ROGER
Jangan salahkan, jika aku menduakanmu ....
*****
Proyek sialan itu selesai juga. Tiga tahun mencurahkan waktu untuk menyelesaikan kota mandiri Serpong tak memberi paru-paru kesempatan menikmati udara tanpa polusi. Tuntutan pemegang saham utama yang belum puas menumpuk harta itu amatlah kejam. Tak berhenti sebelum melihat putranya terkapar mungkin.
Wajarlah hari ini aku ingin melepas segala kepenatan. Bukan di rumah, tetapi nun jauh di sana. Tak mungkin juga ada ketenangan di bangunan megah itu karena ratunya sedang sibuk menghamburkan limpahan harta.
Ya, wanitaku entah ada di mana sekarang? Dengan siapa dan sedang apa?
Lupakan!
Hamparan kebun teh di puncak, Kabupaten Bogor memancing mata yang telah menyipit ini untuk membulat kembali. Lereng-lereng yang mengular dilewati oleh mobil sport merah ini. Jalur buka tutup membuat perjalanan dua kali lipat dari seharusnya.
Turun dari mobil disambut sejuknya udara puncak. Kulilitkan syal untuk menahan laju udara yang cukup menggigilkan tubuh. Menapaki lantai kayu yang suhunya terbawa kondisi sekitar, dingin.
Lelaki paruh baya menyambut dengan logat khas sunda. Tangannya di arahkan ke dalam ruangan yang tak banyak memuat barang-barang.
Villa yang baru kujejak lagi ini tak banyak berubah. Sofa yang sama dengan lampu hias besar di atasnya. Tak ada hiasan dinding apapun di sana.
Merebahkan raga di atas pembaringan king size ini entah mengapa begitu nikmat. Sekejap, mataku tak sanggup lagi untuk terbuka.
***
Sudah berapa lama aku tidur? Tak penting juga mencari jawabannya. Yang pasti tubuh ini tak seperti saat datang.
Niat kembali memejamkan mata, urung kala suara-suara perut mulai berisik. Dengan tenaga yang belum pulih seutuhnya, aku bangun. Tak memedulikan penampilan kacau saat ini, melangkah menuju ruang makan untuk mencari sesuatu yang bisa menghentikan nyanyian lambung.
Kilau keemasan yang menerobos kaca-kaca ruangan baru menyadarkanku bahwa hari telah beranjak tua ternyata. Suasana yang jauh dari kata ramai membuat nyaman tubuh ini bermain di alam mimpi.
Hampir saja air liur menetes melihat sajian di atas meja kayu mahoni berbentuk bulat. Satu dua suap mampu menciptakan sensasi luar biasa di lidah. Hanya saja, pada suapan ketujuh, sayup terdengar suara perbincangan di teras depan Villa.
Suara mendayu-dayu itu memancing keingintahuan lebih jauh akan pemiliknya. Piring yang belum kosong itu harus rela diabaikan demi mencari sumber suara.
Dari balik jendela terlihat penjaga villa tadi berbincang dengan seorang gadis belia, anaknya mungkin. Tubuhnya tertutup rapat dengan pakaian longgar. Kepala hingga dada dibalut kain merah muda yang pas sekali melekat di wajah oval itu.
Cantik.
Pipi itu makin menawan kala kilau jingga menerpa. Bibir sensualnya sesekali melengkung membuat deru napasku mulai tak tentu.
Entah, terpesona atau terobsesi pada sesuatu yang tak tersalurkan dengan sempurna. Sejak Arsela memutuskan pisah ranjang denganku.
"Maaf, Juragan saya pamit. Kalau ada yang diperlukan jangan sungkan. Rumah saya tak jauh dari sini."
Ucapan Pak Anang mengembalikan angan liarku seketika. Satu anggukan cukup membuatnya memahami bahwa diperbolehkan undur diri.
Tak bisa kukedipkan mata sampai gadis belia itu menghilang bersama bapak penjaga villa.
Kini, hanya aku di sini. Namun, tak sepi sebab bayang indah itu mulai mengiring hingga esok pagi, mungkin.
Ah, sial! Otakku mulai gila.
Selera makan lenyap entah ke mana, berganti sesuatu yang meminta pelampiasan.
Shit!
***
Hai, dia datang lagi. Kuletakkan ponsel hitam lima inchi yang sedari tadi diotak-atik. Berlari kecil menuruni tangga agar bisa melihatnya. Melihat dia yang bayangnya menemani semalam.
Tertahan langkah di sepertiga jalan menuju pintu utama yang terbuka. Dia menyodorkan sekantung plastik putih pada Pak Anang, la meraih tangan besar itu dan menciumnya takjim, lalu pergi.
Segera kubalikkan badan sebelum Pak Anang sadar ada yang memperhatikan di sini. Mengenyakkan tubuh di sofa hijau bermotif putih itu tepat sekali. Menyulut rokok yang sengaja diletakkan di meja kaca persegi sambil menanti pria yang segera masuk.
"Ada tamu, Pak?"
"Oh, eh. Tidak ada Juragan. Tadi itu putri saya mengantar ikan basah ini."
Pria itu hampir melompat saat kutanya tiba-tiba. Untung saja kantung putih itu tak jatuh.
"Masih sekolah?"
"Baru lulus, Juragan."
"Punya calon suami?"
Pak Anang memberanikan diri menatapku, lalu menunduk tak sanggup beradu dengan sorot elang ini.
"Tidak, Juragan."
Tak terasa bibirku terangkat lebar, sedang wajah pria berambut ikal itu memasang raut keheranan.
Baguslah, jalanku untuk mendapatkannya telah terbuka.
Dan, aku tak mau menunda waktu. Gejolak yang lama tertahan makin meronta tak karuan. Butuh segera disalurkan.
Setelah mendapat uang tunai dari dalam jumlah fantastis, kupanggil pria berperut besar itu di waktu matahari mulai tergelincir.
"Saya bermaksud menikahi putri Bapak."
Sudah kusangka, reaksinya akan begitu. Posisi duduk pria itu berubah, badannya disorongkan ke depan. Mata itu bergerak-gerak meminta penjelasan maksud ucapan spektakuler itu.
"Apa ini cukup?"
Mata yang tak bulat itu terbuka lebar melihat tumpukan lembaran merah yang kusodorkan. Dua ratus juta lebih dari cukup bagi manusia yang penghasilannya hanya untuk kepulan dapur.
Diusap lembaran yang masih keras itu, serta wangi khas uang baru, lalu kembali diarahkan pandangannya padaku.
"Pernikahannya sirri karena aku sudah memiliki istri."
Perlu kusampaikan terus terang agar tak ada harapan lebih besar. Tenang saja anaknya kunikahi bukan dijadikan simpanan.
Sejenak kami terjeda keheningan. Dia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas lutut yang tertutup celana lusuh. Jari itu lantas berpindah pada dagu dan bibirnya.
"Setelah pernikahan terjadi, saya akan tambah dua kali lipat dari itu."
Untuk kedua kali mata itu terbelalak. Wajah yang berbinar itu makin semringah. Tanpa sungkan dicium lembar-lembar merah yang kini ada di pangkuannya.
Setelah puas menggilai uang, calon mertuaku bicara, "Tiga hari lagi saya akan menikahkan Anda dengan Safna."
Malang sekali gadis itu memiliki ayah yang menukar hidupnya dengan rupiah tanpa peduli bagaimana nasibnya ke depan di tanganku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/Kolaborasi
RomanceSafna, gadis kampung yang dipaksa menikah oleh ayahnya dengan konglomerat muda Dia harus rela jadi istri kedua dan rahasia. Segala harapan untuk bersanding dengan pemuda yang dicintai hancur sejak akad nikah diikrarkan. Kini, hidupnya berada dalam...