Tuhan Kembalikan Pendengaranku

147 17 8
                                    

Malam ini masih seperti malam-malam lalu. Tak ada canda, tawa atau pun bahagia. Yang ada hanya sebuah ratapan hati yang tiada henti merintih, tertatih dalam perih. Sunyi seakan menjadi teman paling abadi sepanjang hari. Tidak siang, tidak malam hari-hariku selalu sunyi. Aku tak menginginkannya tapi takdir itu mempertemukanku dengan penyakit tuli.

Ya, aku tuli. Aku tak lagi mendengar suara-suara termasuk desau angin pada dedaunan, derik jangkrik di perkebunan dan suara gelak tawa anak desa di bawah purnama malam. Aku hanya bisa melihat dan merasakannya tanpa mampu mendengar suaranya.

Ketulian ini sudah lama aku rasakan_yang walau masih bisa dikatakan mampu mendengar_sejak dari bangku SD hingga sekarang ini. Selama tujuh belas tahun lebih aku tak menghiraukannya dan memilih untuk menjalani senyaman mungkin seperti kebanyakan mereka-mereka yang sempurna. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini aku sering merutukinya.

Aku kadang ingin menyerah dan tak sanggup menjalani hari-hariku di dalam ketulian. Aku kerap kali dihina, direndahkan dan bahkan dikucilkan dari pergaulan. Teman-temanku tak satu pun yang bersimpati, justru mereka-mereka pada membenci. Ya, semua itu menjadi makanan wajib dalam hidupku. Aku tak mampu meraba sampai kapan mereka terus menyakiti. Aku pun lebih memilih tuk tidak menghiraukannya meski yang tersisa hanya sakit hati.

Sekarang yang menjadi alasanku ingin menyerah adalah ketidakkuatanku menahan perih di telinga. Sudah tiga tahun terakhir ini telingaku sering mengeluarkan cairan darah. Aku tak tak tahu mengapa, yang jelas dulu-dulu aku tak pernah merasakannya dan aku sudah berapa kali pergi berobat tapi hasilnya tetap saja nihil.

Tanpa terasa air mataku meleleh. Ah, kucaci diriku, tak seharusnya aku menyerah begitu saja.

“An!” Seru Agus sambil menepuk bahuku., mengagetkan. Buru-buru kuseka air mata. “ Kamu dipanggil-panggil dari tadi kok nggak mendengar,sih.”

“Maklumlah saya ‘kan tuli, Gus?” Jawabku sembari melihat ke arah Agus. “ ada yang perlu saya bantu?” lanjutku.

“Besok ada waktu, nggak?”

“Untuk akhir-akhir ini saya banyak waktu, kenapa Gus?”

“Bagaimana kalo besok ikut saya ke rumah teman?”

Ajakan Agus, sungguh ingin sekali aku menolaknya. Rasanya ada sesuatu yang menghimpit di hatiku. Bagaimana tidak, aku yang jarang bersosialisasi dengan siapa pun merasa minder sekali, terlebih aku tuli. Aku tak dapat membayangkan bagaimana jika nantinya ada yang bertanya-tanya lantas Aku-nya tak mendengar dengan baik  dan malah bingung sendiri. Ah, betapa malunya aku berada dalam keadaan seperti itu. Berbicara dengan Agus saja Aku merasa tidak nyaman. Tapi, karena ia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hariku dan mengerti dengan posisiku tentu aku tak pernah sungkan menyuruhnya untuk mengulangi pertanyaannya setiap kali ia berbicara denganku.

Suara Agus yang cukup dikatakan mampu kudengar sudah tentu aku lega. Terus bagaimana  dengan orang lain?. Haruskah aku menyuruhnya untuk mengeraskan suaranya seperti yang sering aku lakukan pada Agus atau aku tolak saja ajakan Agus biar hati ini tak ada beban yang menindih. Sekali lagi, Ah. Hatiku gelisah sekali.
Malam semakin beranjak tua. Pikiranku kusut dan tidur pun tidak nyenyak. Beberapa kali aku terbangun dan kemudian mondar-mandir di dalam kamar. Aku benar-benar gelisah sekali, tak tahu harus berbuat apa. Hal sekecil ini tak seharusnya aku terlalu memikirkannya. Tapi entah mengapa aku tak bisa melakukannya. Aku justru semakin tenggelam dalam kegamangan demi kegamangan.
Kuambil Hand Phone yang tergeletak di atas nakas.

Aku memikirkan cara agar bisa terhindar dari ajakan Agus. Kubuka aplikasi WhatsApp dan kucoba mengirimkan pesan padanya. Tapi, lagi dan lagi aku dibuat gelisah. Aku bingung harus mengirim pesan seperti apa agar Agus tidak kecewa. Jariku sebentar mengetik kemudian ngedelete. Mengetik lagi dan ngedelete lagi. Begitu seterusnya.  Gelisahku benar-benar tak ada ujung pangkalnya.

Sampai jam menunjukkan pukul tiga malam, aku masih tak menemukan cara yang lebih bijak untuk lepas dari keadaan ini. Andai saja aku tak mengidap penyakit tuli mungkin aku tak ‘kan direjam kegelisahan sampai separah ini. Hanya untuk pergi bertamu bukankah itu tak banyak menguras beban dan pikiran bahkan malah tidak sama sekali. Tapi, jujur untuk saat ini  aku benar-benar tak ingin menemui siapa pun. Aku ingin mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia luar. Jiwaku butuh tenang.
Kuambil wudhu dan sholat sunnah hajat. Kucurahkan semua beban yang bersarang di pikiranku pada Sang Maha pemberi ketenangan.

“Tuhan, aku percaya takdirmu adalah yang terbaik untukku. Maka dari itu berilah hidupku ketenangan. Jangan engkau tindih jiwaku dengan keresahan. Sungguh aku tak sanggup akan hal itu.  Jika ketulianku ini adalah bentuk kasih sayangmu, maka sekali lagi kumohon jangan pertemukan aku dengan sesuatu yang tak ingin aku menemuinya, biarkan aku beristirahat atau kembalikan pendengaranku, Tuhan...?”

Hari pun berganti pagi dan pagi berganti siang. Kegelisahanku bukan berkurang tapi justru kian menjadi. Kutunggu kedatangan Agus di beranda depan rumah. Sesuai janji, pukul sebelas lewat tiga puluh menit ia akan menjemputku.

Tiba-tiba kepalaku terasa pening. kurasakan nyeri di telinga bagian kiri. Dan tanpa kusadari cairan nanah bercampur darah merembes keluar. Astaghfirullah, telingaku kambuh lagi. Cepat-cepat kuambil kapas dan membersihkannya. Jika sudah seperti ini rasanya bertambah runyam dan lesunya hatiku. Aku benar-benar tak ingin pergi. Aku tak ingin orang lain tahu keadaanku.

“Mau kemana, Nak?” Terdengar suara Ibu menegurku. Suaranya lirih sekali, nyaris tak terdengar olehku. Telingaku, jika sudah bermasalah maka suara-suara sekeras apa pun akan terdengar lirih sekali bahkan sama sekali tak terdengar atau hampa.

Ibu yang baru saja pulang kerja dari sawah, sudah berdiri tepat di sisi kananku. Ia tampak mengamatiku yang lain dari biasanya. Ya, penampilanku yang agak sedikit rapi sudah pasti membuatnya bertanya apalagi sudah beberapa bulan terakhir ini aku tak kemana-mana dan selalu di rumah saja.

“Ikut teman, Bu.” Jawabku.

“Lihat itu bajumu seperti ada bercak darah,” Ibu mendekat ke arahku. Sorot matanya mengamatiku tajam. “ Telingamu kambuh lagi, ya?”

Aku mengangguk. Tanpa kusadari cairan nanah bercampur darah telah mengotori baju di bagian pundakku. Aku malu.

“Lebih baik jangan kemana-mana,Nak. Perhatikan kondisimu sekarang.” Lanjut Ibu.

“Tapi saya sudah berjanji, Bu. Rasanya nggak enak bila saya membatalkan, sebentar lagi Agus akan menjemputku.”

“Baiklah kalo begitu. Ibu pamit dulu.”

Sepeninggal Ibu, Aku sibuk membersihkan kotoran di telingaku. Cairan nanah bercampur darah masih saja terus merembes. Telingaku mendengung tak karuan. Sebentar mengeras, sebentar melemah. Di dalam kamar kuganti baju dan kupakai parfum sewangi mungkin. Aku tak ingin bau amis dari telingaku tercium oleh orang lain. Setelah kurasa baik-baik saja, aku pun kembali menunggu kedatangan Agus di beranda depan. Kucoba menenangkan diri sembari bermain Hand Phone.

“Assalamu’alaikum Andrian. Maaf sebelumnya telah membuatmu menunggu. Hari ini saya tidak jadi mengajakmu ke rumah teman, soalnya saya ada kepentingan lain. Harap maklum. Terima kasih, wassalamu’alaikum...”

Mataku membelalak manakala kudapati pesan whatsApp dari Agus. Antara rasa percaya dan tidak, yang jelas hatiku seketika terbang seringan kapas. Ku cek lagi pesan itu terus dan terus. Kupastikan mataku tak salah melihatnya. Dan Alhamdulillah, puji syukur kupanjatkan kepada Tuhan. Sungguh tak kuduga Tuhan mendengar rintihanku. Meski takdir tak ‘kan pernah bisa mengembalikan pendengaranku. Tapi setidaknya hari ini aku terbebas dari rasa yang menghimpit pikiranku, hatiku pun sudah cukup tenang.

Terima kasih, Tuhan.
***  ***

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang