Kita menciptakan kesalahpahaman (6)

0 0 0
                                    

[ Kita Di pertemukan untuk saling berbagi cerita penuh luka kan? ]

-----------------------------------------------------------

Selesai mandi, sebuah pesan masuk. Jika menyangkut sebuah pesan, mungkin aku salah-satu orang yang gerak cepat untuk membalasnya.

081234567025 : Udah tidur dy?

Aku terkaget. Tidak ada keterangan nama atau penjelasan lanjut. Apa mungkin ini sebuah spam? Kalo pun benar, kenapa kata 'dy' menunjukkan namaku.

Me : Siapa?

Belum satu menit aku membalas, pesanku di balas cepat.

081234567025 : ayo tebak!

Me : Nggak tertarik.

Mungkin memang spam. Akupun melanjutkan acara mengeringkan rambut karena tadi aku keramas.

081234567025 : Yang paling ganteng di kelas lo?

Pesannya muncul lagi. Yang kali ini makin aneh. Makin gak jelas.

081234567025 : Siapa? Ketua kelas ya?

Jika menanyakan itu, mungkin semua orang akan setuju jika ketua kelas yang paling tampan di kelas. Pasalnya selain ketua kelas, ia juga seorang ketos. Aku tidak akan bohong jika aku memang menyukainya diam-diam. Mungkin sampai saat ini.

Nomor yang mengirimku pesan tadi, langsung menelfonku. Bagusnya begini sih.

"Haloo!"
"Siapa yang paling ganteng tadi?" Kini nada dan suara orang itu aku kenali. Perlahan senyum terpancar dibibirku. Nadanya yang seperti sedang pundung itu menggemaskan.

"Ketua kelas," jawabku santai.
"Oh, jadi gue nggak ganteng gitu?"
"Emangnya lo siapa?" Tanyaku yang masih pura-pura ga tau.
"Seriusan Dy. Lo ngeselin."

Aku hanya tertawa mendengar rengekkannya. Entah mengapa jika menyangkut tentang Leo, aku selalu bahagia dan banyak tertawa.

"Kok ketawa?"
"Lucu aja."
"Jadi gue ganteng atau nggak?"
"Iya, ganteng."
"Iya tahu kok. Makasih ya."
"Ini tuh berdasarkan rasa kemanusiaan aja Le."
"Yang penting ganteng."
"Kenapa nelfon?"
"Gaboleh emang?"
"Yah gpp sih."
"Kok belum tidur?"
"Kan ini lagi jawab telfon lo. Gimana mau tidur."
"Iya iya, santai elah Dy." Dia terkekeh pelan mendengar nada kesalku. "Gue ke rumah lo. Boleh nggak?" sambungnya.
"Sekarang?"
"Kalo besok di bolehinnya, ya udah besok aja."
"Hm, ngapain?"
"Mau pinjam sesuatu?"
"Iya, datang aja."

Belum beberapa menit dia bilang akan datang. Ia sudah berada di depan rumahku. Katanya mau minjam sesuatu. Kenapa nggak besok aja coba? Tapi bukankah jarak rumahnya denganku lumayan jauh. Atau mungkin sambil lewat.

Aku bergegas keluar rumah. Dengan keadaan, wajahku yang tanpa polesan apapun, mungkin bisa dibilang makin hancur. Sudahlah. Memangnya Leo siapa yang peduli dengan penampilanku?

"Di luar aja kali ya Dy. Biar nggak muncul fitnah."

Aku mengedikkan kedua bahu menandakan terserah. Karena di depan rumahku ada sebuah ayunan. Jadi, katanya duduk disana akan lebih baik.

"Mau minjam apa Le?"
"Bahu," lirih Leo dengan suara yang penuh dengan ke putus asaan.
"Ha?"
"Boleh kan?" Kini ia menatapku tanpa arti.

Semenit kemudian, aku hanya diam, dan dia menjatuhkan kepalanya ke bahuku. Aku rasa, mungkin ia mendengar degub jantungku yang nakal. Yang saking kencangnya, aku tidak tahu cara mengontrol mereka. Tapi, melihat Leo seperti ini, perasaanku terluka.

"Gue boleh tanya kenapa?"
"Apa gue boleh cerita?"
"Katanya teman saling berbagikan?"
"Dy, gimana perasaan lo ketika orang yang lo sayang di sakitin orang lain."
"Gue bakal sakitin balik."
"Mama gue seorang wanita simpanan."

Jantungku mencelos kaget, serta peluhku berjatuhan. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Karena ini benar-benar cerita yang tidak sepenuhnya aku inginkan.

"Orang itu nyakitin Mama. Mama cuma hal cadangan, dan Mama adalah tempat pelampiasannya. Gue pengen hentiin Mama. Tapi sepertinya, memang kesempatan dan semesta saling berkomplotan."

Aku hanya diam.

"Kenapa? Kaget ya? Eh jangan jauhin gue ya. Gue pun kalo boleh milih. Gue nggak pengen hidup seperti ini."

"Ngga lah. Emangnya korelasinya dimana?"
"Hmm."
"Mama gue seorang PTSD akut," ceritaku tiba-tiba yang langsung saja Leo menegakkan kepalanya dan menatapku.

"Sekarang di rumah?"
"Nggak. Lagi berobat."
"Mama lo spesial bukan seorang pengidap PTSD. Bukan lagi berobat, tapi mungkin sekarang waktunya untuk beristirahat dari kerasnya hidup."
"Bagaimana mungkin seorang yang sedang terluka menghibur orang yang terluka lainnya?"
"Mungkinlah. Kan kita dipertemukan untuk saling berbagi."

Aku tersenyum dan entah mengapa se tetes air mata jatuh mendengar ucapannya yang begitu menenangkan.
Kemudian tatapan Leo kembali kedepan. Sekarang kita sama-sama menikmati gelapnya malam dan kesunyian yang menceritakan bahwa ia kedinginan.

"Dy, tahu nggak. Siapa orang yang buat Mama gue jadi seorang simpanan."
"Siapa?"
"Papanya Dav."
"Ha? Davendra ketua kelas?"

Ini adalah keterkejutan yang mengolahragakan jantungku. Jadi, bukan hanya aku saja yang sedang diposisi sulit. Dan aku masih suka ngeluh.

"Haha," Leo hanya terkekeh pelan untuk menutupi segala sedihnya.
"Dan, Daven tahu hal itu."
"Hmm."
"Terus dia gimana?"
"Ya gpp, kita hanya berusaha untuk tidak mengakrabkan diri di sekolah."
"Kalian satu rumah?"

Leo mengangguk pasrah. Dan memalsukan senyum lagi dan lagi.

"Dy, gue nggak tahu harus gimana dy. Gue pengen bebasin Mama, tapi tiap kali gue coba, gue selalu berakhir jadi pecundang. Gue capek dy. Gue capek jadi anak haram yang di benci orang-orang. Gue benci harus nyaksiin Mama dipukul, karena saat itu gue nggak bisa ngelawan. Gue benci tiap kali jemput Mama dengan kondisi mabuk-mabukan. Gue capek liat Mama milikin hal yang bukan miliknya. Gue capek menebalkan muka di depan Dav. Gue pengen mat-"

"Jangan. Lo harus kuat sekali lagi Le. Untuk Mama lo, untuk diri lo, jika bisa, untuk gue juga. Karena lo, gue berani membuka ketakutan ini. Gue berani berubah, karena gue yakin, lo akan di belakang gue, dan tersenyum saat gue berhasil jagain diri gue," lirihku pelan.

Leo menatapku lurus dan penuh dengan kekosongan. Aku tahu, ia ingin menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Apakah seorang teman boleh menghapus air mata? Tanpa banyak berpikir aku bangkit berdiri dan memeluk kepalanya yang sudah duluan ditutupi tangan. Untuk menutupi air mata yang sejak tadi di tahan. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya diam, dan sesekali menangis sesegukkan. Aku pernah diposisi ini. Capek. Dan ingin mengakhiri segalanya. Tapi, ternyata ini hal wajar yang sering dilakukan orang-orang. Dan dengan egoisnya, aku meminta dia untuk kuat lagi, agar aku pun yakin, ada sandaran yang akan menerima saat aku tidak sanggup lagi mengangkat kepala atau mungkin sudah tidak mampu lagi menangisi hal-hal yang membunuhku perlahan-lahan.

Setelah Leo berhenti menangis, ia langsung pamit pergi dari sini. Dia terluka terlalu dalam. Dan sekarang aku tahu, tiap orang punya masalahnya sendiri. Dia mungkin tidak se tampan Daven si ketua kelas. Setidaknya, ia tegak seperti tiang, bukan menunduk sepertiku. Dan, berani mengulurkan dan mengajakku keluar dari kegelapan.

TITIK KOMA ( ; )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang