ROGER
"Apa kau gila? Bagaimana kalau Papi dan penyihir itu tahu kita berbohong soal kehamilan?" teriak Arsela saat baru saja kami sampai rumah.
Di ruang utama, Arsela mondar-mandir di hadapanku. Kedua tangannya tak mau diam. Kadang di simpan di pinggang, pindah dengan meletakkan jari di mulut atau kepala. Sementara aku duduk dengan menaikkan kaki kanan pada kaki kiri di sofa.
"Kalau kau mau membuatnya denganku malam ini dan malam-malam selanjutnya, semua bisa teratasi," jawabku santai. Kuembuskan asap rokok yang terakumulasi di mulut, meliuk-liuk menyebar, lalu hilang.
Arsela menghentikan gerakan tubuh, matanya terbuka lebar, lalu bibir berdecih. Jijjk mungkin.
"Kau pikir aku mesin pencetak anak? Aku ini istrimu bukan pemuas napsu! Kau pikir dengan pembelaanmu, aku akan berhutang budi? Jangan mimpi!" cela wanita angkuh itu.
Siapa juga yang mengganggapnya mesin pencetak anak apalagi pemuas napsu. Selalu begitu, padahal aku sudah menawarkan gencatan senjata dengan memintanya tidur bersama.
Dasar batu!
Delapan bulan aku bersabar menahan hasrat kelelakian, Apa masih kurang? Berkali-kali menawarkan perjanjian damai, mengemis minta hakku dipenuhi, percuma.
Kubiarkan wanita itu menaiki tangga menuju peraduan utama. Cukup sudah, aku takkan merendahkan harga diriku lagi padanya. Tak akan.
Sebaiknya aku beristirahat sebab esok waktunya menemui wanita keduaku, Safna. Entah mengapa hanya dengan mengingatnya hasrat ku langsung bergelora.
Sial! Aku masih harus menahannya sampai esok hari!
***
Perjalanan menuju Bogor rasa lama kali ini. Ketidaksabaran bertemu kekasih hati membuatku mengutuk kemacetan ini. Sesekali menekan klakson keras-keras. Aku tak peduli kalau pengemudi lain merasa terganggu. Kadang kupukul setir lala barisan panjang kendaraan ini tak kunjung terurai.
Seminggu rasa sewindu. Gelora ini terus merintih di siang dan malam-malam ku. Bukan, bukan hanya ingin memuaskan napsu. Namun, ingin jumpa dan menyulam kerinduan seorang pria di sisi wanitanya.
Aku rindu semua tentang Safna. Kalau boleh memilih, aku ingin bersamanya saja, dalam pelukannya. Tak harus kembali ke tempat yang berkali-kali menorehkan luka.
Tapi, itu mimpi.
Setelah dua setengah jam perjalanan, sampai juga di villa. Bangunan ini hanya sepersepuluh luasnya dari mansion yang didiami Arsela. Namun, temoat ini lebih alami. Kehijauan merata di sekelilingnya. Yang tak kalah nyaman adalah suhu sejuk hingga tak perlu pasang AC.
Sesaat kaki menjejak halaman, jantungku mendadak bertalu-talu. Ah, mengapa seperti remaja labil begini. Aku tertawa dalam hati dan merutuki keanehan dalam diri.
Dan, Safnaku ada di sini, di depanku. Tak bisa dibohongi ada kilatan rindu di matanya, juga mataku. Jika aku mampu mendengar degip jantungnya, pastilah sudah riuh tempat ini.
Sekilat kuraih tubuh ramping itu. Lalu, membenamkan wajahnya padaku. Perlahan aku merasakan tangannya melingkar di pinggang. Hmm, ia merespon pelukan dengan pelukan.
"Aku rindu," bisikku mesra. Ini bukan sandiwara, tapi memang ungkapan jiwa.
Eh, apa ini? Dia mengeratkan tangannya pada pinggangku. Dan, hhh seperti biasa kemejaku basah oleh cairan bening dari bola bening itu.
Hai, Sayangku. Mengapa saat bahagia pun kau harus menangis. Sedangkan itulah sumber air matamu?
Dasar cengeng!
Kutatap dalam-dalam bola bening yang dipenuhi kaca-kaca itu. Tak ada ketakutan di sana, hanya rindu, iya Safna merindukanku. Cinta pun mulai menampakkan dirinya. Benarkah semua ini, Sayang?
Baiklah, kita akan melepas kerinduan ini sekarang dalam peraduan cinta. Aku bsa mata jika menahannya lagi.
***
"Kita makan di luar saja, gantilah pakaianmu!" perintahku pada wanita muda paling lugu yang pernah kujumpa.
"I, iya, Tuan!" jawabnya denagn suara terbata.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala melihat sikap penurut wanita muda itu. Betapa kemudian muncul rasa senang dalam dada ketika dihargai sebagai pria.
Tak selang sepuluh menit, Safna keluar dengan gamis anggun yang sengaja Kubelikan. Itu untuk mengganti miliknya yang telah dibakar.
Ada kikuk saat tatap kekaguman ini melahap tiap inchi tubuh berbalut sutra ungu itu. Tak tahan, aku sentuhkan bibir ini pada bibirnya. Ia tak lagi berontak sebab telah menikmatinya.
Setalah puas menikmati sentuhan pagi, kugandeng tangan mungil itu. Untuk kesekian kali hati ini bahagia. Rasa yang pernah aku alami bersama Arsela, kini teralihkan pada Safna.
Tangan saling menggenggam kala menyusuri perkebunan teh yang berundak-undak. Semilir angin menerpa wajah-wajah semringah. Sisa hujan semalam masih meninggalkan jejak di dedaunan. Di sana ada buliran bening yang kerap berjatuhan.
"Awss licin!" ucapku pada Safna. Karena kepayahan berjalan di tempat ini, aku merangkul pinggangnya.
Kami berjalan menuju bukit luhur yang terletak tak jauh dari villa. Di tempat tertinggi ini kami bisa melihat keajaiban alam berupa permadani hijau raksasa. Hamparan kebun teh ini mampu membuat mata tak berpaling darinya.
Kuselipkan tubuh mungil itu di antara dua lengan. Aku meletakkan dagu di atas puncak kepalanya. Biarkan waktu berhenti sesaat, biarkan jiwa ini tenang bersama belahannya.
Kebahagiaan ini amat nyata. Berada di sisi Safna selalu dan selalu mewujudkan ketenangan di ruang jiwa.
Apakah ini akan selamanya?
Bagaimana jika papi atau Arsela tahu ini semua?
Entahlah ....
*
Tersedia diKBM APP
EBOOK (Playstore)
NOVEL CETAK (081261934594
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA KONGLOMERAT/Kolaborasi
RomanceSafna, gadis kampung yang dipaksa menikah oleh ayahnya dengan konglomerat muda Dia harus rela jadi istri kedua dan rahasia. Segala harapan untuk bersanding dengan pemuda yang dicintai hancur sejak akad nikah diikrarkan. Kini, hidupnya berada dalam...