'Maaf' tidak pernah berakhir sendiri (3)

7 1 0
                                    

[ Kita butuh status pertemanan untuk saling menceritakan atau batasan untuk perasaan? ]

-----------------------------------------------------------

Sengaja datang pagi agar anak-anak lain tidak menyadari kehadiranku. Karena setelah menciptakan keributan kemarin, aku terlalu takut menghadapi mereka. Kali ini pun aku melarikan diri lagi. Kadang ini cukup melelahkan, tapi ini lebih baik. 

Kubuka buku tulis dengan sampul merah muda. Lalu seperti biasanya, Aku suka sekali merangkai kata-kata dan menuangkannya dalam buku ini. Kadang tempatku bercerita adalah buku ini. Walaupun semakin menyesakkan, tapi cukup baik ketimbang bercerita pada orang yang salah.


Semesta sebenarnya tahu ...
Bagaimana aku sengaja terluka
Lalu menyembuhkannya sendiri
Dan ku lukai lagi ...
Meskipun kulakukan berulang kali
Meskipun ini menyisakan nyilu perih
Ini adalah cara untuk terlihat baik
Semesta ...
Bagaimana jika kita negosiasikan luka
Kita bagi secara adil perih ini
Sebab, jika hanya untukku saja
Bukankah ini terlalu kejam?

"Lo yakin semesta sengaja seperti itu?" Tiba-tiba suara yang kemarin menciptakan keributan muncul tepat ditelingaku.

Aku tergagap lalu cepat-cepat ku tutup buku itu. Tak berniat ingin menanggapi, aku bersikap tidak peduli.

Leo menyadari, jika aku enggan untuk berbicara dengannya. Ia pun langsung menuju bangkunya.

Jam pelajaran pun di mulai. Seisi kelas semakin menatapku tajam. Sejujurnya aku sudah tidak terlalu peduli lagi. Tapi perkataan Leo tadi pagi cukup menarik perhatian. 'Apa benar semesta menyakitiku?'  Berapa kali pun ku coba mencocokkan jawabannya, rasanya itu kurang cocok. Jadi, maksudnya seperti apa? Tanyaku dalam benak.

"Ody!! Kenapa kamu diam aja!? Kamu paham nggak soal yang ini?" tegur pak Dimas — Guru matematika yang seringkali mengusirku keluar. Aku rasa dia pun juga tidak menyukaiku.

Aku hanya mengangguk pelan takut. Seisi kelas makin menatapku dengan perasaan benci.

"Kalo gitu kerjakan soal nomor 2 ini!" Perintah Pak Dimas.

Aku kaget dan bingung, pasalnya sejak tadi aku hanya melamun dan tidak mengerjakan apa-apa. Bagaimana caranya aku menyelesaikan jawaban itu.
Tiba-tiba seseorang melempar kertas yang berisi jawaban kepadaku. Ku lihat sekilas, Leo tengah menatapku datar.

Kenapa dia seperti ini. Mau tidak mau, aku pun maju menyelesaikan soal itu dengan jawaban milik Leo. Sikap Leo tadi lahi dan lagi menciptakan ketegangan semua Siswi kelas ini. Dia hal baik yang datang, atau masalah baru yang akan memperburuk keadaan. Pikirku yang bertanya tanya sendiri.

Jam istirahat pun datang. Baru saja akan keluar kelas, seseorang sengaja menghalangi langkahku tiba-tiba dan aku pun oleng jatuh ke lantai. Kelas tidak terlalu ramai, tapi Leo sudah keluar duluan sejak tadi.

"Ternyata lo di biarin makin ngelunjak ya jelek!!"

Aku menunduk lagi tanpa suara. Dan rasanya lututku terlalu sakit karena tergores lantai, ingin aku berdiri tapi semua tulang-tulangku melemah dan bergetar hebat karena ketakutan pada yang akan terjadi.

"Kenapa diam aja? Lo pikir Leo bakal bantuin lo lagi? Ha?" sekarang tangannya mulai menggerayapi rambutku dan menjambaknya tanpa perasaan manusiawi.

Sakit di seluruh tubuh, hanya itu yang mampu aku jelaskan.

Murid yang berada di kelas melihatku dengan berbagai ekspresi. Mereka tahu aku terluka, tapi mereka tidak pernah mau dan tidak perduli tentangku.

"Ma ... maaf," lirihku dengan tangis yang luruh menahan sakit dari jambakkan Vina.

"Lo udah jelek! Sekarang jadi penggoda! Hidup lo tuh cuma nyampah! Mending mati aja lo ngikut Papa lo! Nggak nyusahin orang aja lo tau nya. Dan harusnya lo tahu diri," ucapan Vina cukup melukai perasaanku. Kalimat yang ia ucapkan cukup menyulut emosi.

Ia masih menjambakku dengan keras, aku hanya menahan ucapan dan sikapnya yang semakin kurang ajar. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, aku bingung. Perasaanku hancur, tapi kebodohan ini selalu membuatku semakin menjadi pengecut ulung.

Suara pintu ditendang dengan keras pun terdengar nyaring ditelingaku. Leo datang. Bolehkah aku berpikir seperti itu?
Tapi itu benar. Dia datang dengan amarah yang meluap-luap.

"Lo lepasin atau gue lapor Kepsek!!" Bentaknya dengan nada tinggi. 

Tanpa basa-basi Vina pun melepaskan jambakannya. Tangisku pecah. Ini tidak terlalu sakit. Tapi aku hanya ingin menangis saja. Seseorang yang tiga tahun lalu sering melakukan ini sudah kembali dalam bentuk lain.

"Lo semua yang ada dalam kelas ini gue laporin Kepsek!! Dan gue jamin, surat panggilan orang tua bakal nyampe!!" Tegas Leo.

Seisi kelas pun kaget dan khawatir, karena mungkin saja mereka akan diskors atau mendapatkan hukuman yang luar biasa jika menyangkut pembullyan.

Leo mengulurkan tanganya padaku, meskipun ia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia benar-benar mendebarkan untuk seorang sepertiku. Aku tahu ini semakin kurang ajar. Tapi aku merasa ini  seperti princess di Disney World, di mana pangerannya mengulurkan tangan untuk putri.

Setelah menyelesaikan air mata ini. Aku menatap Leo yang hanya memandangi langit. Tidak berbicara apa-apa. Sepertinya ia sudah tahu, tempat favoritku di SMA ini adalah atap. Makanya ia mengajak untuk ke sini. Dia tidak memulai pembicaraan. Mungkin ia menungguku untuk bercerita.

"Ini yang kedua kalinya. Kenapa bantu gue?"
"Rasa kemanusiaan," jawabnya singkat. "Udah nangis nya?" lanjutnya lagi yang kini tatapanya beralih menatapku.

Aku hanya mengangguk dan menunduk karena, tidak tahu harus bicara tentang apa lagi.

"Sampai kapan?"
"Tentang apa?"
"Lo selalu pasrah, nangis dan juga kata maaf itu."
"Nggak tahu. Gue nggak pernah ngukur kemampuan buat itu."
"Kalo gue nggak datang?"
"Kejadiannya bakal sama. Gue bakal lanjut nangis di sini."
"Pengen gitu terus selamanya?"
"Gue harus gimana?"
"Udah nemu jawaban dari pertanyaan gue tadi pagi?"
"Nggak ada jawaban."
"Bukannya nggak ada jawaban dy. Lo cuma nggak berani bilang kalo sebenarnya yang selama ini lo asumsikan itu salah."
"Kok tahu?"
"Karena gue pernah diposisi yang sama."

Kita sama-sama diam. Aku tak berani menanyakan apapun padanya. Bahkan rasanya ini terlalu memaksakan akrab untuk kita yang sungguh asing.

"Kenapa nggak nanya gue kenapa?"
"Kita terlalu asing untuk saling memberi tahu."
"Memangnya untuk saling ngasih tahu harus saling akrab?"
"Iya."

Kemudian, dia menatapku sambil tersenyum. Untuk saat itu, aku kembali bingung, aku harus membalas senyumnya atau diam saja seperti orang bodoh yang menyia-nyiakan kesempatan. Tangannya kini beranjak megusap pelan pucuk rambutku.

Lagi dan lagi. Ia mendebarkanku. Jangan sampai aku jatuh hati. Aku bermohon dalam batin. Jika terjadi, mungkin saja ia akan pergi. Atau mungkin kembali mengasingkan diri.

"Ayo jadi akrab?" katanya sambil mengulurkan tangan.
"Caranya gimana?"
"Mau jadi teman dulu atau langsung jadi hal favoritku?"
"Ha?"
"Becanda," katanya sembari tersenyum.

Kali ini aku tahu. Senyumnya harus ku balas. Karena ini cara orang-orang berteman kan?

"Ayo," kini aku tersenyum sambil membalas uluran tangannya.

"Dia orang yang tepat kan?" batinku bicara hal-hal yang lucu.

Teman pertama setelah terluka cukup lama. Kita akan saling menjaga. Dan akan kutanyakan 'kenapa' jika semesta masih mengijinkan aku untuk berjumpa dengannya di atap yang ramah ini.


To be continue 💗

TITIK KOMA ( ; )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang