5

5.7K 275 4
                                    

ARSELA

Jika ditanya pernah bahagia hidup dengan orang yang tak dicintai? Pernah.

Aku pernah merasakan kebahagiaan itu. Namun, semua lenyap entah ke mana. Di awal pernikahan, aku memposisikan diri menjadi istri yang baik, menerima kekurangan dan kelebihan pria yang telah sah menjadi suami. .

Kini, semua menghilang ... melebur seiring berjalannya waktu. Bahkan, hanya kehampaan memuakkan yang melingkupi hidup ini.

Tak ada lagi tampang dengan senyum manis itu. Dia terlalu disibukan dengan segudang pekerjaan. Pergi pagi, pulang tengah malam. Rentetan meeting, tumpukan berkas, deretan file adalah alasan yang selalu dikemukakan.

Waktu untukku seakan tak tersisa. Bahkan, hampir habis sama sekali. Jangankan memberi kabar, pulang keperaduan sendiri saja seakan lupa. Malah diri ini tak pernah lagi terjamah hangatnya sentuhan.

Berbaur dengan sekelompok wanita sosialita terglamor di kelasnya adalah kesenangan saat ini. Tak sembarang sebab mereka harus memiliki kehidupan satu kasta denganku. Mencari kesenangan tiada batas, sekedar mengusir sepi dan mereguk kebahagiaan semu.

Sang mantan kekasih, kerap kali mengajak bertemu, mencari tahu kehidupan Roger. Dia adalah Bram orang yang tak pernah menyerah, meski dia tahu, statusku kini sebagai istri orang.

***

Telingaku menangkap deru mobil yang sangat kukenal memasuki halaman rumah megah ini. Aku beranjak mendekati  jendela, mengintip dari baliknya. Mobil sport milik lelaki itu pastilah sudah terparkir di bagian depan mansion ini. Huh, ahirnya dia pulang juga.

Tapi, untuk apa dia pulang? Bukankah ada dan tiadanya sama saja? Dingin!

Cih, lelaki angkuh! Sampai kapan aku harus melihat sosok tanpa ekspresi itu. Yang hanya untuk menyapa saja adalah kemustahilan.

Lalu, untuk apa aku bertahan? Ya, ya, ya hanya demi tumpukan kekayaan tanpa tanding dua keluarga durjana. Aku adalah putri yang diumpankan pada putra mahkota kerajaan tetangga,. Dan parahnya aku tak bisa membantah.

Bodoh memang!

Aku akui diri ini memang wanita terbodoh di dunia. Menerima pernikahan yang dipaksakan. Hingga harus hidup dalam topeng keharmonisan. Mesra di depan khalayak, saling memalingkan wajah dalam realita sesungguhnya.

Aku kembali menghempaskan badan di atas ranjang, tak ada keinginan menyambut kedatangan lelaki itu. Biar, biar saja ia dengan kelelahannya, sedang aku cukup menikmati hari.

Oh, ya. Sampai terlupa. Bukankah aku mau berenang tadi. Ah, sial kenapa pula sampai tertunda.

Dasar kamu Arsela!

Aku bangkit dari rebahan, lalu menaruh ponsel di nakas. Aku bermaksud meneruskan rencana, mendinginkan otak, merilekskan tubuh di kolam besar lantai satu mansion ini

Sialan! Kupikir ia sudah masuk ke kamar. Nyatanya malah baru menaiki tangga. Malaslah harus berhadapan dengan tampang yang tak pernah ada lengkungan di dua sudut bibirnya.

Tatapan bertemu sekilas, selebihnya saling membuang muka. Melangkah berlawanan arah, bahu hampir bersentuhan kala sama-sama berada di posisi undukan kelima.

Berlalu, tanpa tegur sapa. Seolah tak pernah saling mengenal.
Tapi, tunggu! Wajah tampan berahang tegas itu terlihat cerah, tak seperti biasa jika pulang ke rumah ini, selalu masam. Kilat bahagia di mata elangnya tertangkap sudut netraku.

Ah, apa peduliku?

***

Aah, selepas berenang badan ini lebih segar. Itu sangat membantu untuk tak tersulut emosi melihat kedatangan lelaki itu.

Aku mengikat tali kimono, mengibas rambut basah usai berenang. Sebelum kembali ke kamar, Kuteguk dulu minuman hangat yang disajikan pelayan. Lepas itu seger abernajak menuju ke tempat pribadi.

Kulihat Roger saat melintasi kamarnya, pintu sedikit terbuka. Bahu yang semakin kekar, dengan perut sixpack tak sengaja tertangkap netra saat ia berganti pakaian. Jujur sesuatu di sudut hatiku merindu tubuh itu. Namun, cepat kutepis hingga angan liar tak perlu menghajar logika.

***

"Nyonya, makanan sudah siap dihilangkan!"

Pukul delapan malam, terdengar panggilan dari Bi Inah, kepala pembantu rumah yang mirip istana ini. Karena aku belum menyahut ia mengulangi informasi tersebut.

"Iya, Bi. Aku turun!"

Aku keluar dari kamar menuju ruang makan, tak lama disusul oleh Roger. Dia mengenakan pakaian rumah, celana pendek berbahan jeans dan kaos oblong yang mencetak otot dada. Kutelan saliva sekali ini.

Roger mengambil duduk tepat di hadapanku. Ia hanya melirik sekilas, lantas sibuk memenuhi piringnya dengan makanan. Menit berikutnya Hening, suasana yang tercipta.

Irama sendok dan garpu yang beradu di piring, menjadi simfoni sumbang pengiring santap malam. Muak dengan keadaan ini, aku menyambar serbet, mengelap mulut. Melemparnya kembali ke meja.

Kutinggalkan lelaki itu sendiri di sana untuk kembali ke kamar. Aku mengempaskan tubuh di atas pembaringan, merajut mimpi hingga mentari pagi menjemput.

Sepanjang hari ini Roger berada di rumah, hanya bertemu ketika makan, berpapasan saat berjalan. Begitulah seterusnya.

Muak ... aku muak dengan keadaan ini. Seandainya, perjodohan itu tak ada. Mungkin aku telah bahagia bersama kekasihku—Bram.

Bram? Apa kabarnya, dia? Sebulan pergi, belum juga kembali.

Apa dia tak rindu permainanku?

Lelaki tampan yang sudah lima tahun mengisi palung hati. Jalinan cinta kami tak berakhir dengan perubahan statusku sebagai nyonya Alvendo. Perhatiannya selalu ada untukku. Dia tak pernah lelah mengejar dan menggodaku.

ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/KolaborasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang