Aing/urang: aku
Sia/maneh: kamuAwalnya walau latar di Bandung aku mau umum aja gitu, jadi kayak cuma minjem tempat aja. Tapi agak aneh sih kalau emang kayak gtu, makanya aku putuskan mau pakai dikit2 aja bahasa Sunda biar kalian yg diluar Jabar nggak terlalu bingung. Atau sambil belajar bahasa Sunda aja ga sih? Wkwk.
Aku lagi gabut, beneran, kali aja ada yang mau belajar bahasa Sunda pc ya wkwkw.
Gitu aja sih, Wilujeng maca!
***
Hari Sabtu Hiro masih ke sekolah karena ada jadwal pemantapan Ujian Nasional. Pemantapan sudah selesai, ia memutuskan untuk menongkrong bersama teman-temannya walaupun guru pembimbing mereka berpesan langsung pulang ke rumah, tapi peduli apa? Ia bukan anak SD lagi. Bahkan anak SD juga ingkar bila diperintahkan seperti itu.
“Kayak ada yang kangen tapi bukan pacar,” celetuk Adang tiba-tiba.
Masih satu daerah dengan sekolahnya, ada sebuah warung yang menyediakan kopi, mie rebus dan mie goreng, gorengan, hanya itu kira-kira, tapi dapat memikat daya tarik anak SMA di sekitar sana.
Sayangnya hari ini tidak dapat kumpul semua. Yang paling sering kumpul hanya Hiro, Adang alias Hazza, Jujun yang bernama asli Juniar, dan terakhir Ben.
“Ya 'kan maneh nggak ada pacar, Dang.”
“Ada sih, cuma nggak keliatan aja.”
“Nggak keliatan gimana? Napak nggak kakinya? Jangan-jangan Mbak Kun.” Jujun bergidik.
“Mbak Kun? Mas Kun kali ah yang nyanyi terlalu lama sendiri terlalu lama aku asik sendiri,” balas Adang.
“Aing mau ngomong, saria dengerin dulu ya.” Adang, Jujun, Ben, langsung menatap Hiro.
Tidak langsung berbicara, Hiro menyesap rokoknya terlebih dahulu membuat temannya geram.
“Gimana sih caranya biar hubungan gue direstuin nyokap?”
“Masalah Tante Alin lagi? Gue punya solusinya!” kata Adang, Hiro mengangguk dan tersenyum antusias.
“Apa?”
“Hubungan nggak direstui Emak? Dedek bayi jadi solusinya.”
Jujun menyemburkan kopi yang diminumnya lalu ia pun terbahak. “Bener tuh, Dhit. Lo mantep-mantep dulu aja tuh sama si Kesay.”
Hiro melempar Adang dan Jujun dengan cangkang kuaci. Mereka tidak ada yang beres otaknya. Hanya Ben yang masih sok cool dengan rokok elektriknya.
“Asbak.” Jujun menjulurkan tangannya, meminta asbak yang ada di dekat Ben. Ben pun hanya menggeserkan asbak dengan sebelah tangan kemudian fokus dengan layar gawainya.
“Ben, gimana?” Hiro menatap Ben, karena Ben pasti mendengarnya sejak tadi. Dan pastinya, Ben lebih baik dari kedua temannya yang lain.
“It’s such a shame when love unites but religion or restu Tante Alin divides,” Hiro mendengarkannya dengan seksama, “terus jodoh itu bukan ditentukan sama shio, zodiak, weton, bahkan golongan darah. Tapi dari kecocokan masing-masing dan ... ya restu orang tua juga ngaruh sih.”
Ben teringat ketika saudaranya batal menikah karena golongan darah dan golongan pasangannya berbeda, ia sendiri tidak paham, entah berbeda rhesus atau apa. Dan katanya, itu akan ngaruh pada anak yang dilahirkannya.
“Kalo yang itu mah aing know, Ignatius Ruben.” Hiro sangat geram.
Ben hanya terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIROSHIMA
Teen FictionMala tidak seberuntung Hiro juga saudara-saudaranya yang lain. Mereka dapat melanjutkan pendidikan kemanapun yang Mala mau, sedangkan Mala tidak. Dan menjadi anak dari istri kedua adalah hal yang membuat Mala selalu ditolak mentah-mentah oleh keluar...