Hal baru yang lucu (1)

17 3 0
                                    

[ Karena jika aku jemput kembali, berarti aku mempersilakan hati untuk patah hati. ]

-----------------------------------------------------------

📌Swedia, 8 Januari 2020

"Ody, hari ini lo jadi pulangkan?"
"Iya, jadi kok."
"Nanti gue jemput."
"Gausah."
"Kenapa? Takut ngerepotin atau takut ketemu dia?"
"Hm? Iya takut nge-"
"Dia belum balik. Jangan khawatir."
"Siapa?"
"Jangan pura-pura gatau!"
"Iya, makasih ya."
"Jangan takut pulang jika penyebabnya dia ya dy, gue masih di tempat yang sama kok. Pas banget diposisi waktu lo lebih milih noleh ke dia."
"Hei, kok di ungkit lagi?!"
"Ngode lagi Dy. Haha,"

Suara telepon dari seberang hilang bersamaan dengan putusnya panggilan. Dia masih sama ya. Setelah beberapa tahun hilang kontak, sekalinya kontak-an dia bikin aku semakin takut untuk menjenguk masa lalu. Rasanya, hal-hal mengerikan yang sudah lama ku kubur kembali hidup. Dan orang yang membuatku harus melarikan diri dari ini pun juga tak pernah kembali lagi setelah melukai dengan teramat perih.

Tapi meskipun begitu, tetap saja tanpanya canduku semakin buruk, walau aku pun tahu, dia sengaja seperti ini, sengaja singgah, sengaja menjaga, sengaja jatuh cinta, dan sengaja hilang dari peradaban bumi. Aku kehilangannya, aku kehilangan masalalu bersamanya, mungkin besok saat yang tepat untuk menemukan kejanggalan perasaan.

--

📌Jakarta, 10 Januari 2015

Odyvia, begitulah kira-kira orang-orang mengenalku. Aku, seseorang yang jauh dari keramaian dan bisa dikatakan dibenci lingkungan. Jika absen di sekolah ditiadakan, mungkin, tidak akan ada yang tahu atau mengetahui namaku. Memangnya siapa aku yang harus di sadari kehadirannya? Siapa aku, yang namanya harus dihafalkan?

Mungkin memang benar adanya, menganggap diri sama dengan orang-orang adalah kesalahanku. Dan harusnya, aku memang tidak pernah mencoba mencicip dunia seperti ini. Dimana, wajah dan orangtua adalah pertimbangan harga diri. Aku pikir ini akan baik-baik saja ternyata hal yang sudah direncakan selalu gagal di tengah jalan. Bersamaan mulai lenyapnya segala harapan-harapan murni, dan mimpi-mimpi sederhanaku layu tanpa henti.

Introver? Bukan, aku bukan seorang introver. Aku selalu ingin membaur. Aku selalu ingin menjadi teman dan berteman. Aku selalu berharap punya seseorang untuk diajak tertawa dan bersedih pada suatu waktu. Ya. Itu keinginanku. Sebab, aku adalah bukti dari diskriminasi yang nampak. Aku bukti nyata dari terasingkan. Mereka menjauhi, bahkan sangat tidak ingin tahu tentangku. Hanya karena wajah, hanya karena aku tidak se cantik standar mereka, mereka merasa jijik padaku.

"Lo udah jelek, nyampah lagi. Ngerasa sama dengan kita? Lo punya kaca nggak sih di rumah?"

Mungkin, kalimat di atas adalah kalimat paling banyak yang orang-orang ucapkan daripada kalimat sapaan. Salahku di mana? Memangnya wajahku merugikan mereka? Terkadang, ada saatnya, aku berpikir bahwa Tuhan benar-benar menciptakanku dengan banyak kesalahan. Atau mungkin, saat menciptakanku, Tuhan sedang tidak baik-baik saja?

"Heh, lo minggir dong, blur banget mata gue liat wajah lo." Mereka tertawa setelah mengucapkan kalimat jahat itu. Seakan-akan aku tidak punya perasaan, mereka berbicara sesukanya.

"Maaf," ujarku yang selalu saja mengaku kalah. Selain kata Maaf, aku hanya diam dan diam. Bukan tidak ingin melakukan perlawanan, tapi benar adanya. Wajahku tidak layak.

"Lo pikir lo se perfect apa sampai ngomong nggak pakai etika gitu!?" Suara tegas yang muncul tiba-tiba.

Pelupuk mataku yang sudah digenangi buliran mata ini, terkaget dengan kalimat pembelaan yang di tuturkan oleh orang itu.

TITIK KOMA ( ; )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang