Orang baru yang kaku (7)

0 0 0
                                    

[ Jangan lewati batas-batas pertemanan. Jika aku salah paham, kita akan terluka. ]

-----------------------------------------------------------

Pagi hari minggu adalah waktunya aku berkunjung lagi ke rumah sakit.  Bertemu Mama. Dan menceritakan lagi apa yang pernah ku lalui. Tapi, sebelum ke sana, aku berencana membeli bunga kesukaan mama.

Bunga matahari adalah bunga favorit mama. Katanya, saat pertama kali bertemu papa, papa memberi mama setangkai bunga matahari curiannya di rumah tetangga. Bagi papa, bunga matahari adalah harapan. Sedangkan bagi Papa, Mama adalah harapannya yang abadi sampai ia di kebumikan. Cukup romantis. Mungkin ini alasan yang membuat mama begitu terguncang saat kehilangan Papa. Aku pun merasakan sebagian dari harapanku hilang bersamaan dengan kepergian papa.

Saat sedang memilih bunga, seseorang menepuk bahuku, aku pun menoleh mencari keberadaan orang itu.

"Daven?"
"Ody kan?"

Ini yang kedua kalinya, Daven memanggil namaku. Tapi semenjak malam tadi Leo bercerita tentang Daven yang menerima segalanya, itu membuatku sedikit takjub padanya.

"Iya, kenapa?"
"Bunga untuk siapa?"
"Mama." jawabku ragu-ragu.

Dia mengangguk pelan, dan pembicaraan kita berakhir. Aku pun bergegas untuk membayar bunga ini. Aku melihat dia juga sedang memilih bunga yang sama sepertiku.

"Dy!" panggilnya lagi.
"Kenapa?"
"Hari ini berkunjung ke rumah sakit tempat mamamu ya?"

Aku terkejut tentang ia yang tahu tentang keadaan mama. Bukannya ia terkenal dingin dan tidak pedulian.

"Kok tahu?"
"Gue kan ketua kelas." Jawabnya masih sangat datar. " Ikut dong," lanjutnya lagi.

Permintaannya cukup memembuatku membulatkan mata, karena saking kagetnya. Kenapa jadi tiba-tiba seperti ini. Apakah semesta sedang membuatku bingung, lalu pada akhirnya, ia melukaiku lagi dan lagi. Dan, mungkin ini kesekian kalinya, prasangka buruk yang kututurkan untuk semesta.

"Kenapa?"
"Boleh nggak?"
"Ha?"
"Ayo. Gue juga bawa bunga ini ya buat mama lo dy."
"Gausah."
"Yang ngasih gue, kok lu yang ngatur?" Sekarang ia bersikap keras kepala. Sungguh, Daven memang misterius sampai-sampai jalan pikirannya tidak terpikirkan olehku.

"Hmm," Aku hanya mendehem pasrah lalu keluar dari tempat bunga ini dan di ikutinya dari belakang.

"Naik bus kan?"
"I ... iya terserah."

Aku cukup gugup untuk terbiasa dengan Daven. Karena saking terlalu seringnya bersama Leo. Ah iya, Leo apa kabar ya?

Di atas bus pun aku dan Devan berdiri, karena kursi yang kami miliki harus diberikan kepada ibu-ibu rempong yang pokoknya harus duduk.

"Sejak kapan?" Tanyaku yang penasaran bagaimana ia bisa tahu tentang Mama.
"Dua tahun yang lalu."
"Anak-anak di kelas tahu?"
"Selain Vina, nggak ada yang tahu."
"Tahu dari Vina?"
"Tahu sendiri."

Dia terbilang sangat kaku untuk di ajak berbaur. Tapi apa ya, apa seseorang sepertiku layak berbicara dengannya. Seseorang yang benar-benar adalah produk gagal seperti kata anak kelas. Sungguh, kehidupan akan mengerikan jika miliki wajah seperti ini. Soal Mama, aku berhasil menutupinya, dan sampai sekarang tidak ada yang berusaha mencari tahu.

"Jangan mengumpati diri sendiri. Mulai sayangi diri sendiri."
"Ha? Lo dengar?"
"Nggak, cuma menerka-nerka."

Pembicaraan kembali senyap lagi. Sekarang kita sudah berada di depan rumah sakit. Canggung sekali harus mengajak Daven ke sini. Asing sekali untuk jalan beriringan dengannya.

TITIK KOMA ( ; )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang