바이러스 | Tenebrous

97 15 2
                                    

             Soobin menyesal sekali, terlebih ketika sama sekali tidak membalas satu pun pesan yang dikirimkan oleh Beomgyu karena jujur saja ia tidak tahu harus mengatakan apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

             Soobin menyesal sekali, terlebih ketika sama sekali tidak membalas satu pun pesan yang dikirimkan oleh Beomgyu karena jujur saja ia tidak tahu harus mengatakan apa. Sahabat semasa kecilnya itu bagaikan angin lalu yang senantiasa menemani langkah, rasanya sudah putus asa ketika sang takdir membentangkan jarak di antara mereka, namun ketika tahun berganti dan tidak ada sesuatu hal apa pun yang berubah kecuali kondisi yang kian memburuk, Soobin seketika merindukan Beomgyu.


"Kau sudah mengonsumsi obatmu?" merupakan pertanyaan serupa yang acap kali ditujukan pada Soobin manakala mengunjungi bangunan beraroma kayu tua, pemuda mempesona tersebut kerap kali datang kemari meski sang tuan rumah tidak pernah menganjurkan pertemuan rutin. Ia datang kemari semata-mata demi menuntaskan rasa penasarannya sebab tidak kunjung mendapatkan jawaban, bahkan untuk sekadar mencari petunjuk saja Soobin tidak becus.

"Ya, aku rasa begitu." Ia menyahut, menarik wanita yang kali ini nampak mengenakan pakaian serba santai di balik meja kerjanya itu menganggukkan kepalanya mengerti. Bukan maksud hati bersikap tidak sopan dengan mengenakan setelan pakaian yang begitu santai, hanya saja hari ini merupakan akhir pekan dan semua orang ingin sekali menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri, termasuk nyonya Kim yang terlihat begitu sabar menanti tanggapan Soobin mengingat pemuda itu terkesan begitu irit bicara.

"Apakah kau baik-baik saja?" wanita renta tersebut justru menanyakan kabar setelah sekian lama keduanya termangu di ruangan yang sama, ia nampak cemas terhadap keadaan pasiennya yang satu itu. Soobin yang mendengar hal tersebut lantas bangun dari posisi terbaring dan diam untuk beberapa saat, manik matanya kosong menangkap sisa pancarona di hari yang begitu gelap ternaungi awan gelap mengitari langit. Belakangan ini hujan kerap turun, membuat Soobin semakin dibuat risau karena keadaan.

"Aku tidak tahu." Ia mendengus geli, seakan ada sesuatu hal yang lucu sehingga patut untuk ditertawakan. "Seakan ada rongga di dalam diriku, aku merasa bahwa ada bunga yang tumbuh di dalam paru-paruku rasanya sakit sekali dan hal itu membuat napasku terasa sesak di setiap menitnya."

Nyonya Kim nampak mengukirkan kurva simpul, meletakkan barang kaca mata model kuno yang senantiasa dikenakan sebab kemampuan dalam melihat kian menurun sebab faktor usia. "Keberatan apabila aku mengatakan hal ini padamu?" Ia menjeda kalimatnya karena takut akan menyinggung perasaan mengingat ini terdengar janggal untuk mereka yang begitu awam. Pada awalnya Soobin tidak tertarik mengenai apa yang akan wanita itu utarakan kendati sudah menyetujuinya sekali pun, namun dibuat berpikir dua kali ketika ia mengemukakan sebuah diagnosa yang terkesan seperti sebuah pernyataan ketika mengatakan, "Kau akan merasa sakit apabila cinta yang kau miliki tidak terbalaskan, apakah kau pernah mendengar sindrom hanahaki?"

Soobin mungkin sudah gila, tapi tidak akan sebodoh itu mencintai seseorang terlebih tanpa adanya suatu kepastian di mana cinta yang kau miliki akan memiliki tempat untuk berlabuh atau tidak. Terlepas dari beban pikiran yang melanda mengenai wabah yang saat ini tengah melanda, rasa sakit di dalam dirinya ini jauh lebih merepotkan karena begitu mengganggu. Lucu, karena ketika kebanyakan orang dibuat sibuk mencari kiat-kiat untuk terhindar dari virus, ia justru giat untuk datang ke psikiater untuk menyelesaikan masalah mentalnya yang konon lebih mematikan dari penyakit mewabah sekali pun. Ah, entah dosa semacam apa yang telah dilakukan sehingga terjebak di dalam situasi dan kondisi seperti ini.

Dingin, rasanya begitu dingin ketika Soobin melangkah menyusuri trotoar dan hendak pergi ke suatu tempat di mana ia dapat melepas rindu pada seseorang, namun dibuat terjatuh ketika sisa kesadaran yang semula berpihak kini pergi entah ke mana. Soobin dapat merasakan derap langkah yang kian mendekat, entah hal semacam apa yang saat ini tengah dilakukan oleh sosok yang saat ini datang menghampirinya dengan tergesa. Soobin berpasrah diri sebab sudah merasa lelah dengan kehidupan gila ini, karena tidak peduli sekeras apa ia mencoba untuk sekadar memutar balikkan keadaan,

rasanya mati itu jauh lebih baik.

//

"Kau sudah sadar?"

Soobin mengerjapkan matanya guna mengumpulkan sisa kesadaran setelah merasakan sensasi tubuh yang seakan tertumbuk, mendapati dirinya tengah terbaring di atas sebuah sofa yang begitu sarat dengan suasana kesederhanaan. Sebuah kipas pendingin ruangan nampak terpasang di langit-langit, nampak begitu usang sehingga dikhawatirkan akan berhenti berputar dan jatuh menimpa mereka, di sisi sofa terdapat sebuah meja, terdapat beberapa bahan makanan instan dan sebuah baskom alumunium berisi air kompresan. Jelas bahwa ini bukan di rumahnya. "Di mana ini?"

Ia bergegas membuka suara gun meluruskan keadaan. "Kau berada di rumahku, kau ditemukan tidak sadarkan diri tidak jauh dari ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa sehingga membawamu kemari, maafkan aku karena sudah bersikap lancang."

Soobin membangunkan diri dan bersandar pada punggung sofa, sejenak memperhatikan sosok yang dirasa patut untuk disebut sebagai seorang pahlawan, namun tidak baginya. "Bukankah seharusnya kau di rumah sakit?" pemuda tersebut berusaha untuk memperjelas ingatan di dalam benak dengan cara memejamkan kedua matanya sejenak, kepala berisi beban pikiran dan juga sepi ini terasa sedikit sakit apabila Soobin diberi kesempatan untuk berkeluh kesah.

Haeni yang mendengar hal tersebut lantas menggulum bibirnya sendiri, merasa bingung ketika Soobin menekannya dengan tatapan mengintimidasi seperti saat ini. "Dokter mengatakan bahwa kondisiku sudah membaik, jadi mereka membiarkanku pulang setidaknya setelah mereka menanyakan kabarmu yang dua pekan belakangan tidak diketahui kabar dan keberadaannya. Tapi serius, apakah kau baik-baik saja? Karena kau pingsan dan suhu tubuhmu itu begitu panas."

"Apakah kau mengharapkan ucapan terima kasih dariku, begitu?" Ia langsung menduga-duga, membuat napas Haeni seketika terasa sesak dan itu rasanya cukup menyakitkan. "Kau tahu bahwa seharusnya tidak menolong dan membawaku kemari, kini aku tahu tempat di mana kau tinggal, apakah itu tidak terdengar masalah bagimu?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya seraya terkekeh hambar, meraih sebuah mangkuk berisi sup instan kalengan yang belakangan digandrungi oleh kebanyakan orang, terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini. "Ini, setidaknya hangatkan tubuhmu sebelum pergi dari sini. Aku tidak akan memaksamu untuk tinggal atau pun pergi, semua itu terserah padamu." Haeni terdengar begitu hangat, namun kendati demikian tidak mengubah presensinya di mata Soobin sebagai seorang gadis misterius yang gila. "Apabila kau bermurah hati untuk mengatakan tujuanmu selepas dari gedung tua di ujung jalan, maka aku akan sangat berterima kasih."

Soobin sempat terdiam, apalagi setelah mendapati sosok Haeni sedang terduduk di hadapannya dengan semangkuk sup yang belum berpindah tangan. Memutuskan untuk pergi membereskan sisa air hangat untuk mengompres ketika ia menerima mangkuk tersebut, Soobin tiba-tiba saja membuka mulut dan mengatakan, "Aku hendak pergi ke pondok kayu di pesisir pantai, seseorang yang ku kenal tinggal di sana namun sudah setahun belakangan ia pergi." Haeni seketika terdiam di ambang pintu dapur, menanti Soobin yang terlihat seakan hendak mengatakan hal lain ketika pandang bersua. "Maaf karena aku sudah mengatakan hal buruk pada dirimu, aku tidak tahu harus berbuat apa."

"Kenapa tidak mulai dengan menghubunginya terlebih dulu?" Soobin dibuat terpana ketika diberikan sebuah saran, seakan ia terlalu bodoh hingga tidak pernah berpikir untuk melakukan hal semacam itu. Atau lebih tepatnya tidak memiliki nyali untuk melakukan hal semacam itu.

Setelah cukup lama termenung di tengah sunyi, pada akhirnya sebuah keputusan pun berada di tangan, menariknya guna mengeluarkan ponsel dan menghubungi kontak yang nomornya sudah ia hapal di luar kepala. Namun ketika tidak kunjung mendapat jawaban, Soobin sempat putus asa hingga sang operator memberikan pilihan untuk mengakhiri sambungan atau meninggalkan pesan suara. Saat ini ia telah mengambil keputusan dari kedua opsi tersebut.

Soobin menahan napas ketika mengatakan, "Halo, Beomgyu. Maaf, tapi anggap saja bahwa aku sudah gila karena saat ini aku begitu merindukanmu, sangat merindukanmu."

BRUMOUS [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang