Maafkan Aku Belum Bisa Membahagiakanmu

26 3 5
                                    


Aku tak tahu bagaimana aku harus mengembalikan kebahagiaan yang mulai retak. Dua minggu terakhir ini aku terkepung kesedihan. Dadaku bagai tak kuat menampung rasa perih yang menyayat-nyayat. Hatiku ingin meronta, namun apa daya semua itu tak dapat mengembalikan apa yang telah hilang dari genggaman. Ingin rasanya aku mengulang kembali waktu yang berputar.

Aku belum puas berbagi cerita. Aku masih ingin melihat senyumnya, tawanya, tingkah lakunya dan tangisnya kala merajuk.
Ini sudah dua minggu sejak dia meninggalkanku, aku terus menangisinya. Air mataku tak bisa kubendung setiap kali mengingatnya. Aku belum siap untuk kehilangan. Dia adalah satu-satunya belahan jiwaku setelah penungguan selama empat tahun dari pernikahan kami. Dia lentera kebahagiaan dalam rumah tanggaku. Dia pelengkap hari-hariku. Dan dia pula yang menjadikan rumah ini terasa hidup. Tapi kini...

Sejak kejadian dia tenggelam di kolam belakang rumah dan lepas dari pengawasanku, semuanya menjadi berubah. Rumah ini sepertinya tak lagi berpenghuni. Sepanjang hari terasa sepi. Suamiku setiap pulang dan berangkat kerja tak banyak bicara. Ia memilih bungkam dan tak menghiraukanku. Hatinya benar-benar terpukul atas kejadian itu. Aku sendiri pun dibuat kelimpungan apa yang mesti harus kulakukan.

Hati orang tua mana yang tak akan terluka jika buah hati tersayang pergi untuk selamanya dan terlebih dalam umur yang masih menginjak dua tahun. Sebagai orang tua aku merasa bersalah tak bisa menjaganya dengan baik. Harusnya aku lebih berhati-hati dalam menjaganya. Harusnya aku lebih sigap dengan setiap tingkah lakunya. Tapi apa hendak dikata jika semua telah terjadi. Aku hanya bisa menyesal. Aku gagal menjadi orang tua. Aku gagal menjadi istri yang baik.

“Dasar istri tak tahu diri, suaminya sepanjang hari bekerja. Eh malah di rumah anaknya ngak diurus. Istri macam apa itu?”

“Mungkin lagi sibuk HaPe-an, makanya anaknya dibiarkan begitu saja.”

“Giliran anaknya meninggal, sedihnya minta ampun.”

“Dasar munafik.”

Terdengar kasak-kusuk para ibu-ibu di sepanjang jalan menuju warung. Menusuk dan menyudutkanku. Aku berusaha tak menghiraukannya meski sakit di hati tak mampu kutahan. Dan aku memilih tetap berbelanja.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar dan kubiarkan begitu saja barang belanjaanku di meja ruang tamu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar terpuruk. Hatiku tercabik-cabik. Sungguh tak sanggup aku menjalani hari-hariku di dalam keperihan. Aku butuh sandaran. Aku butuh teman untuk berbagi keresahan.

Bagaimana dengan suamiku? bisakah ia membawaku bangkit. Bisakah ia membawaku kembali menemukan kebahagiaan. Bisakah ia menemaniku seperti dulu-dulu, mengajak bercanda dan tertawa bersama. Ah, rasanya itu mustahil setelah kebahagiaan yang susah payah ia bangun dengan cinta dan ketulusannya, aku merusaknya. Tapi itu bukan suatu kesengajaan tapi kenyataan dari takdir Tuhan yang mesti ada.

Lalu, haruskah aku salahkan Tuhan atas kejadian ini?
Tidak. Aku rasa akulah yang mesti disalahkan. Aku pantas mendapatkan semua ini. Aku pantas dicela habis-habisan. 

Aku terus menangis dan menangis hingga tanpa sadar jam di dinding telah menunjukkan pukul sepuluh lebih dari dua puluh lima menit.
“Astaghfirullahal’adzim.”
Aku bangkit dari tempat tidurku dan cepat-cepat menuju ke dapur setelah sebelumnya mengambil barang belanjaan yang kubiarkan tergeletak di meja ruang tamu. Aku lupa untuk memasak.

Meski suamiku tak lagi mengajakku berbicara, aku harus tetap melaksanakan kewajibanku sebagai istri. Biarlah hanya dengan senyuman sekilas, ia mau sarapan sudah membuatku sedikit lega.

Hari ini kebetulan hari sabtu. Seperti hari-hari sabtu kemarin ia biasanya tak ada jadwal lembur dan pulang setelah shalat dhuhur. Sebelum ia datang aku harus menyiapkan sarapan dan harus benar-benar sudah tersaji di meja makan.

Dengan memasak aku sedikit bisa melupakan masalahku.
*** ***

Dhuhur pun lewat. Jam kini menunjukkan pukul empat belas pas, suamiku belum juga pulang. Aku jadi gelisah, mondar-mandir di ruang tamu dan sesekali menenggok ke luar jendela. Ingin rasanya aku menelepon tapi khawatir tak diangkat.

Mungkin  dia masih dalam perjalanan atau masih ada tambahan jam kerja?. Ah, rasanya aku tak bisa menenangkan pikiranku. Jika dia tak pulang dalam jam segini bisa-bisa makanan yang telah kupersiapkan keburu dingin dan mau tidak mau aku harus membereskannya.
Sekali lagi aku menenggok ke luar rumah, melihat dari jendela. Sepi. Lagi-lagi aku dibuat gelisah. Aku mondar-mandir dari ruang satu ke ruang lainnya. Tanganku memencet-mencet tombol HandPhone antara mau menelepon atau tidak. Hatiku benar-benar gusar. Lalu saking lelahnya aku pun tertidur di kursi sofa.

Aku terbangun ketika hari sudah hampir gelap. Suamiku belum juga pulang. Dengan hati yang diliputi perasaan tak tenang aku pun memilih mengadu pada Tuhan. Aku menunaikan ibadah sholat ashar di dalam kamar.
Selepas sholat kudengar pintu diketuk seseorang. Buru-buru aku melipat mukena dan mengenakan kerudungku. Setengah berlari aku menuju pintu. Aku memastikan kalau yang datang adalah suamiku. Namun sayang yang datang adalah orang lain. Rasa bahagia yang sempat menyusup dalam relung hati seketika lenyap. Embun-embun segar seolah berjatuhan, mengerontang bersama dahan kepatahan.

“Assalamu’alaikum, Faza.” Sapa seorang lelaki seumuran suamiku yang tidak lain adalah Frans. Ia bagian dari masa laluku. Hatiku pun menjadi ciut, ada apa dia datang kemari.

“Wa’alaikum salam.”

“Bagaimana kabarmu? Saya dengar kamu kehilangan anakmu?”

Aku tak lantas mempersilakan Frans masuk. Kubiarkan saja ia tetap berdiri di depan pintu. Dalam keadaan sendirian tanpa suami di rumah, tak pantas bagiku menerima tamu yang bukan mahram. Aku tak ingin menimbulkan fitnah.

“Kabarku baik-baik saja.” Jawabku singkat.

Berhadapan dengan seseorang yang pernah mengisi ruang hati membuat perasaanku tak nyaman. Apalagi orang itu pernah menyakitiku. Jika kedatangannya hanya menanyakan kabar akan keadaanku yang kehilangan sang buah hati, aku tak perlu memberitahunya lebih jauh lagi. Cukup kubilang kalau aku dan keluargaku baik-baik saja. Aku ingin Frans segera pergi. Aku tak ingin ia berlama-lama di sini.

“Bolehkah saya masuk sebentar.”
Hatiku seketika terkesiap mendengar perkataan Frans.

“Apa maunya orang ini?” tanyaku dalam hati.

“Masa tamu dibiarkan berdiri di sini?” Frans memaksa untuk masuk. Tapi aku mencegahnya.

“Maaf bukan maksud saya tidak menghargai tamu. Tapi dikeadaanku yang sekarang ini tentu kamu tahu batasannya. Kamu boleh masuk terkecuali bila ada suamiku.”
Frans berdahem. Tingkahnya membuatku kesal.

“Oh, jadi kamu sendirian di rumah. Santai saya tak akan melakukan apa-apa, kok.”

“Alangkah baiknya kalau kamu tak ada urusan yang lebih penting. Silakan hengkang dari rumah saya.”
Frans mendekat ke arahku. Bola matanya menatapku tajam.

“Faza,”

“Mohon jangan mendekat.” Aku mencegah gerak Frans yang semakin berani mendekat ke arahku.

“Saya hanya ingin menyampaikan kalau saya masih ada rasa untukmu.”
Bruk, tiba-tiba saja Frans terjatuh di lantai. Aku tersentak kaget. Rupanya pukulan datang dari suamiku.

“Berani-beraninya kau mengoda istriku.” Bentak suamiku. Ia kelihatan marah besar.

Frans yang tak menyadari mendapat pukulan dari suamiku meringis kesakitan. Ia lantas berdiri dan bergegas pergi tanpa berkata apa-apa.

Dalam hati aku sangat bersyukur dengan kedatangan suamiku. Jika tidak, aku tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Frans padaku.

Mengenggam TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang