바이러스 | Sepulchral

88 18 0
                                    

          Harap mengawang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Harap mengawang. Soobin menatap pintu gerbang dari jendela kamarnya, seakan menanti suatu keajaiban yang akan datang. Matanya terus menatap limbahan likuid kosong, entah apa yang sedang ia harapkan—atau sedang ditunggu. Tiada niat guna berhenti, Soobin masih berpegang teguh pada keyakinan kaburnya.

"Maaf mengganggu, Tuan. Tapi ada telepon dari pihak rumah sakit, mereka ingin berbicara," salah seorang pelayan datang secepat kilat selagi telepon di dalam genggaman masih terhubung.

Soobin menoleh dan menerima gagang telepon yang dimaksud. Kendati pada awalnya ia tidak mengerti—mengapa pihak rumah sakit dapat menghubunginya di jam senggang seperti saat ini. "Halo?" pemuda itu nampak menyimak seraya memperhatikan tetesan hujan di luar sana. Jendelanya basah, membuat tiap inci jemari Soobin yang menyentuh permukaanya itu lembab. "Ah, baiklah. Aku akan segera pergi ke sana," sambungan telepon pun terputus. Membuat Soobin menghela napas karena dugaannya sebelum menolong gadis bernama Jung Haeni itu benar adanya. Merepotkan.

Pemuda itu beranjak dari tepian jendela dan meraih jaket pun pelindung wajah yang sudah setahun belakangan kerap digunakan setiap kali pergi ke luar rumah. Rumah ini semakin kelabu saja di setiap harinya, dengan pelayan yang berkurang di setiap hari karena suatu masalah apa pun itu. Kini ia hanya harus kembali melangkah, menuju ke rumah sakit lebih tepatnya.

Tiada gairah tatkala mengemudi, membaur dengan keramaian jalanan di kala jam sibuk. Kendati sang bumantara merintih pilu menitikkan air matanya ke atas permukaan bumi hina yang basah. Sehingga ia tiba di tempat yang dituju. "M-maaf karena sudah menghubungi anda secara tiba-tiba, namun Nona Jung ingin sekali bertemu dengan anda," tukas salah satu suster tatkala mendapati kehadiran Soobin di tengah keruwetan koridor rumah sakit.

"Apa?" tiba-tiba saja air wajahnya berubah drastis—seakan ia baru saja dibohongi. "Tapi pihak rumah sakit menghubungiku, beralasan karena dokter yang menanganinya ingin berbicara padaku,"

"Maafkan kami, Tuan."

Soobin merotasikan bola matanya jengah dan mengikuti langkah si perawat tersebut, namun dibuat keheranan ketika wanita yang tadi menyambutnya itu justru berhenti melangkah ketika sesampainya di ambang pintu. Pemuda bersurai kecoklatan tersebut nampak terkejut sebab disambut oleh ruangan penuh privasi yang porak-poranda, tak ada satu orang pun di sini, setidaknya anggapan itu bertahan hingga manik matanya menangkap sosok di balkon. "Hei, mereka mengatakan bahwa kau ingin bertemu denganku, biaya perawatan sudah ku bayar, hidupmu terjamin selama masa pemulihan, apakah kau membutuhkan hal lain sehingga meminta orang lain untuk menghubungiku, begitu?"

Haeni nampak diam tak bergeming, melempar tas tangan yang Soobin tebak bahwa benda itu ada di pertemuan pertama mereka. Merupakan sebuah kejutan tersendiri sebab dari apa yang pemuda tersebut cerna, ia merupakan orang berada dalam artian memilki uang yang tidak sedikit di dalam tasnya. Entah hal gila semacam apa yang sedang terlintas di dalam benaknya itu, Soobin sama sekali tidak peduli apabila boleh jujur.

"Apa? Kau punya uang? Kaya raya?" Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, menanti hal yang sekiranya akan dipertontonkan oleh si gadis misterius. Soobin sabar menanti andai hal tersebut menarik, toh, hari ini juga ia tidak ada kegiatan, terlebih ketika sekolah menekankan sistem belajar yang mengandalkan teknologi dan juga internet. Simpel, sih. Tapi kasihan juga mereka yang tidak memiliki kecukupan ekonomi guna memenuhi kebutuhan tersebut.

"Aku tidak menginginkan semua ini." Haeni membuka suara, menarik Soobin yang sedari tadi menatap tak apatis mengangkat salah satu alisnya. Dibuat menghindar manakala sosoknya meraih sebuah pot bunga guna dilemparkan ke sembarang arah, puncaknya hampir lolos dari pengawasan dan terjun bebas dari lantai tertinggi rumah sakit ini. Beruntung karena Soobin sigap meraih tubuhnya, mencegah gadis Jung tersebut untuk berbuat nekad dan merepotkan. "Lepaskan aku! Lepas!"

"Apakah kau sudah gila? Dengan terjun bebas dari tempat ini kau akan merepotkan banyak orang, membersihkan mayat dan sisa tubuhmu yang tercecer, apa menurutmu itu tidak menjijikkan, begitu?" ucapan Soobin memanglah pedas, namun tidak pernah meleset sebab ia hanya mengatakan kebenaran tanpa adanya suatu sensor. Pemuda itu hanya terlalu polos untuk sekadar menyortir apa yang sekiranya akan dikatakan, sehingga tidak heran apabila Soobin terkadang terdengar begitu kejam dengan ucapannya itu.

Haeni terisak. "Kau tidak mengerti."

"Mengerti? Ya, aku sudah cukup mengerti, tubuhmu setidaknya akan terpisah menjadi beberapa bagian. Kau tidak akan tenang apabila seluruh bagian tubuhmu tidak ditemukan secara seutuhnya." Soobin berujar seraya meremas bahu mungil Haeni yang begitu ringkih, tidak segan lagi untuk beradu pandang ketika keduanya terjebak di situasi mencekam seperti saat ini. Bukan, bukan mencekam, hanya saja begitu membingungkan sebab hingga saat ini Soobin masih belum mengetahui alasan mengapa gadis itu menangis.

Munafik apabila ia tidak terganggu oleh hal tersebut, sebab hingga saat di mana Soobin melangkah ke luar menuju lobi bayang akan sosok Jung Haeni masih terbayang di dalam benak. Kini menjalar pada alasan mengapa gadis itu berkeliaran di tengah wabah seperti saat ini, mengapa tiba-tiba saja sikapnya berubah setelah sepekan berlalu, atau mengapa Soobin justru bersikap peduli.

Namun semua itu seakan menguap layaknya seberkas cahaya jingga di manakala senja menyapa raga, bersifat indah namun sesaat ketika denting nada notifikasi pada ponsel berdenting. Di sana Soobin yang tengah berdiri di lobi dan sesekali mencuri pandang pada gumpalan awan sore hari di depan sana, terhalang oleh gedung roti hangat yang begitu terkenal sebab kualitas dan juga suguhan rasa dari barang jualan mereka. Namun hal tersebut bukanlah masalah sebab saat ini Soobin sudah menerima pesan yang dimaksud, entah harus merasa bahagia karena sosok yang saat ini mengiriminya pesan dalam kondisi baik-baik saja, atau justru merasa sedih karena pertemuan mereka harus tertunda sebab sesuatu hal.

Beomgyu (2)

Apakah kau melihat langitnya juga? Cerah sekali, bukan? Oh, iya, hari ini aku baru saja kembali dari Jepang.

Bisakah kita bertemu walau untuk sesaat saja, Soobin? Aku hanya ingin menunjukkan pohon yang kita tanam dulu.

BRUMOUS [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang