Berbicara cinta memang tak ada ujung pangkalnya. Hatiku gelisah di ujung kentara. Siang malamku berlabuh dalam bimbang kegelapan tanpa cahaya. Aku seolah berjalan di antara dua dinding berbeda namun satu arah yang sama. Aku terpekur dalam sandiwara Tuhan yang menurutku hanya lakon semata.
Namun bagaimanapun juga cinta adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan. Dengannya aku mengenal beragam bumbu yang bukan sekadar pahit dan manis saja. Cinta telah mengajariku tentang bagaimana aku harus bersikap bijak dalam mengambil setiap tindakan. Cinta pula yang mempertemukanku dengan cerita-cerita tak berujung yang pada akhirnya aku hanyut dalam sebuah kebimbangan.
Aku dipertemukan oleh Tuhan dengan dua gadis yang sama-sama kucintai dan mereka juga sama-sama mencintaiku...
Ah, sesuatu diluar dugaanku dan aku harus menjalaninya. Tapi bagaimana aku harus melaluinya agar salah satu di antara mereka tidak terluka? Aku harus memilih salah satu di antaranya sebagai bidadari dalam hidupku.Mampukah aku bersikap adil?
Atau aku harus terpuruk dengan keputusanku sendiri?
*** ***Aku terperanjat dan bangun dari tidurku. Jam di dinding menunjukkan pukul 05:30. Aku belum sholat subuh. Cepat-cepat aku mengambil wudhu dan sholat di kamar. Sehabis sholat tak lupa aku memohon petunjuk kepada Tuhan agar esok hariku senantiasa dalam lindungan-Nya.
Hari senin ini aku disibukkan dengan banyak hal. Mulai dari pekerjaan kantor yang menumpuk, mengurus bisnis online, dan yang paling membuat otakku seakan mau pecah adalah soal persiapan pernikahan. Ya, tak lama lagi aku akan menikah dengan seorang gadis yang baru dua bulan terakhir ini aku mengenalnya dan dia adalah calon yang menjadi pilihan keluargaku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja aku menerima perjodohan padahal hatiku masih terpaut pada seseorang.
Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa dengan hadirnya cinta yang seketika membias dan mewarnai hatiku. Aku tiba-tiba saja nyaman dengan dia yang menjadi calon bidadariku dan tak menutup kemungkinan di sisi lain hatiku melepaskan seseorang yang lebih dulu mengisi hatiku. Jujur aku sangat menyayangi dan mencintai keduanya. Dan jika boleh aku akan menikahi keduanya. Tapi bagaimana caranya? Akankah mereka memaklumi keadaanku? Atau aku harus melepaskan salah satu di antaranya dan setia lahir batin pada satu orang saja. Aku benar-benar gelisah. Sholat istigharah yang sering kali aku panjatkan seakan tak ada hasil apa-apa. Jika pilihan itu mengharuskan aku untuk mengorbankan salah satunya, bukankah itu akan sangat menyakitkan dan membuatnya terluka.
Aku menghela nafasku, berat. Kubuka jendela dan kubiarkan udara pagi berembus memenuhi seantero kamarku.Pagi ini sebelum pukul delapan aku harus pergi dari rumah. Aku harus menemui seseorang yang menjadi tambatan hatiku, sebelum aku dipertemukan dengan calon pilihan keluargaku. Aku ingin berbicara empat mata dengannya dan banyak hal yang harus aku sampaikan padanya. Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan via WhatsApp.
“Assalamu’alaikum, Faliha?” Tulisku
“Wa’alaikum salam, Mas Taufiq. Ada yang bisa saya bantu?”
“Hari ini sampean ada waktu kah? Kalau ada, bagaimana kalo kita ketemuan di tempat biasa.”
“Dengan senang hati, kira-kira jam berapa Mas.”
“Jam delapan, bisa?”
“Insya Allah.”
“Kalo begitu sampai jumpa. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Kumatikan ponselku dan meletakkan begitu saja di atas nakas, kemudian melangkah menuju kamar mandi. Sehabis mandi dan berdandan rapi aku bersiap-siap keluar rumah. Tanpa sarapan aku pun bergegas menyalakan motorku dan pergi meninggalkan rumah. Aku sempat ditegur ibuku untuk sarapan terlebih dahulu, namun karena tak ingin membuang waktu yang bagiku seakan berjalan cepat, aku mengabaikannya. Toh di luar aku juga bisa mencari makanan untuk sarapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengenggam Takdir
Short StoryKetika takdir mempertemukan kita Maka, tak ada cara lain selain menggenggamnya dengan cinta