3

6.6K 267 2
                                    

Akad nikah yang dipaksakan atas diri ini pun tiba. Air mata enggan berhenti dari muaranya. Pernikahan ini tak lebih menyakitkan dari apa pun. Entah akan dibawa ke mana nasibku.

Aku didandani bak putri raja. Polesan wajah tak mampu dihapus oleh air mata.
Gaun putih yang di permukaannya terhampar kilauan mutiara kini membalut tubuhku. Kerudung berhiaskan  juntaian bunga melati memadunya.

‘Cantik’ berulang Emak memujiku. Benarkah sememesona itu diriku? Inikah alasan Tuan menyanding diri ini.

Aku terduduk di ranjang yang kemarin baru saja diganti. Memakai uang penjualan hidupku pasti. Kembali, rinai ini runtuh. Semalang inikah nasibku?

Terdengar suara sahutan kata 'Sah' menandakan jiwa raga ini mutlak dimiliki pria konglomerat itu. Dia yang telah menjejalkan uang pada Abah. Berakhir sudah segala asa yang kurenda bersama sosok yang kupuja.

Emak memboyongku ke tempat akad berlangsung. Aku hanya pasrah, tanpa mampu mencegah. Mungkin bagaimanapun juga inilah nasib Safna. Hanya harus menurut, bukan menentukan pilihan.

Saat tirai tersibak, netra ini beradu dengan sorot elang itu. Tubuh yang tengah bergetar, makin gemetar. Dia yang memandangku tanpa kedipan itukah suamiku? Lelaki berharta yang dengan mudahnya membeli seorang Safna.

Aku duduk di hadapan pria yang kini berstatus suami. Seseorang yang paling berhak atas segala tentangku. Cincin berlian tersemat di jari ini sebagai simbol terhalang semua pria selain dia. Kucium tangan kekar yang kelak di situlah hidup bergantung.

Meskipun sekedar akad, Abah dan emak mengundang hampir seluruh penduduk kampung. Mereka diminta datang untuk menyaksikan ijab qobul. Tentulah untuk pamer menantu yang tak tertandingi siapa pun. Konglomerat muda nan rupawan.

Dengan pongahnya, Abah menobatkan diri sebagai juragan baru di kampung. Tak segan menegur tamu yang pernah memandang sepele. Emak tak mau kalah, dipamerkan benda berkilau kuning yang menghias kecantikan, tak ubahnya toko mas berjalan.

Jiwaku semakin dibelenggu kegetiran dan kemirisan atas apa yang kedua orang tuaku lakukan. Mereka tak ubahnya penindas kebahagiaan putri sematang wayangnya.

Tak ada seulas senyum pun kusunggingkan selama acara berlangsung. Bagaimana mampu tampil ceria, sementara hati terluka? Bahkan yang ada air mata ini kerap berjatuhan. Lalu, kuseka agar tak tampak ke permukaan.

Malam ini juga, aku langsung diboyong ke villa oleh Tuan Roger. Enggan sebenarnya, apa daya, aku telah dibelinya dengan satu kata 'Sah.' Ikrar itu telah menjadikanku tak memiliki kuasa untuk menolak.

"Kamarmu di sebelah sana, masuklah!" perintahnya dengan suara tanpa irama.

Tanpa kata, aku melangkah menuju kamar yang ditunjuk Sang Tuan. Mata ini seakan tersandera dengan tataan mewah yang entah kapan dirancangnya. Ah, aku baru ingat, mungkin wanita yang meriasku.

Kasur putih bertabur kelopak mawar itu mendorong hasratku untuk merebahkan diri di sana. Namun, langkah tertahan kala teringat aku tak hanya tidur sendiri malam ini. Bergetar seketika tubuh ini, lutut pun ikut melemas.

Apa ada jalan lari dari kenyataan mengerikan ini? Ah, sudahlah, sebaiknya aku segera menghadap Allah sebab sayup azan terdengar dari tenggara.

Aku melipat peralatan salat, usai memasrahkan diri pada Pemilik Kehidupan. Entah bagaimana nasibku ke depan.

Malam kian dituangi kepekatan. Suara binatang malam bersahutan seirama degup jantung yang mulai menabuhkan genderang.

Aku duduk tepekur di atas tempat tidur dengan tangan memeluk kaki yang ditekuk. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Kantuk pun seakan enggan menghampiri.

Dada bergemuruh hebat, saat pintu jati itu terbuka. Sosok tampan dengan perawakan tegap menghampiri. Tiap ayunan langkahnya serupa gempa yang mengguncangkan seluruh jiwa.

Tuan Roger duduk di hadapanku, menatap tanpa kedipan. Dada yang terbuka itu tampak turun naik. Menahan hasrat yang menggila.

Kugigit bibir bawah menguar rasa gugup. Meremas jemari yang dirasa lengket oleh keringat.

"Jangan takut," desisnya. Tangan itu menyentuh dagu, wajahnya mendekat hingga tak berjarak.

“Sa ….”

Ucapanku dihentikan sentuhan bibirnya. Mata ini mendelik memandang wajah tanpa jarak.

Air mata mengucur deras. Ini adalah ungkapan permohonan agar malam ini Tuan berbelas kasih tidak melakukan apapun atas diriku. Namun, tangan kekar itu mulai melepas apa yang kukenakan. Seakan tidak sabar ingin segera meneguk manisnya madu malam pertama.

*

ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/KolaborasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang