Roku

31 5 0
                                    

Hari ini tiba-tiba Ahmad menelpon anak bungsunya dan meminta untuk datang ke rumah sakit yang ada di daerah Pasir Kaliki. Sebenarnya Mala sangat malas karena jauh dari rumah temannya dan rumah sakit itu dekat dengan Pasar Baru.

Namun Mala memilih datang, ia tidak terlalu takut dengan rumah sakit termasuk saat ia datang sendirian. Kecuali rumah sakit umum Santo Borromeus, entah, Mala masih merasa aneh dengan rumah sakit itu.

Hingga Mala tiba di kamar VVIP nomor 329. Membuka pintunya perlahan. Di sana sudah ada Mami Tata dan Riga. Mala tidak melihat  Ahmad, membuat jantungnya berpacu adrenalin.

Mala mencium tangan Tata, menatap Hiro yang tertidur pulas.

“Riga sakit apa, Mi?”

Mala menghembuskan napasnya kasar, butuh mental yang kuat untuk memulai percakapan dengan Tata.

“Demam.”

“Demam aja sampai pulang ke Indo, Mi? Kan RS di sana juga ada, Mounth Elizabeth misalnya.” Mala berbicara pelan agar tak menarik emosi Tata. Ia hanya penasaran saja, sebab rumah sakit di sana pasti jauh lebih baik. Tapi Tata tetap Tata, ia akan selalu judes pada Mala terutama saat-saat seperti ini karena Ahmad tak ada di samping mereka.

“Kenapa, keberatan? Ya nggak apa-apa dong dia ‘kan banyak uang, mungkin dia terlalu capek karena baru pulang liburan sama pacarnya dari Eropa dan pas sampai di Indo dia langsung drop.”

Sombong. Bilang saja baru pulang liburan. Lagian Hiro lemah amat.

Mala hanya mengangguk. Padahal ia ingin berkata, “kirain kalau orang kaya penyakitnya kanker, jantung, atau apa gitu, kan biayanya mahal. Ya pasti mampulah.”

“Oh iya, Mami juga dibeliin tas yang limited itu, emang anak saya yang itu baik banget. Kamu udah pernah ngasih apa aja sama Mama-mu?”

“Doa anak saleh, selama di SMA aku kasih Mama ranking 1 pararel, siswi terbaik,  juara 1 olimpiade ekonomi, juara 1 kontes fotografi, best photography. Mungkin dua tahunan lagi aku keterima di SBM ITB yang bikin Mama bangga.”

Mala memang tidak bisa atau lebih baik jika dikatakan belum bisa memberikan ibunya barang-barang branded limited edition seperti yang Riga lakukan. Namun ada yang lebih dari sebuah barang mahal yaitu doa dari anak untuk orang tuanya yang tak ternilai oleh uang.

“Oh ITB ya?” Mala tidak suka sebab perempuan tua yang sayangnya harus ia panggil ‘Mami’ itu berkata dengan nada merendahkan. “Mala, mimpi kamu nggak ketinggian? Kamu mau sekolah di SMA kayak sekolah anak-anak Mami aja nggak lulus, kasian banget. Ini malah mau ke ITB loh, jangan mimpi ah.”

“Iya, Mami, Mala mengerti. Mimpilah setinggi-tingginya dan Mala cuma bisa berusaha juga nggak mau berharap lebih juga. Tapi kalau kita yakin, mimpi itu pasti terwujud, selalu ada jalan buat kita yang mau berusaha.”

Dan tidak lupa, kita harus berpikiran positif bahwa mimpi itu akan tercapai.

Pintu ruangan ada yang mengetuk, Mala berharap itu adalah Ahmad sebab Mala tidak ingin Tata terus menerus mengoloknya.

Namun dugaannya salah, yang datang adalah rekan arisan Tata.

Perempuan yang sedang bercipika-cipiki dengan Tata terlihat sangat hedon dengan menggunakan berlian yang berlebihan dan menenteng tas yang sayangnya bermerek Hermes.

Perempuan satunya lagi terlihat biasa saja. Mala yakin perempuan ini juga pasti orang kaya terlihat dengan gayanya yang berkelas namun tidak sombong. Buktinya dia mau menyapa Mala.

Mala dikenalkan dengan teman arisan Tata.

“Saya Ayu,” kata perempuan berhijab yang tadi menyapa Mala.

HIROSHIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang