Part 20

3.7K 91 15
                                    

Tempat terindahku adalah dalam pelukanmu.

Kami berempat tiba di rumah yang kini dihuni ibu tiriku dan Natasha. Pak Su, Mak Su serta ibu tiriku sudah duduk  di ruang tamu menyambut kedatangan kami.

Aku ingin beredar ke bilik tidurku untuk berehat seketika kerana kepalaku berasa pusing. Tubuh juga terasa lemah kerana sepanjang perjalanan tadi entah berapa kali aku muntah. Saat ini rasanya tiada lagi makanan yang tersisa di dalam perutku.

"Dya, duduk sekali di sini! " arah Pak Su dengan suara sedikit keras. Meski perkara yang paling kuinginkan saat ini adalah berbaring di atas tilam empuk di bilik tidurku, namun aku malas membantah arahan Pak Su.

"Duduk di sini, sayang," Deen menepuk sofa di sebelahnya. Mata Pak Su menatap Deen dengan tatapan tidak mesra sama sekali.

" Tenang, sayang. Semuanya akan baik-baik saja, " Deen berbisik di telingaku. Tangannya yang terasa sejuk menggenggam jemariku yang juga sejuk. Aku mengangguk walaupun dalam hati aku merasa risau andai semuanya tidak berjalan seperti yang dirancang.

Keadaan hening seketika hinggalah ayah Deen membuka bicara. Begitu tenang dan lancar ayah Deen menyatakan tujuan kedatangan mereka.

" Saya hanya meminta Dya menjadi menantu kami secepatnya. Kalau tiada halangan di pihak Dya, dalam masa dua minggu lagi bolehlah mereka menikah," ayah Deen selesai berbicara namun Pak Su masih tidak menyahut.

" Kamu mencintai lelaki ini, Dya?" setelah lama mendiamkan diri, akhirnya Pak Su bersuara.

" Iya, Pak Su, " jawabku pendek.

" Kamu mahu menikah dengannya? " Ya, Tuhan! Ini perbincangan atau temuduga? Namun aku tetap menganggukkan kepala.

" Jadi bagaimana dengan rancangan pernikahan kamu dengan Jacob, Dya?" pertanyaan yang aku takuti akhirnya muncul juga. Semakin berdenyut kepalaku mendengar pertanyaan itu.

"Siapa Jacob, Dya?" Ibu Deen bertanya. Wajahnya terlihat tidak senang ketika Pak Su menanyakan hubunganku dengan lelaki itu.

"Jacob cuma teman Dya, ma," Deen menjawab bagi pihakku.

"Bukan hanya teman," satu suara menerjah gegendang telingaku. Jacob yang entah muncul dari mana tiba-tiba masuk campur dalam perbincangan itu. Mataku yang mula berkabut masih dapat melihat dia menyeringai. Benar-benar seperti rupa Diego dalam cerita Ice Age yang kutonton beberapa malam lalu.

Jacob menuju ke ruang tamu dan duduk di sebelah Pak Su.

"Saya dan Dya akan menikah, pak cik, mak cik," tutur Jacob dengan bangga. Ayah dan ibu Deen terdiam dengan wajah merah. Mungkin menahan malu atau mungkin juga menahan marah, aku tidak tahu.

Aku bergerak rapat pada Deen. Aku mengeratkan tautan tangan kami. Begitu juga Deen. Sebelah tangannya sudah terkepal erat. Aku tahu dia sedang menahan kemarahannya.

"Apapun yang terjadi, jangan lepaskan tanganku, Deen," kataku perlahan.

"Tidak akan, sayang," aku tahu Jacob tidak akan mudah menyerah. Begitu juga aku. Apapun keputusan Pak Su, aku tetap akan menikah dengan Raydeen.

"Saya tak faham apa sebenarnya yang terjadi. Anak saya dan Dya merancang untuk menikah. Tetapi lelaki ini mengatakan dia akan menikahi bakal menantu saya." Bakal ibu mertuaku bersuara lantang. Tidak pernah aku melihat wanita lembut sepertinya setegang itu.

" Sebenarnya begini, kak. Sebelum ini, Dya memang mencintai Jacob. Tapi keluarga Jacob memintanya menikahi anak saya, Natasha. Sayangnya, Jacob juga sebenarnya mencintai Dya, hingga dia membatalkan pernikahannya dengan anak saya," ibu tiriku yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, akhirnya bersuara.

Semua yang ada di ruang tamu itu terdiam dan masing-masing menatapku.  Seolah-olah baru tahu bahawa akulah penyebab pernikahan Jacob dan Natasha dibatalkan.

" Dan sebelum papa Dya meninggal, dia meminta saya agar menikahkan Dya dengan Jacob." Bala. Mengapa wanita ini perlu mengungkit soal itu.

" Dya mencintai Deen, Pak Su. Dya hanya akan menikah dengan Deen. Dya tidak mahu menikah dengan Jacob. Titik," ucapku. Tidak lagi aku memikirkan harus berbahasa dengan lembut.

" Ini permintaan papa kamu, Dya. Jadi, mahu tidak mahu kamu harus menikah dengan Jacob," jika Pak Su ibarat seorang hakim, maka dia sudah mengetuk tukul menandakan keputusannya sudah muktamat.

Aku memandang bakal ibu mertuaku. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku teka. Ayah Raydeen hanya terdiam tanpa kata. Dia mengeluarkan kunci kereta dari saku seluarnya dan menarik tangan isterinya.

"Kita pulang," katanya. Ibu Deen hanya menurut. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku ingin meminta maaf dan memohon pada mereka agar berkeras supaya aku menjadi menantu mereka. Namun, riak kecewa pada wajah mereka membuat aku kehilangan kata-kata.

"Pulang, Raydeen, " kata ibu Deen sebelum melangkah menghampiri pintu utama. Wanita itu tidak lagi mahu melihat wajahku.

Aku memeluk tubuh Raydeen. Biarkan apa keputusan Pak Su. Biarkan apa kemahuan Jacob. Tidak peduli apa tanggapan bakal ibu dan ayah mertuaku. Aku hanya perlukan Raydeen untuk menguatkan semangatku.

"Jangan tinggalkan aku," pintaku. Aku memeluk tubuh Raydeen kian erat.    Namun peliknya dia tidak membalas pelukanku. Malah jemarinya yang tadi menggenggam jemariku erat, kini aku merasakan genggaman itu kian longgar.

"Deen..." aku mendongak memandangnya. Kulihat hidung dan matanya merah. Dia menatapku.

"Kamu sudah mendengar apa kata Pak Su, Dya. Kamu tetap harus menikah dengan Jacob," kata-kata itu punya maksud khusus. Deen menyerah. Dia menyerahkan aku dan bayi kami kepada lelaki yang tidak akan pernah aku cintai lagi.

"Kamu putus asa, Deen? Kamu menyerah?"

"Dengar, sayang. Permintaan terakhir ayahmu adalah agar kamu dan Jacob menikah. Dan orang tuamu sudah memutuskan agar kamu harus menikah dengan Jacob, bukan dengan aku," air mataku menitis mendengar kata-katanya.

Raydeen lupa apa yang aku minta kepadanya beberapa minit yang lalu. Aku memohon agar dia tidak melepaskan tanganku walau apapun yang terjadi. Hakikatnya hanya kerana kata-kata itu, dia akan meninggalkan aku dan bayi di dalam kandunganku.

"Kamu akan meninggalkan aku, Deen?" aku menggoncang tubuhnya.

"Kamu akan dapat melupakan aku, Dya. Jacob akan membuatmu melupakan aku," katanya.

"Selamat tinggal, sayang. Jangan menangis . Aku akan selalu mendoakan semoga kamu berbahagia," dia mengucup dahiku. Raydeen melangkah pergi.

"Raydeen," panggilanku membuat langkahnya terhenti. Aku berjalan mendekatinya. Hingga tika berada di hadapannya, ku ambil satu tangannya dan kesentuhkan tangan itu pada perutku.

Aku mahu bayiku merasa sentuhan ayahnya. Mungkin setelah ini bayiku tidak lagi berpeluang untuk merasa sentuhan dan belaian ayah kandungnya.

"Selamat tinggal, Raydeen. Semoga kamu sentiasa berbahagia," ku kucup tangannya.

Lihatlah, mungkin kerana aku tidak cantik maka Raydeen tidak mahu memperjuangkan aku. Andai aku cantik, aku pasti dia tidak akan mudah menyerahkan aku pada Jacob.

Kereta Raydeen sudah bergerak perlahan meninggalkan perkarangan rumahku. Aku menahan rasa sakit yang terasa menusuk begitu dalam. Senyuman kemenangan Jacob serta bicara mereka di ruang tamu itu membuat pandanganku berpinar. Aku mempercepatkan langkah menuju ke bilik tidurku.

Vote & komen.
Selamat membaca.

Tbc....

My Love Story ✔️Where stories live. Discover now