Kumencintaimu lebih dari apapun. Meskipun dulu tak sempat kuucapkan. Kukira kita kan selalu dekat. Rupanya waktu membuatmu kian menjauh dariku.
Sudah lebih seminggu ayah meninggal. Bermaksud sudah seminggu ini juga aku tinggal di kampung. Tinggal serumah dengan ibu tiriku dan Natasha bukan perkara yang kuinginkan.
Meski sudah berjanji dengan ayahku, aku tahu Natasha tetap tidak rela melepaskan Jacob untukku. Wajah Natasha masam setiap kali dia berselisih denganku.
"Tasha sayangkan Jacob, ma. Tasha tidak sanggup berpisah dengannya," aku terdengar perbualan Natasha dengan ibunya.
"Kita sudah berjanji pada papa, Tasha," suara ibu tiriku kedengaran.
"Papa sudah meninggal, ma. Kalaupun Dya tak menikah dengan Jacob, papa takkan tahu," aku menggeleng perlahan. Ambil saja, Tasha, itu kata-kata yang paling ingin aku ucapkan. Namun aku belum ingin mengucapkannya saat ini. Belum tiba waktunya untuk berdebat hal sebegitu. Tanah di kubur ayah pun masih lagi basah.
Selesai sembahyang arwah hari ke tujuh, Jacob mengajakku berjalan berdua. Sebelum hadir Natasha dalam keluargaku, beginilah aku dan Jacob. Selalu berjalan berdua ke mana-mana sahaja. Dia melayanku seperti seorang kekasih, hingga aku jatuh cinta kepadanya.
" Kita kembali berada di sini, Dya," Jacob menarikku rapat ke tubuhnya. Dia merangkul pinggangku dengan kedua tangannya.
"I missed you, Dya," Jacob menunduk dan memajukan wajahnya. Hampir saja bibirnya menyentuh bibirku.
"No, Jacob," ku tahan wajahnya dengan tanganku.
"Why?" dia bertanya kecewa. Sekali lagi dia memajukan wajah dan aku tetap mengelak.
"Kita cuma sahabat. Cuma sebagai adik- abang," kataku. Jacob mendakap tubuhku kian erat.
"Itu pernyataan yang akan aku sesali seumur hidup, Dya. Sedangkan perasaanku sebenarnya bukan begitu. Aku mencintaimu, Annedya. Sejak dulu. Jika aku tidak mencintaimu, sudah lama kubuka hati untuk mencintai gadis lain," katanya.
"Please, Dya. Let me kiss you," aku menggeleng lagi. Jacob menatapku dengan raut kecewa. Andai dulu dia mengatakan cinta, pasti cintanya kusambut dengan bahagia. Namun kini... semuanya sudah tak lagi sama. Hatiku sudah bukan untuknya lagi.
"I'm sorry, Jacob. I can't," aku tahu dia kecewa. Perlahan dia melepaskan tubuhku dan berjalan menuju ke gigi pantai.
" Jacob..." aku memanggilnya. Dia tidak berpaling dan terus berjalan.
"Jacob!" Aku mengejarnya. Dari belakang, ku peluk tubuhnya.
"Jangan begini, Jacob..."
"Aku tidak pernah menyangka kita akan terpisah begini, Dya. Aku tidak pernah bersedia untuk kita berpisah," kulihat dia mengesat mata dengan hujung jarinya. Dia menangis. Jacob yang pernah sangat aku cintai kini menangis.
"Kita tidak pernah berpisah, Jacob. Aku tetap menyayangimu sebagai seorang sahabat," aku menyandarkan pipi pada belakangnya yang lebar. Tubuhnya harum dan terasa hangat dalam dakapanku. Aku masih menyayanginya, tetapi hatiku sudah mencintai lelaki lain.
"Aku tidak mahu menjadi sahabatmu, Dya. Aku mahu menjadi kekasih dan suamimu," katanya. Aku tidak dapat menahan air mataku yang mengalir perlahan melewati pipi dan jatuh menimpa baju yang dipakai Jacob.
Aku tidak tahu mengapa aku menangis. Perasaan memang sukar difahami. Aku merindui Jacob. Aku menyayanginya. Aku juga ingin memilikinya. Tetapi aku lebih menginginkan Deen. Salahkah aku memiliki rasa ini?
"Kamu tahu kita akan melukai banyak hati jika kita memilih untuk bersama, Jacob. Natasha, kedua orang tuamu juga ibu tiriku, mereka pasti terluka."
"Juga Deen. Kamu pasti takut dia terluka, Dya. Kamu terlalu menjaga hatinya. Tapi bagaimana dengan aku?" Aku memejamkan mata. Air mata mengalir kian deras. Apa yang harus aku lakukan?
"Aku mencintaimu, Dya. Sampai bila-bilapun perasaan itu tidak akan pernah berubah. Meski suatu hari nanti kamu akan menjadi milik lelaki lain," ucap Jacob. Dia memutar tubuh menghadapku dan mencium dahiku lama.
"Aku mahu selalu berada di sini, Dya," dia menunjuk dadaku dengan jarinya.
♥️♥️♥️
Sekembali dari pertemuan dengan Jacob, aku memasukkan pakaianku ke dalam beg. Aku memutuskan untuk kembali ke apartmentku petang itu juga. Semakin lama di rumah ini, luka yang ternganga tidak akan mudah sembuh. Kenangan tentang ayahku ada di mana-mana.
Selain itu, aku tidak boleh berlama-lama di rumah ini. Aku perlu segera menghindari Natasha. Aku tahu dia begitu mencintai Jacob. Janji mereka di hadapan ayahku adalah janji yang dilafazkan kerana terpaksa, kerana mereka tidak mampu menolak permintaan seorang ayah yang tengah nazak.
Ibu dan ayahku sudah tiada. Aku kini hidup sebatang kara. Pun begitu, aku punya hati yang tidak akan aku biarkan terendam dalam kepedihan. Aku punya hak untuk bahagia. Dan kebahagiaanku bukan di sini. Kebahagiaanku ada di apartment yang sudah kutinggalkan hampir seminggu ini.
"Ingat pesan terakhir ayahmu, Dya," ibu tiriku yang sedari tadi memerhatikan aku mengemas pakaianku akhirnya bersuara.
"Dya ikhlas menyerahkan Jacob buat Tasha, bu, " aku menjawab. Kucapai sebuah foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu dan kumasukkan ke dalam beg pakaianku.
"Kita sudah berjanji pada papa, Dya," ibu tiriku kelihatan gelisah.
" Ibu tidak berani mungkir kata, Dya," sambungnya seraya memandangku penuh berharap. Aku tahu dia takut jika aku tidak mahu menikah dengan Jacob. Dia sudah berjanji pada ayahku akan memastikan aku dan Jacob menikah.
" Papa akan faham, bu. Dya minta maaf. Tasha berhak bahagia, begitu juga Dya," aku menarik zip beg pakaianku dan mengangkatnya menuju kereta di luar rumah.
Buat masa ini, inilah langkah terbaik. Aku tidak tahu bagaimana hubunganku dengan Deen nanti. Aku tidak tahu apakah perasaannya terhadapku, adakah dia mencintaiku atau menganggapku hanya sebagai wanita murah yang sudah tidak suci lagi. Dan aku juga tidak tahu apakah ada kebahagiaan yang menungguku di penghujung setiap langkahku.
"Atau.. kamu sebenarnya berpura-pura menolak Jacob, Dya? Agar kamu kelihatan seperti gadis baik-baik. Sedangkan nanti, kamu akan senyap-senyap menjalin hubungan dengan Jacob, " Tasha yang entah bila pulang, kini melontarkan tuduhan itu.
"Aku tidak perlu menjalin hubungan senyap-senyap dengan Jacob, Tasha. Dia sudah mengajakku menikah. Mulanya aku berfikir untuk mengundur diri, Tasha dan meminta Jacob untuk menikah denganmu.
Tapi, kerana mulutmu begitu lancang menuduhku, rasanya aku berubah fikiran. Aku akan menerima Jacob. "
Natasha mendengus marah sebelum berpaling pergi. Dia menghentak-hentakkan kaki dengan keras.
" Hei, Tasha. Ini rumah bapa aku. Kau bukan sesiapa dan tidak ada hak di sini, " aku bersuara agak keras. Ibu tiriku bersuara perlahan.
" Maafkan kakakmu, Dya," katanya. Aku ingin mencebik mendengarnya. Namun aku kasihan melihat ibu tiriku. Dia baru kehilangan tempat bergantung. Bagaimanapun selama hidup sebagai isteri ayahku, dia sudah mengurus keperluan ayahku dengan selayaknya.
" Jangan lupa janji kita pada papa, Dya. Ibu mohon, " ibu tiriku memelukku sambil menangis. Ku elus belakangnya tanpa mengucapkan kata apa-apa. Aku percaya hanya waktu dan hati yang dapat menentukannya.
Vote dan komen.
Selamat membaca.Tbc.....
YOU ARE READING
My Love Story ✔️
Storie d'amoreAku seorang gadis biasa-biasa saja. Aku tidak cantik, cukup sedap mata memandang. Tubuh comel ( kecil dan rendah), kulit sawo matang dan agak pendiam, sudah tentu aku bukan idaman para lelaki. Aku tidak mengimpikan jatuh cinta, namun takdirku sudah...