7

1.2K 71 0
                                    

SAFNA

Inikah garis takdirku? Menjadi pemuas napsu dia yang bergelimang harta? Menjalani hari hingga minggu dalam rutinitas sama, pelayan ranjang sang tuan.

Airmata telah habis seiring kepasrahanku akan takdir yang digariskan menjadi istri rahasia tuan. Melaksanakan semua maunya, tanpa bantahan.

Rasaku, lelahku, bahagiaku, pedihku bukanlah pertimbangan. Semua harus berjalan seperti yang ia inginkan.

Seminggu berjalan aku mulai beradaptasi dengan kehidupan baru ini. Hanya saja untuk menikmati sepertinya belum terjadi.

Hari ini tuan akan pulang dan entah kapan kembali. Sebelum keberangkatannya kami sarapan terakhir kali. Meski tetap tanpa obrolan, suasana tak lagi mencekam seperti sebelumnya.

Sesekali pandangan kami bertemu, lepas itu selalu aku yang tertunduk malu. Kadang jari kami bersentuhan, aliran hangat langsung menjalari raga. Kubiarkan tuan meremasnya hingga ia yang melepaskan.

Aku mengantarnya hingga sampai di depan sedan hitam yang pasti sangat mahal harganya. Sisi hatiku bahagia sebab akan terlepas dari sangkar emas ini. Meski kuyakin ia akan datang lagi, tak terlalu kupikirkan. Yang penting terhindar darinya sementara waktu.

Hatiku bersorak kala tuan mengabulkan permohonan untuk bertemu abah dan emak.

Lepas kepergian tuan, aku bersegera pergi ke rumah Abah dan Emak. Jaraknya hanya lima ratus meter saja.

Kukuatkan hati kala kaki menapaki jalanan desa. Sebisa mungkin tak lirik sana-sini. Kekhawatiran amat besar akan cibiran orang bahwa aku adalah wanita simpanan.

Tetap saja ada nyeri di dada ini kala di beberapa tempat melihat para wanita berbisik-bisik. Mereka sesekali melihat padaku, lalu tertawa perlahan. Duh, biarlah Allah yang mengangkat kembali namaku.

Sesampainya di rumah, Emak semringah menyambutku, begitu juga abah. Namun, tetap ada raut kekecewaan kala tahu aku datang sendiri.

Emak terlihat semakin cantik di usia jelang senja. Mungkin itu disebabkan perhiasan dan pakaian bagus yang dikenakan. Ditambah wajah dan tubuh yang dipulas kosmetik mahal sepertinya.

Mataku beralih memonitor seisi ruangan, banyak yang berubah dalam rumah ini. Sofa lapuk dan bolong sana-sini menjadi sofa beludru berukuran lebih tinggi, lemari besar berkaca full lengkap dengan perabotan serba mewah juga terpajang di ruangan.

"Bagaimana keadaanmu, Neng? Kamu bahagia kan sama Juragan?" tanya Emak menginterupsi kekagumanku akan isi ruangan yang sangat berbeda dari beberapa hari lalu.

Aku hanya tersenyum merespon pertanyaan emak. Menunduk menatap jari yang sedang kupermainkan.

"Nanti juga kamu terbiasa, Neng. Nikmati saja kehidupan barumu, siapa tahu ke depannya Juragan Roger benar-benar memilih kamu dan menceraikan istri pertamanya. Betul kan, Bah?" lanjut emak.

Abah mengangguk mantap, mengiyakan setiap ucapan Emak yang tak lebih seperti ujung pisau mengorek luka yang sudah bernanah.

"Kamu harus melayani Juragan dengan baik, Neng. Jangan sampai mengecewakan orang tuamu ini. Kamu gak mau kan, Emak sama Abah sampai hidup melarat?" tekan abah.

Pemaparan itu kian menambah jiwa raga ini ditenggelamkan dalam lautan duka. Tak ada pembelaan yang kulontarkan, percuma toh tidak akan mengubah bubur kembali menjadi nasi.

Aku memasuki kamar, berbagi rindu dengan ruangan penuh kenangan. Tangan ini meraih foto yang teronggok di meja. Jemarinya mengusap wajah tampan yang selalu tersenyum membawa kedamaian.

Rey, aku rindu kamu.

Aku mendekap erat bingkai foto itu, tetes demi tetes meluruh sebagai luapan emosi kepedihan.

"Untuk apa kamu peluk-peluk foto si Rey, ah?" hardik Abah. Lelaki  yang baru saja masuk kamar merebut kasar bingkai foto yang kudekap.

"Aduh, Neng. Kamu ini gimana, sih. Jangan ingat-ingat lagi si Rey. Kamu udah jadi istrinya Juragan, ingat itu!" bentak Emak.

Makian demi makian yang kemudian mereka lontarkan bagai tusukan pedang di atas luka yang belum sembuh sempurna.

Abah naik darah hingga bingkai itu dibanting. Aku memekik, mulut menganga melihat kepingan benda itu berserakan seperti hatiku kini.

"Mak, semua barang pemberian si Rey, keluarkan, bakar sekalian!" perintah abah. Amarahnya  meledak-ledak, serupa gunung memuntahkan lahar panas.

Emak langsung menuruti perintah abah. Barang yang bersangkutan dengan Reyhan dikumpulkan jadi satu. Aku mencoba meraupnya. Namun, abah menahan tubuh ini.

"Emak, jangan, Mak!" jeritku.

Aku meronta dari cengkraman abah, meraung histeris. Berusaha mengejar emak yang membawa semua barang pemberian Reyhan. Abah mendorong tubuhku, lalu mengunci pintu, membiarkan histeris di dalam kamar sambil menggedor tiada henti.

"Abah ... buka pintunya, kumohon! Emak jangan dibakar barang-barang dari Rey ...." Teriakan dan tangisku sama sekali tak meluluhkan hati keras mereka.

Aku bersimpuh di atas lantai bersandar pada pintu, gedoran semakin melemah. Satu jam terkukung di kamar meratapi kesakitan, ditemani rinai bening yang berhamburan tiada henti.

Maafkan aku Rey, entah bagaimana nanti menghadapimu. Kau pasti membenciku.

***

ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/KolaborasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang