2

6.9K 277 0
                                    

SAFNA

Aku merebahkan tubuh di kasur kapuk yang telah melapuk. Melepaskan penat setelah seharian membantu emak di dapur dan membereskan rumah.

Membuka aplikasi dalam ponsel pemberian Reyhan. Ah, mengingat namanya ada rindu yang menyeruak. Bagaimana kabarmu, Rey?

"Neng, sini!"

Belum sempat mengecek pesan, Suara emak nyaring menembus gendang telinga. Beringsut dari ranjang, menapaki lantai yang belum dikeramik ini.

Abah sudah pulang. Di atas meja teronggok koper hitam berukuran sedang dalam keadaan tertutup rapat. Apa isinya?

"Sini duduk, Neng!" Abah menepuk sofa tua untukku duduk.

Wajah Abah dan Emak terlihat semringah tak biasa, menimbulkan tanda tanya di benakku.

"Neng, ada yang melamar kamu," kata Emak, kilat bahagia jelas di matanya. Aku terkesiap.

"Iya, Neng. Dia Juragan yang memiliki villa tempat Abah bekerja." Abah tak kalah gembira, bahkan lebih antusias dari emak.

Ucapan Emak dan Abah sukses membuat dada berdebar hebat. Aku menunduk, memejamkan mata sesaat. Teringat Reyhan, janji suci saling setia telah diikrarkan, haruskah kulanggar demi memenuhi keinginan mereka.

"Tapi, Bah, Emak. Neng mencintai Reyhan."

Memberanikan diri mengungkapkan keberatan secara tidak langsung.

"Alaaah, si Reyhan apa yang mesti dibanggakan, Neng. Anak kuliahan mah kere!" ejek Emak sambil mencebikan bibirnya.

"Kami saling mencintai, Mak. Reyhan janji akan menikahi Neng setelah wisuda nanti!" berlaku. Teremas hati ini mendengar hinaan emak untuk pria yang bertahta penuh di hati ini.

"Pokoknya, Abah tidak mau tahu. Si Reyhan anggap saja tidak ada. Pernikahan ini akan segera dilaksanakan tiga hari lagi, titik!" tegas abah. Suara Abah mulai meninggi. Rahangnya terlihat mengeras.

Bagai disambar petir di siang bolong, aku terlonjak mendengar kalimat terakhir abah. Tiga hari lagi?

Tuhan, bagaimana bisa mereka begitu mudah mengambil keputusan tanpa merasakan ada yang hancur di dalam sini.

"Tapi, Abah ... bagaimana bisa secepat itu?" tanyaku keheranan.

"Kenapa tidak! Lihat ini, dengan uang ini, segalanya bakal mudah!" tukas Abah. Koper dibuka kasar, seketika mataku terbelalak sempurna menatap tumpukan uang yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Ma-maksud Abah. Neng dijual?" tanyaku denagn suara terbanyak bata-bata. Genangan air mata yang sekuat tenaga kutahan, luruh jua.

Setega itukah mereka? Sesuatu di rongga dada yang telah berakar dicabut paksa hingga terlepas dan berdarah, menyisakan lobang menganga.

"Bukan dijual, Neng. Pokoknya kamu tidak perlu tahu. Tiga hari lagi Juragan Roger akan menikahimu!" jelas abah. Ia tak peduli dengan pertanyaanku.

Tak kuat lagi menahan nyeri atas apa yang diperbuat Abah. Hancur berkeping impianku bersama Reyhan.

"Ini demi kebaikan kita semua, Neng. Lagi pula Juragan orangnya baik. Buktinya, dia memberi kita kekayaan. Ingat! Abah tidak mau lagi mendengar bantahan!" tegas abah sekali lagi

"Betul kata Abahmu, jangan tolak rejeki nomplok. Pamali!" timpal ambu. Ia tak kalah berbinar dari suaminya.

Mata semakin deras menumpahkan airnya. Berharap Abah dan Emak membatalkan niat gila menikahkanku dengan pria yang jelas tak kuketahui sosoknya. Jangankan kenal, melihat saja tak pernah.

"Kalau gak mau menikah sama Juragan Roger yang tampan dan masih muda, akan Abah nikahkan kamu sama Juragan empang bangkotan, mau?" hardik abah.

Ia  menggebrak meja, rahangnya kian mengeras. Ancamannya tak main-main sebab sudah berkali-kali juragan empang itu melamarku. Tu ubmu langsung menggigil membayangkan di snding leleki tua tersebut.

Aku menggeleng lemah, kekukuhan mereka membuat dada semakin berdenyut, tak ada lagi yang bisa kuajukan sebagai protes. Bahkan Reyhan, pria yang sudah mereka kenal, dianggap yang terbaik untuk pendampingku kelak, terhempas.

Selanjutnya abah menjelaskan bahwa pernikahan ini siri karena juragan telah memiliki istri. Tak sanggup lagi mendengar ucapan mereka, aku lari ke kamar, menumpahkan tangis pedih di atas kasur. Sedikitpun tak terbesit dalam angan menjadi istri rahasia seorang pria beristri.

Sakit nian Abah menghargai anak semata wayangnya dengan lembaran rupiah. Detak berharga ini kah diri ini? Yang tak kalah menyakiti jiwa adalah  terempasnya impian mahligai indah bersama pria yang kucinta.

Tangisku kian pilu, mendekap erat bingkai kayu berisikan foto pria yang telah mengikatku dalam cinta suci. Aku mengusap bibir yang tersenyum indah dalam bentuk potret dengan jari bergetar.

Tetes demi tetes rinai berjatuhan mengenai potret tepat di mata milik Reyhan. Maafkan aku, Rey. Aku tak kuasa menjaga janji kita untuk menunggumu hingga akhir masa.

Rey, maaf

***

ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/KolaborasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang