala tidak bohong, dirinya sudah lima kali dianiaya oleh ibu tirinya. Badannya sudah seperti sampah, dilempar-lempar, menghasilkan memar pada sekujur tubuhnya, namun tidak pada area yang terlihat. Punggung, misalnya. Kalau dijambak rambut, sering, minimal sakitnya satu hari satu malam. Menggunakan kerudung, jarumnya yang menusuk pada sekitaran dagu dan leher.
Benar kata Hiro, Mala adalah perempuan yang kuat.
“Jangan kayak gini, jangan takut sama yang kamu jalani, jangan cemas sama masa depan, kamu harus bisa melawan rasa takut pada diri sendiri. I always free for you, kamu nggak sendiri, Shima.”
Shima ... kata ganti Sayang dari Hiro untuk gadisnya, Mala.
Sejujurnya, Mala tidak suka jika harus menyakiti diri sendiri secara fisik apalagi nyilet. Ada bekasnya. Sebesar apapun masalahnya, ia masih punya spidol merah yang bisa digoreskan pada lengannya seolah itu adalah sayatan, atau ia menggenggam es batu sekuat tenaga. Cara ini sedikit ampuh meredakan emosi, karena akan sangat ampuh jika kita berdamai dengan diri sendiri.
Ia sudah berteman dengan banyaknya bekas lupa di tubuh, ia tidak mau menambah cacat pada bagian tubuh lainnya.
Apakah itu sudah bentuk dari menyayangi diri sendiri?
Belum, karena terkadang ia masih tidak bersyukur.
“Kak Dhito....”
“Ya?” Hiro menatap Mala. Ia paham akan ada sesuatu serius yang akan Mala bicarakan.
“Maaf selalu merepotkan Kak Dhito, maaf Mala selalu bikin susah, maaf Mala belum bisa sayang sama diri sendiri.” Dan untuk pertama kalinya, “i love you. I’m so ... sory.”
Gerakan Hiro yang sedang menyisir rambut Mala menggunakan jarinya terhenti. Ia tersenyum lebar, lalu mendekati Mala. Ia semakin mendekat. Dan kening mereka bersatu. Keduanya dapat mencium parfum pasangannya. Mala memejamkan mata, meresapi setiap detik yang terjadi pada momen ini. Dan Hiro berusaha agar bibir mereka tidak bersentuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIROSHIMA
Teen FictionMala tidak seberuntung Hiro juga saudara-saudaranya yang lain. Mereka dapat melanjutkan pendidikan kemanapun yang Mala mau, sedangkan Mala tidak. Dan menjadi anak dari istri kedua adalah hal yang membuat Mala selalu ditolak mentah-mentah oleh keluar...